Polri Terapkan Pendekatan Kesejahteraan untuk Operasi di Papua
Masa Operasi Nemangkawi yang berakhir pada Desember 2021 diperpanjang hingga 25 Januari 2022. Perpanjangan waktu dilakukan untuk mempersiapkan pengubahan pendekatan operasi dalam mengatasi gangguan keamanan di Papua.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara RI akan mengubah pendekatan keamanan dalam Operasi Nemangkawi di Papua menjadi pendekatan kesejahteraan. Untuk mempersiapkan perubahan itu, masa operasi yang seharusnya tuntas Desember 2021 diperpanjang hingga akhir Januari 2022.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan mengatakan, masa Operasi Nemangkawi yang berakhir pada Desember 2021 diperpanjang hingga 25 Januari 2022. Perpanjangan waktu dilakukan untuk mempersiapkan pengubahan pendekatan operasi dalam mengatasi gangguan keamanan di Papua.
”Saat ini satuan tugas sudah mempersiapkan operasi yang lebih menekankan pendekatan kesejahteraan, dengan harapan nantinya tidak ada lagi korban kekerasan,” katanya di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (4/1/2022).
Ke depan, tambah Ramadhan, bentuk operasi akan diubah dari terpusat menjadi operasi kewilayahan. Kepala kepolisian daerah akan tetap menjadi penanggung jawab operasi. Akan tetapi, ia belum bisa menjelaskan apakah seluruh personel yang saat ini diperbantukan dari Jakarta akan ditarik dari Papua.
Ia menjelaskan, pengubahan didasarkan pada analisis dan evaluasi yang dilakukan sebelum masa operasi berakhir akhir tahun lalu. Aksi kekerasan yang terus terjadi sehingga mengakibatkan jatuhnya korban, baik dari warga sipil maupun aparat, merupakan pertimbangan utama mengubah pendekatan operasi dengan mengutamakan pendekatan kesejahteraan dan pencegahan kekerasan.
Operasi Nemangkawi merupakan operasi gabungan TNI/Polri untuk mengatasi gangguan keamanan yang kerap terjadi di sejumlah daerah di Papua. Operasi dimulai pada awal 2018 dengan durasi waktu enam bulan. Sejak dimulai, masa tugas operasi sudah diperpanjang beberapa kali.
Namun, operasi tidak serta-merta bisa menghentikan kekerasan dan konflik bersenjata yang terjadi. Catatan Kompas, sepanjang Januari-November 2021 telah terjadi 35 penyerangan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Kabupaten Intan Jaya, Yahukimo, Nduga, Pegunungan Bintang, Puncak, dan Maybrat. Puluhan serangan itu menyebabkan 16 aparat keamanan dan 15 warga sipil meninggal. Selain itu, 21 aparat keamanan dan 10 warga juga terluka karena serangan yang sama (Kompas.id, 21/11/2021).
Selain itu, sepanjang September-Desember 2021, KKB juga membakar 10 sekolah dan tiga pusat kesehatan masyarakat di Pegunungan Bintang. Pembakaran ini mengakibatkan seorang tenaga kesehatan tewas serta enam tenaga kesehatan dan satu prajurit TNI terluka (Kompas.id, 16/11/2021).
Rencana pengubahan pendekatan operasi ini sebelumnya telah disampaikan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Jenderal (TNI) Andika Perkasa pada November 2021. Dalam pembicaraan sekaligus kunjungan Panglima ke Mabes Polri itu, keduanya sepakat untuk mengubah pendekatan Operasi Nemangkawi dengan menekankan aspek humanis. Hal tersebut juga diperlukan karena selama ini masih terjadi tumpang tindih antarkedua institusi saat melaksanakan tugas operasi gabungan itu.
Sejak mengikuti uji kelayakan dan kepatutan untuk menjadi Panglima TNI di Komisi I DPR, hal serupa juga telah diungkapkan Andika. Menurut dia, penyelesaian konflik di Papua akan dilakukan secara humanis. Perlakuan keamanan juga bisa dilakukan dengan cara yang sama dengan daerah lainnya.
Saat mengunjungi Markas Komando Daerah Militer (Kodam) XVII/Cendrawasih, Jayapura, Papua, awal Desember 2021, Andika menjelaskan, akan menerapkan pendekatan teritorial dan sosial di Papua. Sama seperti di wilayah-wilayah lainnya, seluruh prajurit yang bertugas akan ditempatkan di Komando Distrik Militer (Kodim) Komando Rayon Militer (Koramil) untuk TNI Angkatan Darat (AD). Sementara itu, prajurit TNI Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) juga akan ditempatkan di Pangkalan TNI AU dan AL.
Namun, untuk menerapkan itu Andika menilai, masih ada kekurangan Kodim di Kodam XVII/Cendrawasih. Menurut rencana, ia akan menambah delapan Kodim secara bertahap.
Kabar baik
Peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Muhamad Haripin menilai, dari perspektif keamanan, rencana pendekatan kesejahteraan merupakan kabar baik bagi warga Papua. Hal itu dinilai dapat mengurangi aksi kekerasan karena secara teoretis kekerasan bersifat resiprokal atau saling berbalas. Oleh karena itu, konsep yang dikemukakan oleh TNI/Polri dalam beberapa bulan terakhir hendaknya segera direalisasikan secara konsisten.
”Jika pendekatan keamanan diubah dengan mengutamakan komunikasi sosial, pembangunan kesejahteraan, diharapkan legitimasi pemerintah akan semakin kuat di Papua, sedangkan legitimasi bagi KKB untuk melancarkan aksi kekerasan akan semakin berkurang,” ujarnya.
Menurut Haripin, Operasi Nemangkawi juga perlu dievaluasi karena ada kekaburan batas antara penegakan hukum dan penanganan kejahatan bersenjata dalam praktik selama ini. Dalam operasi penegakan hukum semestinya para tersangka diperlakukan sesuai dengan koridor hukum pidana. Namun selama ini, pihak-pihak yang terlibat dalam aksi kekerasan diperlakukan sebagai kombatan. Para pelaku kekerasan juga dilabeli sebagai teroris.
Namun secara politis, Haripin melihat pengubahan pendekatan keamanan merupakan kompensasi atas terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Bagi sebagian kalangan, UU Otsus merepresentasikan dominasi Jakarta atas Papua. Masih terbuka kemungkinan, mereka akan memanifestasikan kekecewaan itu dalam bentuk aksi kekerasan.
Oleh karena itu, penanganan Papua tidak bisa berhenti hanya dengan pengubahan pendekatan keamanan. Hal itu juga perlu diikuti dengan dialog politik yang melibatkan warga Papua, termasuk mereka yang tergabung dalam kelompok bersenjata. Dengan begitu, tidak ada pihak yang merasa suaranya tidak terwakili.
”Diperlukan solusi politik yang bisa memitigasi dampak dari UU Otsus yang baru. Jangan sampai ada lagi anggapan bahwa Jakarta betul-betul menyetir segala yang terjadi di Papua, sedangkan warga setempat tidak punya kuasa apa pun untuk menentukan nasib mereka,” kata Haripin.