Sorotan Komisi Tinggi HAM PBB Soal Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Papua Perlu Dijawab dengan Data Faktual
Komisi Tinggi HAM PBB menyoroti dugaan pelanggaran HAM terhadap penduduk asli Papua. Di sisi lain, pemerintah menyayangkan pengabaian atas data dan informasi klarifikasi yang disampaikan perwakilan RI di Geneva, Swiss.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan keprihatinan serius terhadap situasi HAM yang dinilai memburuk di Papua dan Papua Barat sejak 2021. Mereka meminta Pemerintah Indonesia segera menjawab pertanyaan dan mengatasi situasi tersebut. Adapun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berharap pemerintah menjawab seruan internasional itu dengan data faktual.
Melalui siaran pers, Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (United Nations Human Rights Office of The High Commisioner), Selasa (1/3/2021), menyatakan, dari data yang diterima komisi tinggi itu, ada dugaan pelanggaran HAM mengejutkan terhadap penduduk asli Papua. Dugaan pelanggaran HAM itu di antaranya pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan, dan pemindahan massal orang.
Komisi Tinggi HAM PBB juga menyerukan agar pemerintah membuka akses kemanusiaan ke wilayah terdampak. Selain itu, pemerintah juga diminta untuk melakukan penyelidikan penuh dan independen terhadap dugaan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat Papua.
”Antara April dan November 2021, kami telah menerima laporan dugaan yang menunjukkan kasus pembunuhan di luar hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan, dan perlakuan tidak manusiawi serta pemindahan paksa setidaknya 5.000 penduduk asli Papua oleh pasukan keamanan,” seperti dikutip di siaran resmi Komisi Tinggi HAM PBB, Selasa.
Para ahli di Komisi Tinggi HAM PBB juga menyoroti jumlah pengungsi yang meningkat sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018. Dari data yang mereka terima, pengungsi di Papua dan Papua Barat mencapai 60.000-100.000 orang. Mayoritas pengungsi itu belum bisa kembali ke rumah mereka karena kehadiran pasukan keamanan yang ketat dan bentrokan bersenjata yang terus berlangsung di daerah konflik. Beberapa pengungsi juga tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. Ribuan penduduk desa yang mengungsi itu juga melarikan diri ke hutan tanpa akses makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikan.
Menurut Komisi Tinggi PBB itu, akses bantuan kemanusiaan di daerah konflik juga terbatas. Akibatnya, terjadi malnutrisi di sejumlah daerah karena kurangnya akses makanan dan layanan yang memadai dan tepat waktu. Menurut komisi, Pemerintah Indonesia harus segera mencari solusi atas akses kemanusiaan untuk membantu pengungsi tersebut. Komisi juga sudah menulis surat kepada Pemerintah Indonesia sejak 2018.
Komisi Tinggi PBB juga menyoroti akses informasi yang dianggap dibatasi di Papua dan Papua Barat. Pemantau independen dan wartawan dianggap sulit mengakses lokasi pengungsian dan konflik karena situasi keamanan belum terkendali. Situasi keamanan di dataran tinggi atau pegunungan tengah Papua dinilai memburuk sejak pembunuhan seorang perwira tinggi militer oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau kelompok kriminal bersenjata pada 26 April 2021.
”Tindakan mendesak diperlukan untuk mengakhiri pelanggaran HAM yang terjadi terhadap penduduk asli Papua. Langkah itu harus mencakup memastikan semua dugaan pelanggaran diselidiki secara menyeluruh, cepat, dan tidak memihak. Kasus harus diproses hukum sampai ke pengadilan meskipun melibatkan pejabat tinggi. Ini menjadi pelajaran penting untuk mencegah pelanggaran HAM di masa depan,” tegas komisi.
Menanggapi pernyataan dari Komisi Tinggi HAM PBB tersebut, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodawardhani, Kamis (3/3/2022), mengatakan, pemerintah sebenarnya telah menjawab pertanyaan dari Komisi Tinggi HAM PBB itu melalui perwakilan tetap RI di Geneva, Swiss.
Pemerintah menyesalkan pengabaian terhadap data dan informasi yang sudah diberikan oleh perwakilan RI untuk mengklarifikasi seluruh disinformasi dan tuduhan tidak berdasar terkait situasi di Provinsi Papua dan Papua Barat melalui mekanisme special procedure mandate holders (SPMH).
”Berbagai kondisi yang digambarkan dalam rilis oleh pakar PBB tertanggal 1 Maret 2022 itu jelas tidak sesuai realita. Misalnya, pemerintah tidak pernah menghalangi bantuan sosial terhadap warga di Provinsi Papua dan Papua Barat. Justru sebaliknya, Kementerian Sosial telah mengalokasikan skema bantuan sosial yang signifikan secara spesifik untuk beberapa wilayah di kedua provinsi itu,” kata Jaleswari.
Jaleswari menyayangkan pola kerja SPMH yang mengabaikan klarifikasi informasi dari Pemerintah Indonesia itu bisa menjadi sumber informasi yang bias dan tidak mengutamakan fakta. Hal itu bisa menjadi kontradiktif dan bisa mendeligitimasi kredibilitas SPMH.
Sebelumnya, pada akhir 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, sejak awal, kebijakan dasar pemerintah sudah digariskan Presiden melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
”Sejak awal, kebijakan dasar pemerintah adalah pendekatan kesejahteraan bukan pendekatan dar, der, dor,” ujarnya.
Arahan Presiden juga selalu menekankan pada pendekatan kesejahteraan di Papua dan Papua Barat secara komprehensif dan sinergis. Kementerian dan lembaga tidak boleh punya program sendiri-sendiri yang terpisah. Semua program itu disinergikan di bawah pimpinan Wapres.
Adapun yang disepakati diubah oleh Panglima TNI dan Kapolri adalah penyesuaian dari sudut strategi dan taktik lapangan oleh personel TNI dan Polri agar selaras dengan kebijakan dasar pemerintah dan arahan dari Presiden.
Mahfud menambahkan, pemerintah menekankan pendekatan kesejahteraan untuk menyelesaikan masalah di Papua dan pentingnya memandang orang Papua sebagai saudara. Adapun TNI Angkatan Darat akan mempersiapkan prajurit yang bisa melakukan pendekatan kemanusiaan lewat operasi teritorial.
Jawab dengan data faktual
Dihubungi terpisah, komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mengatakan, seruan dari Komisi Tinggi HAM PBB itu seharusnya dapat dijawab oleh pemerintah secara percaya diri dengan data dan informasi faktual. Pemerintah melalui Menko Polhukam dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan seharusnya bisa mengorkestrasi seluruh kementerian dan lembaga yang terlibat dalam penyelesaian konflik bersenjata di Papua. Data dari pemerintah itu diperlukan untuk menjawab pertanyaan dan concern komisi PBB tersebut.
”Sejak tahun 2010, dugaan pelanggaran HAM sudah menjadi perhatian Komnas HAM terutama beberapa orang special rapporteur. Belakangan ini, banyak pihak yang menyampaikan informasi lagi kepada Komisi Tinggi HAM PBB itu. Di era keterbukaan informasi ini, tidak ada informasi apa pun bisa ditutupi kan? Sebaiknya, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri dapat menjawab pertanyaan itu dengan data faktual,” ujar Amiruddin.
Apabila dimintai pendapat oleh pemerintah, Komnas HAM juga akan memberikan data terkait situasi keamanan dan dugaan pelanggaran HAM di Papua. Data faktual dari pemerintah, kata Amiruddin, sangat penting untuk mengklarifikasi langkah yang sedang dan sudah diambil untuk mengatasi situasi di Papua.
Amiruddin juga berharap pemerintah tak menganggap enteng pertanyaan Komisi Tinggi HAM PBB itu. Pertanyaan harus disikapi serius karena hampir setiap tahun dalam sidang Komisi Tinggi HAM PBB, isu dugaan pelanggaran HAM di Papua selalu menjadi pertanyaan. Data, misalnya, terkait jumlah pengungsi di Intan Jaya, Maybrat, Nduga, dan Lanny Jaya perlu dijawab faktual. Apa saja langkah yang sudah dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengatasi masalah pengungsi itu.
”Setiap pertanyaan dari dunia internasional harus dijawab secara faktual. Jelaskan mengapa situasi itu terjadi, siapa saja yang terlibat, dan prosedur yang sudah diambil untuk mengatasi masalah itu. Sebab, Komisi Tinggi HAM PBB ini terdiri dari berbagai ahli yang bisa mengamati dan memverifikasi dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di seluruh dunia. Jangan sampai pemerintah grogi menjawab pertanyaan mereka,” kata Amiruddin.