Penundaan Pemilu, Potret Pelanggaran Konstitusi secara Kolektif
Penundaan pemilu tak hanya berkonsekuensi pada perpanjangan masa jabatan presiden dan wapres, tetapi juga DPR, DPD, dan DPRD. Sebab, pemilu serentak digelar untuk memilih presiden dan wapres sekaligus anggota legislatif.
Oleh
IQBAL BASYARI, RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan untuk menunda Pemilihan Umum 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden yang hanya bisa dilakukan melalui amendemen konstitusi dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap konstitusi secara kolektif. Amat tidak elok jika Undang-Undang Dasar 1945 diubah hanya untuk melegitimasi keputusan yang tergolong pelanggaran terhadap konstitusi.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, wacana untuk menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden adalah hal yang memalukan sekaligus membahayakan. Oleh sebab itu, wacana tersebut harus ditanggapi dengan serius dan cepat karena tergolong pelecehan terhadap konstitusi.
”Dalam teori ketatanegaraan, pelanggaran atas konstitusi hanya dimungkinkan dalam situasi sangat darurat, hanya demi menyelamatkan negara dari ancaman serius yang berpotensi menghilangkan negara,” katanya melalui keterangan tertulis, Jumat (25/2/2022).
Wacana penundaan pemilu kembali dilontarkan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar, Rabu (23/2/2022). Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu beralasan penundaan pemilu merupakan masukan dari kalangan pengusaha serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang ditemuinya.
Sehari kemudian, giliran Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyatakan akan mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden hingga tahun 2027 atau bahkan 2028. Aspirasi para petani sawit di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, menjadi alasan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden.
Sejauh ini, lima dari sembilan parpol di parlemen menolak wacana penundaan pemilu. Kelima parpol itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Demokrat, Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan parpol yang mendukung, selain PKB dan Golkar, adalah Partai Amanat Nasional (PAN).
Tak hanya berpotensi menciptakan kegaduhan baru dan merusak demokrasi, penundaan penyelenggaraan pemilu serta perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden juga tak sesuai dengan konstitusi.
Denny menjelaskan, alasan pelanggaran konstitusi harus jelas, yakni untuk penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat Indonesia. Indikatornya adalah dampak dari tindakan pelanggaran konsitusi harus semata-mata demi menyelamatkan negara bangsa. Selain itu, pembatasan kekuasaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar-pilar utama dari prinsip konstitusionalisme.
Dengan parameter itu, maka menunda Pemilu 2024, menambah masa jabatan presiden, serta memperpanjang masa jabatan parlemen dan kepala daerah, merupakan potret pelanggaran konstitusi secara kolektif. Sebab, hal ini lebih didasari pada dahaga atas kekuasaan dan bukan berdasarkan perjuangan tegaknya negara hukum.
Kalaupun prosedur perubahan konstitusi dilakukan, maka perubahan yang dilakukan dengan melanggar prinsip konstitusionalisme yang fondasi dasarnya adalah pembatasan kekuasaan, adalah batal demi konstitusi itu sendiri.
Menunda Pemilu 2024, menambah masa jabatan presiden, serta memperpanjang masa jabatan parlemen dan kepala daerah merupakan potret pelanggaran konstitusi secara kolektif
”Sama sekali tidak boleh konstitusi diubah untuk melegitimasi pelanggaran konstitusi, apalagi disalahgunakan untuk memperbesar kekuasaan yang justru seharusnya dibatasi oleh konstitusi itu sendiri. Tidak boleh konstitusi disalahgunakan untuk memberikan legitimasi atas penumpukan kekuasaan yang sejatinya melanggar maksud dan tujuan hadirnya hukum dasar konstitusi itu sendiri,” kata Denny.
Menurut dia, Presiden Jokowi sebagai kepala negara harus segera meluruskan pelanggaran serius tersebut jika serius dengan sumpah jabatannya untuk menjalankan konstitusi dengan selurus-lurusnya. Tindakan itu perlu segera dilakukan jika Presiden tidak ingin dianggap sebagai bagian dari pelaku yang justru mengorkestrasi pelanggaran konstitusi bernegara tersebut.
”Elemen masyarakat madani tidak boleh membiarkan kesalahan mendasar ini dan harus melakukan konsolidasi dan penolakan keras. Jangan sampai kita terlambat, hingga yang melakukan pelurusan sejarah adalah hukum alam,” tutur Denny.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Muti mengingatkan, sebaiknya para elite politik bersikap arif, bijaksana, serta mementingkan masa depan bangsa dan negara di atas kepentingan individu dan kelompok. Elite politik jangan menambah masalah bangsa dengan wacana yang berpotensi melanggar konstitusi. ”Sebaiknya para elite itu melihat langsung keadaan di masyarakat. Pahami keadaan dan perasaan mereka,” katanya.
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono menilai, wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 hanya sebagai alat tawar-menawar kepentingan di antara partai politik yang ada saat ini. Wacana yang telah bergulir sejak tahun lalu itu diprediksi akan terus bergulir dan akan menguat menjelang Pemilu 2024.
Sekalipun saat ini terjadi tarik-menarik kepentingan di antara partai politik yang ada antara yang setuju dan menolak, kemungkinan hasil akhirnya akan berbeda. Melihat dinamika yang terjadi, mungkin saja para elite politik menemukan jalan tengah untuk mengakomodasi kepentingan mereka, termasuk mengakomodasi masa jabatan tiga periode ataupun menunda pemilu.
”Tentunya para elite politik mengharapkan jalan tengah di mana dapat berkompromi dan mengakomodasi berbagai kepentingan hingga jelang Pemilu 2024. Salah satunya adalah kemungkinan perpanjangan masa jabatan presiden ataupun penundaan pemilu.”