RUU ITE, TPKS, dan PDP Cenderung Sebatas Komoditas Politik
Terbengkalainya pembahasan revisi UU ITE dan RUU lain yang dibutuhkan publik mencerminkan pembentuk UU cenderung hanya menjadikan RUU itu sebatas komoditas politik untuk menarik simpati publik.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat masih menunggu penugasan dari Badan Musyawarah DPR untuk membahas revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Terbengkalainya pembahasan revisi UU ITE dan RUU lain yang dibutuhkan publik mencerminkan pembentuk UU cenderung hanya menjadikan RUU itu sebatas komoditas politik untuk menarik simpati publik.
Setidaknya ada tiga rancangan undang-undang (RUU) yang pembahasannya kini mengkrak di DPR. RUU itu adalah revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Revisi UU ITE dan RUU PDP merupakan inisiatif pemerintah, sedangkan RUU TPKS merupakan inisiatif DPR. Ketiganya sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2022.
Adapun surat presiden (surpres) beserta draf revisi UU ITE sudah diajukan oleh Presiden Joko Widodo kepada DPR sejak 16 Desember 2021. Sementara surpres dan daftar inventarisasi masalah RUU TPKS sudah disampaikan kepada DPR pada 11 Februari. Namun, hingga memasuki Masa Sidang IV Tahun Sidang 2021-2022, pimpinan DPR belum menugaskan alat kelengkapan Dewan untuk membahas RUU tersebut. Padahal, masa sidang kali ini akan memasuki masa reses pada 15 April 2022.
Sementara pembahasan RUU PDP yang sudah dibahas sejak 2020 belum juga tuntas. Dengan belum tuntasnya pembahasan RUU PDP hingga awal masa persidangan IV DPR, artinya sudah lebih dari dua tahun atau selama delapan kali masa persidangan DPR, RUU tersebut masih berkutat pada pembahasan. DPR dan pemerintah masih belum menemukan titik temu mengenai lembaga otoritas perlindungan data karena pemerintah ingin lembaga pengawas di bawah pemerintah, sedangkan mayoritas fraksi di Komisi I DPR menginginkan lembaga yang independen.
DPR dan pemerintah masih belum menemukan titik temu mengenai lembaga otoritas perlindungan data karena pemerintah ingin lembaga pengawas di bawah pemerintah, sedangkan mayoritas fraksi di Komisi I DPR menginginkan lembaga yang independen.
Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdul Kharis Almasyhari di Jakarta, Senin (21/3/2022), mengatakan, Komisi I DPR belum menerima penugasan dari Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk membahas revisi UU ITE. Pihaknya masih menunggu penugasan itu dan siap jika nanti diminta kembali membahas revisi UU ITE yang pernah direvisi pada 2016. ”Kami siap untuk membahasnya karena saat revisi dahulu juga diserahkan kepada Komisi I DPR,” katanya.
Ia menuturkan, Komisi I DPR belum membuat jadwal pembahasan revisi UU ITE di masa sidang kali ini. Namun, jadwal pembahasan bisa diagendakan kembali jika Bamus DPR telah memberikan penugasan. Sebab, pihaknya ingin agar revisi UU ITE bisa segera dituntaskan karena sudah amat dinantikan publik dan tidak ada lagi masyarakat yang menjadi korban akibat penerapan pasal karet dalam UU tersebut. Apalagi, pemerintah juga menargetkan revisi UU ITE dapat diselesaikan pada April 2022.
Menurut Kharis, ada beberapa hal yang memengaruhi cepat atau lamanya pembahasan revisi UU ITE. Beberapa di antaranya jumlah pasal-pasal yang ingin direvisi oleh pemerintah, pandangan sesama kelompok fraksi, serta pandangan fraksi dengan pemerintah sebagai pengusul revisi. ”Saya tidak bisa berandai-andai pembahasannya bisa cepat atau lambat. Kami lihat dahulu revisinya seperti apa,” ujar Kharis.
Sementara terkait dengan RUU PDP, lanjutnya, Komisi I DPR terus melakukan pembahasan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkomifo) untuk mencari titik temu. DPR terus mencari terobosan lembaga pengawas yang bisa disepakati dengan Kemenkomifo agar pembahasannya bisa segera tuntas. Salah satu usulan yang mengemuka adalah menempatkan lembaga pengawas PDP yang menyatu dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). ”Ini baru usulan dari beberapa orang,” kata legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah V tersebut.
Ini baru usulan dari beberapa orang.
Komoditas politik
Semakin cepat RUU itu diselesaikan, semakin cepat pula DPR dan pemerintah kehilangan panggung untuk memperlihatkan simpati pada kondisi yang dialami masyarakat.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, ada kecenderungan pembahasan RUU yang dibutuhkan oleh publik hanya menjadi komoditas politik DPR dan pemerintah. Selama ini pembuat UU sering kali mengatakan keberpihakan dan keprihatinan kepada masyarakat dan ingin memberikan payung hukum yang kuat. Namun, di saat bersamaan, mereka terus menunda-nunda pembahasan.
”Semakin cepat RUU itu diselesaikan, semakin cepat pula DPR dan pemerintah kehilangan panggung untuk memperlihatkan simpati pada kondisi yang dialami masyarakat,” katanya.
Hal itu berbeda saat pembahasan UU yang dibutuhkan oleh pemerintah ataupun DPR, seperti UU Ibu Kota Negara dan UU Cipta Kerja. Keduanya bisa sangat cepat dituntaskan sekalipun memiliki banyak kerumitan substansi dan proses pembahasannya.
Menurut Lucius, Presiden dan partai politik koalisi pendukung pemerintahan memegang peran signifikan dalam pembahasan RUU ITE, RUU TPKS, dan RUU PDP. Dalam RUU ITE dan TPKS, pemerintah ataupun kementerian terkait semestinya meminta DPR agar segera menindaklanjuti surpres yang telah dikirim beberapa bulan lalu. Sebab, dengan komposisi parpol pendukung koalisi pemerintahan yang mencapai 82 persen, Presiden bisa dengan mudah meyakinkan parpol pendukung agar segera mengeksekusi pembahasan RUU tersebut.
Presiden harus mengingatkan kembali Menkominfo dan kementerian terkait lainnya dalam proses pembahasan RUU PDP untuk dapat segera merealisasikan janji politik Presiden guna menghadirkan legislasi PDP yang kuat.
Sementara Koalisi Advokasi PDP menuntut pemerintah segera aktif berkomunikasi dengan DPR untuk melanjutkan proses pembahasan RUU PDP. Usulan tentang pembentukan otoritas lembaga pengawas yang mandiri menjadi wujud komitmen untuk menghadirkan legislasi UU PDP yang kuat dan komprehensif.
”Presiden harus mengingatkan kembali Menkominfo dan kementerian terkait lainnya dalam proses pembahasan RUU PDP untuk dapat segera merealisasikan janji politik Presiden guna menghadirkan legislasi PDP yang kuat,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar yang merupakan salah satu anggota koalisi.
Selain itu, komitmen untuk menyelesaikan pembahasan RUU PDP harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan pada setiap proses pembicaraan terkait dengan arus data lintas batas negara dalam forum G20 guna menjamin perlindungan data pribadi warga negara Indonesia. Oleh sebab itu, DPR dan pemerintah mesti segera mengagendakan kembali proses pembahasan RUU PDP agar dapat disahkan dalam waktu dekat dengan tetap menjamin adanya partisipasi publik dan menghadirkan kualitas legislasi yang baik.