Memori Kelam Orde Baru Saat Aparat Eksesif di Desa Wadas
Di balik proyek-proyek strategis nasional di era pemerintahan Joko Widodo yang berjumlah ratusan, ada sebagian masyarakat yang harus mengorbankan lahan dan penghidupannya demi proyek berjalan.
Peristiwa yang terjadi pada 8-9 Februari 2022 di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, seakan membuka mata publik bahwa di balik proyek strategis nasional pemerintah, ada warga yang menjadi korban.
Puluhan warga Wadas ditahan jajaran Kepolisian Resor Purworejo pada saat Badan Pertanahan Nasional melakukan pengukuran tanah yang akan menjadi lokasi pertambangan di wilayah desa tersebut. Kericuhan kala itu terjadi karena sebagian warga tidak setuju pertambangan dibuka di desa tersebut.
Pertambangan dibuka untuk menyediakan batu andesit sebagai material pendukung pembangunan Bendungan Bener di Kecamatan Bener, Purworejo, yang merupakan proyek strategis nasional. Proyek itu tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Nomor 3 atas Perpres No 3/2016 tentang Percepatan Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Bendungan Bener, yang merupakan satu dari 48 proyek pembangunan bendungan dan 201 PSN, dibangun sejak 2018 dan ditargetkan rampung pada 2023. Bendungan tersebut nantinya berkapasitas 100,94 meter kubik dan diharapkan mengairi lahan pertanian seluas 15.069 hektar.
Peristiwa Wadas mengundang memori kelam banyak kalangan tentang kejadian-kejadian serupa di masa lalu, terutama saat Orde Baru. Pembangunan waduk di masa Orde Baru sering kali dibarengi dengan kekerasan dan intimidasi yang diterima warga yang lahannya bakal terendam seperti terjadi di Waduk Nipah ataupun Waduk Kedungombo. Praktik kekerasan di masa rezim otoriter Soeharto, menurut pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, dalam diskusi yang diselenggarakan LP3ES bekerja sama dengan Asosiasi Sosio Legal Indonesia (Aslesi), Sabtu (12/2/2022), saat ini terulang di Wadas, Purworejo.
Baca juga: 23 Warga Wadas Ditangkap Saat Pengukuran Bakal Lahan Tambang
Kekerasan tersebut dilakukan oleh penegak hukum, dalam hal ini kepolisian. Namun, yang lebih menyedihkan dalam pendapat Herlambang adalah tidak adanya pertanggungjawaban dalam kekerasan yang terus berulang tersebut. Padahal, Indonesia mengaku sebagai negara hukum dalam konstitusinya.
”Lantas mengapa terjadi kekerasan mengatasnamakan hukum? Dan mengapa tindak kekerasan demikian berulang dan tak kunjung mendapat pertanggungjawaban?” kata Herlambang.
Kejahatan kemanusiaan
Peneliti hukum hak asasi manusia dan studi agraria di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lilis Mulyani, mengungkapkan, dalam kasus Wadas, semuanya belum terlambat. Konflik warga dengan aparat terkait dengan penambangan andesit sebenarnya masih dalam taraf awal mengingat penambangan belum mulai dilakukan. Yang terjadi barulah pembukaan lahan serta pengukuran, dan pemberian patok-patok.
Dalam tahapan ini, Lilis menilai proses mediasi masih bisa dilakukan antara warga, pemerintah daerah, dan juga aparat keamanan. Pihaknya berharap, pemda memiliki inisiatif dan komitmen untuk mendengarkan aspirasi warga Wadas, juga mempertimbangkan hal-hal yang berharga bagi warga. Diharapkan, terjadi keselarasan antara yang diinginkan pemerintah dan warga.
”Karena kasus wadas ini masih terjadi di awal, ada kesempatan untuk mencegah konflik yang lebih besar, mencegah dampak atau implikasi yang lebih besar. Dalam konflik pertambangan, yang sangat disayangkan adalah masalah kerusakan alam. Displace (pemindahan warga) secara besar-besaran. Dampak lanjutannya bukan masyarakat Wadas itu sendiri, tetapi kerusakan ekologis yang bisa berdampak pada desa-desa yang lain,” ujar Lilis.
Namun, Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tidak sepakat dengan model penyelesaian mediasi itu. Menurut dia, warga Wadas saat ini sudah dalam kondisi trauma dan ketakutan. Surat-surat mereka diambil oleh aparat.
”Dalam kondisi ini, buat apa mediasi. Itu bukan bikin mereka punya power, tetapi semakin powerless ketika mediasi dengan pemerintah ketika sudah dipukul sedemikian rupa. Sekarang bukan lagi mediasi, tetapi sudah saatnya menghukum para pelaku pelanggar hak asasi manusia,” tegasnya.
Senada dengan Isnur, Herlambang juga melihat kekerasan di Wadas bukan lagi sekadar bentuk pelanggaran hukum, melainkan sebuah kejahatan terhadap hak asasi manusia. Hal ini ditandai dengan adanya peristiwa terkait dengan kekerasan yang terjadi sehari sebelumnya, yaitu ada upaya pemadaman listrik dan juga pelambatan akses internet (throtting). Kekerasan itu pun diperlihatkan dengan penangkapan yang tanpa dasar, sewenang-wenang, menyalahi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta pengerahan aparat keamanan yang secara eksesif.
”Bukankah peristiwa ini terencana, sistematik, dan meluas? Bukankah ada rangkaian peristiwa. Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab atas segala peristiwa yang sebenarnya terhubung ini?” kata Herlambang.
Baca juga: Tuntaskan Persoalan di Wadas dengan Persuasif dan Partisipatif
Ia menyimpulkan bahwa peristiwa Wadas pada 8-9 Februari lalu merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan meskipun hal itu masih harus dibuktikan. Dalam kaitannya dengan hal itu, ia minta agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus bergerak lebih cepat dan sigap dengan memanfaatkan segala kewenangan yang dimiliki. Bukan untuk mediasi mengingat mediasi tidak tepat dalam situasi kekerasan dan intimidasi yang terjadi.
Komnas HAM harus segera membentuk tim khusus, minimal tim pemantauan untuk menguji peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut. Selain itu, Komnas perlu memperhatikan trauma korban kekerasan baik warga, pendamping hukum, dan jurnalis yang sempat mendapatkan intimidasi.
Temuan awal Komnas HAM
Komnas HAM saat ini tengah bekerja. Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam siaran persnya, Minggu (13/2/2022), mengungkap temuan awalnya.
Komnas HAM menemukan fakta adanya kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam pengamanan pengukuran lahan warga, terdapat sejumlah warga belum pulang karena ketakutan, warga baik dewasa maupun anak-anak mengalami trauma, serta mendapati fakta adanya kerenggangan hubungan sosial kemasyarakatan antara warga yang setuju dan menolak pertambangan. Hari Minggu, Komnas HAM akan melanjutkan pemantauannya dengan meminta keterangan sejumlah pihak terkait.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam jumpa pers menyikapi insiden di Wadas, Rabu lalu, mengatakan, saat proses pengamanan pengukuran tanah untuk tambang andesit terjadi gesekan yang merupakan ekses dari kerumunan warga yang pro dan kontra atas rencana penambangan.
”Bahwa di dalam kerumunan seperti itu mungkin saja terpaksa ada tindakan-tindakan yang agak tegas itu mungkin tidak bisa dihindarkan. Namun, tidak ada satu pun letusan senjata, tidak ada satu pun orang yang menjadi korban,” kata Mahfud.
Sementara itu, Kepala Polda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi menepis
ada upaya penangkapan dan penahanan dari polisi saat insiden Wadas terjadi.
Pihaknya hanya mengamankan masyarakat agar tidak terjadi kericuhan. Sebab, saat pengukuran dilakukan, antara warga yang setuju dan kontra bergesekan. Mereka yang kontra dikejar-kejar oleh masyarakat yang menginginkan tanahnya dilakukan pengukuran.
Terlepas dari bantahan pihak kepolisian dan penjelasan pemerintah, Isnur menganggap kasus Wadas dan juga kasus-kasus serupa yang terjadi di berbagai tempat, misal kasus waduk di Desa Temon, Nagakeo Pulau Sangihe, dan lainnya, kian menegaskan bahwa otoritarian sudah masuk ke Indonesia dalam wujudnya yang sempurna. Hukum pun hanya menjadi alat kamuflase. Sebut saja keberadaan sejumlah regulasi yang membuat rakyat semakin kesulitan mencari peluang untuk melakukan advokasi, seperti Undang-Undang Cipta Kerja.
Isnur mengungkapkan, pihaknya tak punya pilihan selain menggugat para pelaku pelanggaran di Wadas ke pengadilan meskipun mereka memahami bahwa untuk memperoleh kemenangan sangat kecil.
Bahkan, meskipun kemudian kasus tersebut digugat di pengadilan dan pengadilan memenangkan warga, hal tersebut tidak dapat menghentikan pertambangan karena pemerintah kemudian bisa mengeluarkan izin baru. Ini seperti yang terjadi di Kendeng, Blora, ketika Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengeluarkan izin baru.
Menyepakati Isnur, Herlambang P Wiratraman mengungkapkan bahwa kekerasan di Wadas jelas menyempurnakan realitas legitimatif otoritarianisme dalam bentuk barunya. Kasus tersebut menguburkan harapan bangsa. Keadilan sosial dihilangkan secara sistematik.
Namun, Milda Istiqomah, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, mengungkap teori yang berbeda bagi fenomena kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warganya yang dinilainya kian marak pada tiga tahun terakhir. Fenomena kekerasan tiga tahun terakhir yang ia sebut dimulai dari peristiwa penolakan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi dan RKUHP yang meluas diberbagai kota yang berujung pada ditangkapnya belasan pengunjuk rasa pada 2019. Kondisi hampir tak berbeda terjadi setahun kemudian ketika massa menolak RUU Cipta Kerja.
Ia menggunakan referensi buku John Keane tentang despotisme baru. Tanda-tanda despotisme baru seperti yang diungkapkan John Keane dinilai Milda mudah ditemui di negeri ini. Misalnya, munculnya tindakan kepolisian yang bercorak kekerasan atau represif. Kepatuhan masyarakat menjadi elemen penting dan pada saat hal itu terganggu, aparat keamanan beraksi.
Untuk menciptakan pemerintahan yang stabil, ada kebutuhan akan masyarakat yang patuh dan opini publik yang stabil. Karena itu, bentuk-bentuk disobedient (ketidakpatuhan) yang ditunjukkan warga atau oposisi akan menjadi wajar jika direspons dengan penangkapan dan sebagainya.
Masyarakat pun, menurut Milda, dimanipulasi dengan berbagai cara, misalnya dengan memanfaatkan buzzer untuk menyesatkan opini publik dengan mengungkapkan mengenai ketidakpatuhan warga itu didukung oleh LSM yang itulah pekerjaannya untuk mencari makan.
”Hal seperti ini jadi kunci despotisme baru itu,” ujar Milda.
Otoritarianisme yang sempurna atau despotisme baru ini terbuka untuk didiskusikan lebih jauh. Faktanya, memang ada tren hukum yang represif seperti dikemukakan oleh Herlambang.
Ia menggunakan literatur buku karangan Philippe Nonet dan Philip Selznick berjudul Law & Society in Transition yang diterbitkan pada 2011. Disebutkan ada tiga tipe hukum, yaitu hukum yang represif, otonom, dan responsif.
Baca juga: Mengukur Demokrasi Indonesia
Disebutkan, hukum yang represif ada di dalam rezim yang represif, yakni rezim yang menempatkan seluruh tindakannya merawat kepentingan kekuasaan. Tertib sosial dan hukum dalam masyarakat dikendalikan dengan cara-cara kekerasan, paksaan, dan intimidatif. Hukum ini diperuntukkan hanya melanggengkan keadilan kelas, terutama kelas yang berkuasa.
Betulkah saat ini itu yang terjadi? Anda berhak punya kesimpulan masing-masing.