Pemerintah dinilai perlu mengubah cara pandang dalam menyelesaikan konflik di Papua. Belajar dari berbagai negara, penyelesaian konflik lebih efektif dengan jalan dialog.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan negara untuk menyelesaikan masalah Papua selama ini tidak mampu menghentikan konflik yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari berbagai pihak. Perlu ada evaluasi secara menyeluruh terhadap pendekatan yang digunakan, termasuk operasi keamanan yang diterapkan di beberapa wilayah.
Tertembaknya dua prajurit TNI anggota Komando Rayon Militer (Koramil) Suru-Suru, Yahukimo, Papua, Sabtu (20/11/2021), menambah jumlah korban tewas akibat konflik dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Catatan Kompas, sepanjang Januari-November 2021 terjadi 35 penyerangan KKB di Kabupaten Intan Jaya, Yahukimo, Nduga, Pegunungan Bintang, Puncak, dan Maybrat. Puluhan serangan itu menyebabkan 16 aparat keamanan dan 15 warga sipil meninggal. Selain itu, sebanyak 21 aparat keamanan dan 10 warga terluka.
Peneliti Imparsial Al Araf mengatakan, tertembaknya dua prajurit TNI di Yahukimo semestinya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mengevaluasi pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan masalah Papua.
Sepanjang pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, negara memadukan sejumlah pendekatan, yakni ekonomi dengan pembangunan infrastruktur, politik dengan penerapan otonomi khusus (otsus), dan keamanan dengan operasi keamanan terbatas. Namun, itu semua terbukti tidak mampu menghentikan konflik dan kekerasan, bahkan jumlah korban jiwa dari berbagai kalangan terus bertambah.
”Pemerintah harus mengubah cara pandang dalam menyelesaikan konflik di Papua. Dalam konteks konflik internal di berbagai negara, penyelesaian konflik lebih efektif dengan jalan dialog,” kata Al Araf dihubungi dari Jakarta, Minggu (21/11/2021).
Ia menambahkan, pemerintah harus bersikap lebih inklusif dengan warga Papua. Tidak hanya melakukan berbagai pendekatan penyelesaian masalah secara top down, tetapi juga mendengarkan keinginan mereka. Hal itu dibutuhkan untuk mendapatkan langkah penyelesaian baru yang berasal dari aspirasi warga.
Operasi keamanan
Al Araf mengatakan, pendekatan keamanan yang dilakukan melalui operasi di sejumlah tempat untuk sementara semestinya dihentikan. Sebab, perlu ada evaluasi tentang kinerja operasi yang melibatkan TNI dan Polri selama ini. Khususnya terkait pelibatan TNI untuk menghadapi KKB, menurut dia, hal itu melanggar ketentuan yang ada pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dalam Pasal 18 UU No 34/2004, pengerahan kekuatan TNI untuk menghadapi ancaman militer atau ancaman bersenjata harus melalui keputusan yang dibuat Presiden dengan pertimbangan DPR. Menurut Al Araf, keputusan tersebut harus dibuat secara tertulis yang disertai penjelasan tentang bentuk operasi, jumlah pasukan, dan anggaran yang digunakan. ”Tetapi, faktanya, tidak ada keputusan Presiden untuk operasi di Papua itu,” katanya.
Al Araf menambahkan, hal ini perlu diperhatikan oleh para pimpinan TNI. Tidak terkecuali, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal (TNI) Dudung Abdurachman yang menurut rencana akan mengunjungi prajurit yang bertugas di Papua. Agenda itu merupakan bagian dari prioritas rencana kerja Dudung yang dilantik sebagai KSAD pada Rabu (17/11/2021).
”Yang perlu diperhatikan adalah mengevaluasi pendekatan operasi yang selama ini dilakukan. Pendekatan keamanan itu tidak hanya untuk mengamankan wilayah (state security), tetapi juga penting mengamankan warga atau memberikan jaminan keamanan keamanan bagi masyarakat secara individu (human security),” ujar Al Araf.
Humanis
Dalam wawancara khusus dengan Kompas di Markas Kostrad, Jakarta, Jumat (19/11), Dudung menjelaskan bahwa dalam waktu dekat akan mengunjungi para prajurit TNI AD yang tengah bertugas di Papua dan Poso, Sulawesi Tengah. Kunjungan dilakukan untuk mengidentifikasi hambatan dan kendala mereka di lapangan, lalu menyelesaikannya dalam waktu cepat.
Dudung juga akan meminta para prajurit untuk menerapkan pendekatan humanis kepada warga Papua. Dalam konteks TNI AD, hal itu dilakukan dengan memperkuat operasi teritorial, yakni dengan memberikan bantuan kesehatan dan pertanian untuk masyarakat setempat.
Selain itu, ia berkomitmen agar para prajurit menggunakan perspektif HAM secara optimal. ”Mereka telah dibekali pengetahuan dan pedoman seputar hukum dan HAM yang cukup sebelum bertugas. Itu (ada) pedomannya, bagaimana perlakuan kepada KKB, tawanan yang tertangkap tangan, bagaimana kalau terjadi kontak,” kata Dudung.