Imbas Putusan MA Mulai Terlihat, Napi Koruptor Lebih Cepat Bebas
Pada Oktober 2021, MA menghapuskan syarat ”justice collaborator” bagi napi koruptor untuk memperoleh potongan hukuman. Implikasi dari putusan itu mulai terlihat. OC Kaligis telah bebas, dua koruptor lain menyusul.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implikasi dari putusan Mahkamah Agung yang membatalkan syarat justice collaborator bagi narapidana untuk mendapatkan remisi atau potongan hukum selama menjalani pidana mulai terlihat. Sejumlah narapidana korupsi bakal melenggang keluar penjara lebih cepat karena bebas bersyarat bisa mereka peroleh meski mereka bukan justice collaborator atau pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
Pada Oktober 2021, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan hak uji materi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak-hak Napi, yang diajukan Subowo dan empat rekannya (semuanya mantan kepala desa) yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Sejumlah pasal di dalam PP No 99/2012 yang mengatur pengetatan syarat pemberian remisi dan hak-hak napi lainnya, seperti pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas (CMB), pun dicabut. MA menyatakan, PP No 99/2012 bertentangan dengan UU No 12/1996 tentang Pemasyarakatan karena persyaratan remisi tidak boleh diskriminatif, kecuali dicabut pengadilan. Karena itu, MA menghapuskan syarat justice collaborator (JC) bagi napi koruptor untuk mendapatkan potongan hukuman.
Putusan MA ini lantas menjadi alasan terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No 7/2022 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, CMB, dan Cuti Bersyarat. Aturan di dalamnya mengadopsi putusan MA. Tak perlu lagi syarat JC untuk memeroleh potongan hukuman.
Imbas dari putusan MA itu terlihat sekarang. Advokat senior, Otto Cornelis Kaligis, misalnya, sudah dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, untuk program CMB pada 16 Maret 2022. Padahal, jika merujuk pada hukuman pidananya, ia baru akan bebas pada Juli 2022. Kaligis ditahan KPK sejak Juli 2015.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Rika Aprianti saat dihubungi di Jakarta, Minggu (20/3/2022), mengatakan, Kaligis akan mejalani masa CMB selama 3 bulan di bawah bimbingan Balai Pemasyarakatan Bandung. Lamanya pemberian CMB ini sesuai dengan remisi dasawarsa yang diterima Kaligis. ”Berdasarkan remisi tersebut, salah satunya dasar yang bersangkutan bisa diberikan CMB,” ujar Rika.
Secara terpisah, Kepala Lapas Sukamiskin Elly Yuzar mengungkapkan, selain Kaligis, setidaknya ada dua napi koruptor lagi yang akan segera bebas dari lapas. Mereka adalah bekas Menteri Agama Suryadharma Ali dan bekas hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. ”Saya tidak ingat tanggal dan bulannya (bebas). Namun, mereka sudah dalam persiapan program-program pembebasan bersyarat,” tutur Elly.
Ia menjelaskan, prinsipnya program pembebasan bersyarat dan CMB sama. Hanya saja, perbedaannya, CMB diberikan sebanyak remisi terakhir, sedangkan pembebasan bersyarat diberikan setelah napi menjalani 2/3 masa pidananya.
”Jadi, itu adalah hak dari mereka. Jika hak itu tidak kami berikan, itu, kan, berarti terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Kan, undang-undang yang mengatur itu,” ucap Elly.
Pidana wajib
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengungkapkan, salah satu solusi bagi problem penjatuhan pidana bagi pelaku korupsi pasca-dibatalkannya syarat menjadi JC adalah dengan merevisi UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tepatnya, dengan menambah hukuman minimum dan maksimum bagi pelaku korupsi.
Selain itu, Pohan mengusulkan adanya ketentuan yang mengatur adanya pidana yang wajib dilaksanakan atau obligatory sanction. Norma tersebut dapat memberikan peluang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana tanpa kemungkinan bagi pelaku untuk mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat.
Menurut Pohan, tata cara pengetatan remisi melalui PP No 99/2012 sebenarnya bukan cara yang tepat. Namun, kebijakan itu diambil oleh pemerintah (pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) untuk memberi sanksi yang lebih serius kepada koruptor. Pilihan pengetatan remisi dilakukan karena pemberian remisi betul-betul menjadi kewenangan pemerintah.
”Pada saat PP No 99/2012 berlaku, hakim-hakim pada saat menjatuhkan pidana masih menggunakan pemikiran bahwa ada aturan itu. Artinya, kalau menjatuhkan pidana 10 tahun, dia akan berpikir bahwa orang itu akan menjalani pidana 10 tahun. Kalau tidak ada PP No 99/2012, hakim akan berpikir harus menjatuhkan pidana 15 tahun supaya, ketika dikurangi sepertiga saat PB, masih 10 tahun,” ujarnya.
Apabila mengacu pada putusan MA, yaitu bahwa pencabutan hak remisi atau pembebasan bersyarat melalui putusan pengadilan, Pohan mengungkapkan hal tersebut bisa saja dilakukan oleh hakim. Namun, akan lebih baik jika pencabutan hak tersebut diatur dengan undang-undang agar hakim memiliki dasar jika akan menerapkannya.
Menurut dia, lama atau singkatnya hukuman bukanlah hal yang utama. Yang paling penting adalah korupsi bisa diberantas. ”Walau hukumannya satu tahun, kalau satu tahun itu bisa berantas korupsi, tidak apa-apa. Faktanya memang sampai hari ini sanksi-sanksi itu belum menjerakan dan belum mampu mencegah orang yang belum korup supaya menjadi tidak korup,” tuturnya.