Kementerian Hukum dan HAM diminta untuk menunda pelaksanaan Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 terkait pemberian remisi mengingat ada problem mendasar dalam produk hukum tersebut.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, EDNA CAROLINE PATTISINA
·5 menit baca
Tahun 2022 berpotensi menjadi penanda ketika narapidana tindak pidana khusus, seperti korupsi, terorisme, dan penyalahgunaan narkotika, menerima potongan hukuman atau remisi dalam jumlah yang signifikan. Setelah hak memperoleh remisi dibatasi sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, mereka bisa bernapas lega sesudah Mahkamah Agung membatalkan syarat justice collaborator untuk bisa mengakses remisi.
Justice collaborator (JC) adalah pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar kejahatan dan keterlibatan pihak lain dalam pidana yang dilakukannya. Dengan PP No 99/2012, praktis harapan napi korupsi dan tindak pidana khusus lainnya menipis untuk bisa lebih cepat keluar dari hotel prodeo karena syarat JC menjadi ketentuan wajib agar bisa menerima remisi.
Namun, setelah PP itu bolak-balik dibawa ke Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi, MA melalui putusan nomor 28P/HUM/2021, 28 Oktober 2021, memutuskan membatalkan pasal yang mengatur syarat JC dalam PP. Pasal-pasal itu adalah Pasal 34A Ayat (1) Huruf a dan Ayat (3) serta Pasal 43A Ayat (1) Huruf a dan Ayat (3) PP 99/2012.
Putusan MA lantas menjadi alasan terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No 7/2022. Aturan yang diundangkan pada 27 Januari 2022 ini merevisi aturan sebelumnya dalam Permenkumham No 3/2018 yang masih mengacu pada PP No 99/2012.
Meski syarat JC ditiadakan dalam permenkumham terbaru, Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti menggarisbawahi aturan itu tak menghilangkan syarat-syarat khusus dalam pemberian hak napi sesuai PP No 99/2012. “Misalnya pemberian hak bagi narapidana terorisme tetap mempersyaratkan bahwa harus telah menyatakan ikrar kesetiaan kepada Republik Indonesia serta telah mengikuti dengan baik program deradikalisasi,” kata Rika.
Namun, tetap saja, ketiadaan syarat JC bisa melanggengkan jalan bagi pelaku korupsi dan tindak pidana khusus lainnya yang selama ini terhambat mendapatkan remisi untuk memperoleh potongan hukuman yang maksimal.
Seperti diketahui, ada berbagai macam potongan hukuman atau remisi. Di antaranya, remisi umum yang diberikan tiap peringatan hari kemerdekaan RI, remisi khusus yang diberikan pada perayaan hari besar keagamaan, remisi susulan yang diberikan kepada napi selama menjalani masa pidana belum pernah mendapat potongan hukuman, remisi dasawarsa yang diberikan tiap peringatan 10 tahun HUT Kemerdekaan RI.
Selain itu, ada remisi untuk kepentingan kemanusiaan (untuk anak, lansia di atas 70 tahun, dan napi yang sakit berkepanjangan), remisi atas kejadian luar biasa (missal yang diberikan saat bencana alam dan lainnya). Masih ada lagi remisi tambahan yang diberikan bersamaan dengan remisi umum, yaitu remisi yang diberikan kepada napi yang berbuat jasa pada negara, melakukan perbuatan bermanfaat untuk negara atau kemanusiaan seperti donor darah atau donor organ tubuh, serta membantu pembinaan di lembaga pemasyarakatan (seperti menjadi pemuka).
Kompas mencoba melakukan simulasi dalam pemberian remisi ini. Misalnya, seorang narapidana yang sudah menjalani masa pidana selama enam tahun dan belum pernah memperoleh remisi. Jika memenuhi persyaratan (berkelakuan baik dan lain-lain), ia bisa memperoleh remisi umum enam bulan, remisi khusus dua bulan, remisi tambahan sepertiga dari remisi umum atau dua bulan, remisi umum susulan dua bulan, dan remisi khusus susulan satu bulan. Maka, total potongan hukuman yang diperoleh napi bisa mencapai 13 bulan.
Jika napi tersebut telah menjalani masa pidana selama 4 tahun dan belum pernah menerima remisi, maka ia akan memeroleh remisi umum 5 bulan, remisi khusus 1 bulan 15 hari, remisi tambahan sepertiga dari 5 bulan, remisi umum susulan 2 bulan, dan remisi khusus susulan 1 bulan.
Pendiri Firma Hukum Themis Indonesia, Feri Amsari, menilai, tidak mengherankan jika pascaputusan MA, Menkumham segera merevisi aturan.
”Sedari awal PP No 99/2012 memang menjadi target bagi banyak pihak, terutama koruptor, untuk memudahkan ’jual beli’ masa pidana. Tidak mengherankan setelah putusan MA, perubahan segera dilakukan. Hal ini juga mengindikasikan upaya pemberantasan korupsi memang setengah hati dan didukung pemerintah melalui peraturan,” ungkapnya.
Problem regulasi
Pendiri Firma Hukum Themis Indonesia, Feri Amsari, menilai, tidak mengherankan jika setelah ada putusan MA tentang PP 99, Menkumham segera melakukan perubahan aturan. “Sedari awal Pp 99 kan memang menjadi target bagi banyak pihak, terutama koruptor untuk memudahkan "jual beli" masa pidana. Tidak mengherankan setelah putusan MA, perubahan segera dilakukan. Hal juga mengindikasikan upaya pemberantasan korupsi memang setengah hati dan didukung pemerintah melalui peraturan,” ungkap Feri.
Namun, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengingatkan, apabila permenkumham tersebut dilaksanakan, produk yang dihasilkan dari regulasi tersebut rentan dipersoalkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebab, menurut dia, putusan MA tersebut tidak dapat ditindaklanjuti dengan mengubah permenkumham. Seharus, pemerintah mengubah PP 99/2019.
“Koreksi PP-nya, bukan menerbitkan permenkumham. Sebab yang diuji PP-nya. Artinya permenkum ini tidak sah karena PP-nya belum diganti,” ujar Boyamin.
Untuk itu, ia meminta Kemenkumham untuk tidak melaksanakan Permenkumham No 7/2022. Sebab, pemberian remisi yang diatur dalam Surat Keputusan Menkumham nantinya rentan dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Saya khawatir nanti korban korupsi mengajukan ke PTUN. Bisa dikabulkan itu,” kata dia.
Hal tersebut dikuatkan oleh Feri Amsari yang juga ahli hukum tata negara. Menurut dia, Permenkumham No 7/2022 tersebut bisa dipersoalkan melalui uji materi ke Mahkamah Agung.
“Permen (digugat) ke MA, SK ke PTUN,” tambahnya.
Perubahan perilaku
Terlepas dari problem hukum di sekitar penerbitan Permenkumham 7/2022 tersebut, Gatot Goei selaku Direktur Prograrm Center Detention Studies mengatakan, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh Kemenkumham dengan terbitnya putusan MA dan Permenkumham 7/2022. Tantangan itu adalah meyakinkan publik bahwa pembinaan narapidana berbasis perubahan perilaku (correction based evidence) dapat berjalan secara obyektif.
Pembinaan narapidana berbasis perubahan perilaku itu menyatakan, jika syarat perubahan perilaku belum terpenuhi maka seorang narapidana tidak bisa mendapatkan hak remisi, asimilasi dan reintegrasi. “Agar bisa meyakinkan masyarakat, perangkat pelaksana dari permen 7/2022 harus disiapkan,” tambahnya.
Syarat obyektivitas tersebut bisa diukur dengan adanya aturan teknis penilaian yang jelas, instrumen serta sumber daya manusia pelaksana yang terlatih. Dengan demikian, ada landasan jelas bagi setiap keputusan pemberian hak ini. “Semua bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan bukti-bukti pembinaan,” ujar Gatot.