NU, PDI-P, dan Kebersamaan Merawat Indonesia
Presiden pertama RI, Soekarno, diberi gelar Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi As-Syaukah berarti pemimpin pemerintahan di masa darurat oleh NU. Gelar itu merupakan wujud dukungan besar nahdliyin pada kepemimpinan Soekarno.
Kedekatan antara kaum nasionalis dan religius sudah terjalin jauh sebelum Indonesia merdeka. Kendati berbeda ideologi, kedua kelompok ini selalu bergerak seiring dan seirama dalam merawat Indonesia serta mengatasi ancaman perpecahan bangsa.
Hubungan mesra kalangan nasional dan religius itu dirasakan pula oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri. Menurut dia, kedekatan kaum nasionalis dan religus dapat dilihat dari hubungan PDI-P dan Nahdtalul Ulama (NU). Kendati NU merupakan organisasi kemasyarakatan dan PDI-P adalah partai politik, keduanya selalu beriringan.
Hubungan baik itu juga terefleksi dengan kedekatan antara Presiden pertama RI Soekarno dan KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, serta banyak kiai, pendiri, dan penggerak NU lainnya. Megawati tidak akan pernah lupa, Bung Karno sampai diberi gelar oleh NU sebagai Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi As-Syaukah berarti pemimpin pemerintahan di masa darurat.
Gelar tersebut merupakan dukungan besar warga nahdliyin pada kepemimpinan Bung Karno yang disahkan dalam Muktamar NU di Surabaya pada 1954. Gelar itu pula yang membuat kebijakan-kebijakan yang diambil Bung Karno sebagai pemimpin pemerintahan di masa darurat, mengikat umat Islam dan bangsa.
”Kedekatan Bung Karno dengan kiai dan warga nahdliyin itu akan saya teruskan dalam tindakan dan telah saya amanatkan kepada seluruh kaum nasionalis, juga para kader dan simpatisan PDI-P. Karena saya sangat yakin jika PDI-P dapat terus berjalanan beriringan dengan NU, maka segala ancaman kebangsaan kita pasti bisa diatasi,” ujar Megawati secara daring dalam acara ”Bersama Merawat Indonesia”, Sabtu (12/2/2022).
Acara tersebut digelar PDI-P dalam rangka memperingati Hari Lahir (Harlah) Ke-96 Nahdlatul Ulama, yang jatuh pada 31 Januari 2022. Hadir dalam acara itu sejumlah tokoh, seperti Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf, Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto, dan Ketua DPP PDI-P Ahmad Basarah.
Yaqut Cholil Qoumas sependapat dengan Megawati. Menurut dia, tokoh NU dan kaum nasionalis adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka selalu bahu-membahu membangun negeri ini bahkan sejak sebelum kemerdekaan.
Kedekatan Bung Karno dengan kiai dan warga nahdliyin itu akan saya teruskan dalam tindakan dan telah saya amanatkan kepada seluruh kaum nasionalis, juga para kader dan simpatisan PDI-P. Karena saya sangat yakin jika PDI-P dapat terus berjalanan beriringan dengan NU, maka segala ancaman kebangsaan kita pasti bisa diatasi.
Untuk itu, kepentingan agama dan nasionalisme ini perlu terus diperkuat secara simultan demi menjaga keseimbangan bangsa. Baik kaum nahdliyin maupun nasionalis, sama-sama bertanggung jawab untuk menjaga bangsa ini tetap rukun dan damai.
”Nahdliyin dan nasionalis backbone (tulang punggung) negeri ini. Negeri yang ketatanegaraannya dengan ciri kemajemukan. Tanpa kebinekaan dan kemajemukan tidak ada negeri yang namanya Indonesia,” kata Yaqut.
Ia pun mengajak agar seluruh kader PDI-P dan nahdliyin berada dalam barisan yang sama ketika muncul pihak-pihak yang berusaha merusak kebinekaan dan kemajemukan. ”Segala upaya melenyapkan kemajemukan, kebinekaan di negeri ini adalah sama denan membunuh Indonesia,” katanya.
Yaqut melanjutkan, nasionalisme dibangun atas dasar penghargaan terhadap pluralitas. Karena itu, penolakan terhadap pluralitas sesungguhnya merupakan penyangkalan terhadap realitas bangsa.
Membangun peradaban
Yahya Cholil Staquf mengatakan, pada Harlah Ke-96 NU, tema yang dipilih adalah ”Merawat Jagat, Membangun Peradaban”. Tema itu dipilih untuk membangkitkan ingatan semua orang tentang visi dasar yang dipikirkan para pendiri NU, yaitu membangun peradaban.
Baca juga: Warga NU Diminta Jaga Keutuhan Bangsa
Yahya mengungkapkan, pandemi Covid-19 yang menyerang seluruh negara di dunia ini menjadi momentum yang paling tepat dalam upaya membangun peradaban bersama. Semua negara harus bersatu padu dan membangun kerja sama yang luas untuk perjuangan masa depan yang lebih aman dan sejahtera bagi semua orang.
Selain itu, ia pun mengajak setiap elemen bangsa ikut merawat jagat. Merawat jagat ini memiliki dua dimensi, yakni merawat bumi dan merawat tatanan kehidupan bermasyarakat. ”Ini harus kita rawat supaya jangan sampai kita membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi, apalagi membuat penghancuran-penghancuran,” tuturnya.
Hasto Kristiyanto menyampaikan, pesan membangun peradaban dan merawat jagat juga terus diingatkan Megawati kepada para kader PDI-P. Setiap ulang tahun partai, ia menyebut, partai selalu melakukan suatu gerakan merawat pertiwi yang diikuti seluruh simpatisan, anggota, dan kader partai.
Menurut Hasto, visi NU tersebut itu pula telah menginspirasi Soekarno untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, begitu pula negara-negara lain. Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaan, lanjut Hasto, Soekarno mulai menggagas Konferensi Asia Afrika pada 1955.
Dari situ, Soekarno mengajak bangsa-bangsa Asia Afrika yang masih terbelenggu dengan penjajahan untuk merancang kemerdekaan bagi negara mereka sendiri. Bangsa-bangsa tersebut seperti Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Atas jasanya, Soekarno kemudian mendapat gelar pahlawan pembebas dan kemerdekaan bangsa Islam dalam Konferensi Islam Asia Afrika di Bandung, pada 1965.
”Prinsip-prinsip ini juga dipegang PDI-P hingga kini untuk menjaga persaudaraan dunia, sama seperti semangat NU,” kata Hasto.
Untuk itu, ia sangat menyayangkan sekali kepada pihak-pihak yang menilai Soekarno tidak cinta kepada ulama. Menurut dia, pihak-pihak tersebut tidak memahami sejarah. Bahkan, kata Hasto, Soekarno pernah mendesak pemimpin Uni Soviet pada 1956 mengembalikan fungsi Masjid Agung Saint Petersburg, yang semula merupakan gudang, menjadi tempat ibadah.
”Bung Karno ini, kan, juga seorang santri, karena tradisi keislaman dari Bung Karno itu sangat kuat. Islam yang mengandung spirit pada revolusi untuk kemajuan, tak hanya umat manusia, tetapi juga umat manusia sedunia,” kata Hasto.
Hasto berharap semangat persatuan, tak hanya bagi negeri, tetapi juga dunia, patut terus dijaga oleh seluruh segenap anak bangsa. Jika semua bergerak bersama-sama, menurutnya, setiap persoalan akan lebih mudah teratasi.
Nilai persaudaraan
Ahmad Basarah menyampaikan, NU merupakan organisasi milik bangsa Indonesia yang merupakan kawah candradimuka bagi kader-kader bangsa. Ia melihat kader-kader NU kini telah menduduki sejumlah jabatan di beberapa lembaga negara, baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun di berbagai partai politik.
”Ini membuktikan bahwa NU sukses melakukan kaderisasi dan kader-kadernya menjadi milik bangsa,” ujar Basarah.
Basarah menegaskan, acara yang digelar oleh PDI-P ini sebenarnya sekaligus merupakan pelaksanaan dari ajaran trilogi yang disampaikan Rais Aam PBNU 1984-1991, KH Achmad Shiddiq. Salah satunya, ukhuwah wathaniyah atau persaudaraan kebangsaan.
Menurut dia, nilai persaudaraan itu juga terdapat dalam Pancasila. Ia menjelaskan, kesepakatan mengenai jalan tengah atas perbedaan pendapat dalam perumusan Pancasila dimulai dari pidato Soekarno di depan sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945.
Baca juga: Damai di Kala Beda, Kisah Perdebatan Para Pendiri Bangsa
Saat itu, para peserta rapat masih terbelah terkait gagasan besar saat Indonesia merdeka. Pertama, beberapa peserta menghendaki agar Indonesia menjadi negara Islam. Kedua, beberapa yang lain menghendaki agar menjadi negara kebangsaan. Namun, pada 1 Juni 1945, Soekarno mengambil jalan tengah (wasathiyah), yakni tidak menjadi negara agama, juga tidak menjadi negara nasionalis sekuler.
Soekarno menyampaikan gagasan mengenai sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Soekarno ingin setiap bangsa Indonesia ber-Tuhan-nya sendiri. Selain itu, setiap warga juga dapat menyembah Tuhan mereka dengan cara yang leluasa.
Lebih dari itu, Soekarno menekankan agar segenap rakyat hendaknya berketuhanan secara berkebudayaan. Artinya, mereka melaksanakan prinsip ketuhanan dengan tiada egoisme agama atau saling menghormati di antara pemeluk agama di Indonesia.
”Nah, inilah jalan tengah yang ditawarkan oleh Bung Karno untuk menengarai antara usulan negara kebangsaan dan negara Islam pada waktu itu. Semua umat beragama diakui dalam bingkai hukum negara Pancasila. Inilah peran alim ulama, pendiri bangsa mengajarkan kepada kita, mencintai Islam dalam satu tarikan napas, mencintai bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai bersama,” ucap Basarah.