Kini Giliran Jaksa Ajukan Permohonan Perpanjangan Usia Pensiun
Lima jaksa meminta Mahkamah Konstitusi untuk memperpanjang usia pensiun menjadi 65 tahun. Sebelumnya, ada anggota TNI yang mengajukan gugatan serupa. Hakim konstitusi pun lebih dulu menikmati perpanjangan usia pensiun.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah wacana penundaan pemilu yang artinya juga perpanjangan masa jabatan presiden, lima jaksa meminta Mahkamah Konstitusi untuk memperpanjang usia pensiun korps Adhyaksa tersebut, dari yang semula 60 tahun menjadi 65 tahun.
Lewat uji materi di Mahkamah Konstitusi, kelima jaksa tersebut mempersoalkan ketentuan usia pensiun di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan yang dinilai diskriminatif. Salah satu alasannya, pengaturan usia pensiun jaksa berbeda dengan usia pensiun para hakim, padahal sama-sama berada di lingkup kekuasaan kehakiman.
Pasal 12 Huruf c UU No 11/2021 mengatur jaksa diberhentikan dengan hormat jika memasuki usia 60 tahun. Sementara usia pensiun hakim yang diatur di dalam UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Peradilan Tata Usaha Negara adalah 65 tahun (hakim tingkat pertama) dan 67 tahun untuk hakim tingkat banding. Sedangkan hakim agung akan berakhir masa jabatannya jika berusia 70 tahun.
“Jika dari lingkup kekuasaan kehakiman dan sifat fungsi pekerjaan, maka tidak ada perbedaan antara Kejaksaan dengan badan-badan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, adalah suatu jabatan fungsional di mana seharusnya pengaturan usia pensiun juga harus sama,“ kata kuasa hukum pemohon, Abdul Rohman, dalam sidang perdana uji materi UU Kejaksaan, Kamis (17/3/2022).
Uji materi terkait dengan usia pensiun ini bukan hanya jaksa yang mengajukannya ke MK. Sebelumnya juga ada anggota TNI yang mempersoalkan hal yang sama.
Uji materi terkait dengan usia pensiun ini bukan hanya jaksa yang mengajukannya ke MK. Sebelumnya juga ada anggota TNI yang mempersoalkan hal yang sama, yaitu pengaturan usia pensiun yang berbeda antara anggota TNI dan anggota Polri. Adalah Euis Kurniasih dkk yang meminta MK agar ketentuan usia pensiun prajurit TNI disamakan dengan usia pensiun anggota Polri.
Pengujian terkait usia pensiun TNI itu dilakukan mengingat Pasal 53 dan Pasal 71 Huruf a UU No 34/2004 tentang TNI mengatur usia pensiun 53 tahun untuk bintara dan tamtama serta 58 tahun untuk perwira. Padahal, usia pensiun seluruh anggota Polri adalah 58 tahun, tanpa dibedakan golongan kepangkatannya. Perkara yang teregister dengan nomor perkara 62/PUU-XIX/2021 sudah empat kali disidangkan.
Baca juga: Lima Jaksa Minta MK Perpanjang Usia Pensiun Jadi 65 Tahun
Sebagai catatan, hakim konstitusi pun telah lebih dulu menikmati perpanjangan usia pensiun setelah Undang-Undang MK diubah menjadi UU No 7/2020. Dalam undang-undang terbaru, hakim konstitusi dapat menjabat hingga usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. UU tersebut saat ini masih dalam proses pemeriksaan di MK karena diajukan uji formil oleh sejumlah pihak.
Diskriminatif
Sementara perkara pengujian UU Kejaksaan khusus mengenai ketentuan usia pensiun baru pertama kali ini disidangkan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Para pemohon mendalilkan, apabila dilihat dari lingkup kekuasaan kehakiman dan sifat fungsi pekerjaan, maka tidak ada perbedaan antara Kejaksaan dan badan-badan peradilan di mana sama-sama merupakan jabatan fungsional. Pengaturan usia pensiun jaksa dengan para hakim pun seharusnya sama. Pengaturan yang berbeda malah menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan hak konstitusional para pemohon.
Dengan demikian, menurut Abdul Rohman, ketentuan tersebut melanggar Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan jaminan kepastian hukum yang adil dan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 terkait kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan.
Seusai permohonan dibacakan, ketiga anggota hakim panel sidang pemeriksaan pendahuluan memberikan sejumlah saran untuk perbaikan permohonan. Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, uraian yang menunjukkan adanya kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal 12 Huruf c UU No 11/2021 perlu lebih ditekankan. Kerugian konstitusional yang dijelaskan tak hanya kerugian yang diderita pemohon, tetapi juga untuk seluruh jaksa.
Baca juga: DPR Setujui RUU Kejaksaan, Jaksa Agung Bisa Diberhentikan Presiden
Selain itu, Enny juga meminta agar pemohon membangun argumentasi yang kuat mengenai perlunya perbaikan pengaturan jabatan fungsional. Sebab, jika berbicara mengenai angka ataupun usia, dalam putusan-putusan MK sebelumnya hal itu berkaitan dengan open legal policy atau kebijakan hukum yang terbuka para pembentuk undang-undang.
Hakim konstitusi Manahan MP Sitompul meminta para pemohon untuk lebih mengelaborasi mengenai diskriminasi pengaturan seperti yang didalilkan pemohon.
“Bagaimana meyakinkan ini supaya ini tidak cuma open legal policy,“ kata Enny sembari menekankan perlunya ditunjukkan persoalan yang fundamental yang menunjukkan adanya problem konstitusionalitas norma.
Sementara hakim konstitusi Manahan MP Sitompul meminta para pemohon untuk lebih mengelaborasi mengenai diskriminasi pengaturan seperti yang didalilkan pemohon. Para pemohon diminta memperjelas apa yang dimaksud dengan diskriminasi, apakah MK harus menyamakan hal-hal yang berbeda, dan juga apakah dalam hal ini jaksa bisa disamakan dengan hakim meski tugasnya berhubungan.
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, menilai fenomena ramai-ramai berupaya untuk memperpanjang masa pensiun ataupun masa jabatan lebih pada sikap reaksioner agar sama-sama bisa mempertahankan kekuasaan/jabatannya. Apakah kemudian ada komunikasi antara para pihak terkait ataukah tidak, tetapi pada dasarnya ada keinginan yang sama, yaitu melanggengkan posisi masing-masing.
“Masak kamu saja yang diperpanjang, saya juga dong. Ini bisa dibaca secara politik bahwa semuanya ingin mempertahankan kekuasaan masing-masing secara bersama-sama,“ katanya.
Baca juga: Revisi UU Kejaksaan Bakal Perkuat Pendekatan Keadilan Restoratif
Terkait sikap Presiden
Secara ketatanegaraan, kata Charles, persoalan perpanjangan masa jabatan ataupun masa pensiun tersebut tidak bisa dilepaskan dari sikap Presiden. “Saya yakin kalau Presidennya tegas, oke, tidak ada perpanjangan masa jabatan, maka sudah kamu tidak usah nuntut-nuntut perpanjangan masa pensiun lagi. Ini, kan, gara-gara secara enggak langsung mau kasih kode, kalau kamu diperpanjang masa jabatannya, kamu setuju enggak kalau usia pensiun kami diperpanjang,“ ujar Charles.
Ia juga menduga ada kepentingan pribadi di balik upaya untuk memperpanjang masa jabatan atau masa pensiun tersebut. Artinya, pengajuan uji materi tersebut bukan karena alasan kebutuhan lembaga. Salah satu hal yang menjadi indikasinya adalah mengapa baru sekarang pengujian perpanjangan usia pensiun itu dilakukan. “Yang ingin saya katakan, meskipun akhirnya akan menguntungkan semua jajaran, tetap ada motif-motif individualis yang sangat subyektif,“ ujarnya.
Merespons fenomena banyaknya pihak yang menginginkan perpanjangan usia pensiun, Charles mengungkapkan, putusan MK mengenai uji formil dan materiil UU MK terkait dengan masa jabatan menjadi kunci. Jika dalam memutus tidak ada bias kepentingan orang per orang, MK akan bisa berdiri tegak untuk mengatakan pihak-pihak lain juga harus seperti itu. Namun, apabila sikap MK kompromistis, maka pihak lain pun akan terbawa dalam suasana kompromistis.
Sebenarnya, dua pilihan MK, misalnya untuk mengabulkan ataupun menolak permohonan uji formil dan materiil tersebut ada basis teorinya. Misalnya, jika MK mengabulkan permohonan, semua ketentuan mengenai masa jabatan hakim konstitusi akan kembali seperti semula. Namun, MK bisa saja berdalih bahwa mengenai usia pensiun atau segala yang berkenaan dengan angka adalah menjadi kewenangan pembentuk undang-undang atau open legal policy. Menurut Charles, memang betul bahwa ada kebutuhan untuk memperbaiki ketentuan mengenai masa jabatan hakim konstitusi jika berdasarkan kajian-kajian ilmiah.
“Namun, momennya tidak tepat. Ada kondisi, suasana kebatinan, yang membuat seluruh kajian obyektif ketatanegaraan yang ada menjadi berbahaya jika digunakan. Suasana kebatinannya tidak cocok,“ pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (Pihak) Indonesia Wiwik Budi Wasito mengungkapkan, jika mengacu pada putusan uji formil Undang-Undang Cipta Kerja yang diputus pada November 2021, ada potensi MK mengabulkan uji formil UU MK. Sebab, dalam pertimbangan putusan UU Cipta Kerja, MK telah menjelaskan secara detail mengenai bagaimana partisipasi publik tersebut harus ada di dalam proses pembahasan undang-undang. MK mensyaratkan adanya partisipasi yang bermakna atau meaningfull participation.
Namun, apabila ternyata dengan berbagai argumentasi hukum MK menolak uji formil dan kemudian mengadili uji materiil, Wiwik mengungkapkan, maka diduga ada konflik kepentingan yang demikian kental dalam perkara tersebut. Sebab, perkara tersebut berkenaan dengan pribadi seseorang yang menduduki jabatan (atau hakim) dan bukan soal kewenangan kelembagaan.
“Kalau MK konsisten dengan open legal policy seperti pada putusan-putusannya selama ini terkait dengan angka atau usia pensiun, itu akan menguntungkan hakim. Ini conflict of interest,“ katanya.