Pembangunan Ibu Kota Negara Mesti Dilandasi Basis Rasional, Partisipatif, dan Transparan
Rencana pembangunan ibu kota negara baru mesti dilandasi basis rasional kuat serta proses partisipatif dan transparan. Proyek berskala masif tersebut mesti ekstrahati-hati karena berkonsekuensi jangka panjang.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pembangunan ibu kota negara baru harus dilandasi basis kuat secara rasional serta proses yang partisipatif dan transparan. Apalagi, proyek pembangunan ibu kota negara tidak hanya besar secara finansial, tetapi juga berdampak politik dan memiliki implikasi sosial budaya yang luas. Proses seperti ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat.
Proyek pembangunan ibu kota negara (IKN) yang berskala masif secara finansial, infrastruktur, sosial, dan lingkungan tersebut mesti dilakukan ekstra hati-hati. ”(Hal ini) karena kalau tidak (ekstrahati-hati), konsekuensinya itu jangka panjang, baik secara ekonomi, politik, maupun lingkungan,” kata Associate Professor Nanyang Technological University, Singapura, Sulfikar Amir, dalam diskusi daring kebijakan publik Narasi Institute bertajuk ”Ibukota Baru untuk Siapa?" yang digelar pada Jumat (28/1/2022).
Menurut Sulfikar, ada tiga aspek yang mesti menjadi perhatian dalam mengkaji ulang dan mempertimbangkan pembangunan IKN. Pertama, aspek rasionalitas, yakni terkait dibutuhkannya kalkulasi-kalkulasi teknokratik yang benar-benar matang, teruji, valid, dan obyektif untuk memastikan tingkat keberhasilan proyek pembangunan IKN ini tinggi.
Kedua, aspek proses yang mencakup proses keterlibatan publik dan proses politik di parlemen. “Ini harus digodok ulang. Sebab, kalau tidak, apa yang kita lihat sekarang itu masih sangat mentah. Dan, faktor ketiga yang paling krusial, menurut saya, adalah timing. Kita enggak bisa memaksakan sebuah proyek hanya supaya Pak Jokowi bisa melakukan upacara 17 Agustus dua tahun lagi,” katanya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2014-2015 Andrinof Chaniago menuturkan, jawaban atas pertanyaan ibu kota baru untuk siapa adalah alasan mendasar dibuatnya rencana pembangunan IKN di lokasi yang sekarang sudah ditetapkan. Hal ini adalah satu paket jawaban untuk menjawab persoalan masa kini dan masa depan.
Seperti diketahui, ketimpangan karena adanya pemusatan tunggal di Jakarta dan Jabodetabek merupakan kelanjutan atau warisan dari sistem kolonial. ”(Ketimpangan) yang kita tidak pernah berani memecah magnetnya, kita tidak pernah berani memecah episentrumnya, dan (terhadap) segala akibatnya kita tutup mata,” kata Andrinof.
Ketika ada kegiatan atau pesta politik memang sering dibicarakan persoalan ketidakadilan, ketidakmerataan, nasib masyarakat di pinggiran, di luar Jawa, di kawasan terluar, di kawasan timur Indonesia, dan sebagainya. Tetapi, tidak pernah ada langkah serius sejak dari ide yang solid untuk keluar dari persoalan struktural tersebut.
Persoalan struktural
Menurut Andrinof, teori investasi tidak akan mempan atau gagal untuk mewujudkan pemerataan kalau secara secara struktural kondisinya seperti yang diwarisi sejak jaman kolonial, di mana hanya ada satu magnet tunggal yang dominan. Jawa yang luasnya kurang dari 7 persen total daratan Indonesia dihuni oleh 58 persen penduduk.
Konsentrasi penduduk di Jawa seperti ini tidak bisa dipecahkan dengan teori-teori investasi, yakni dengan mendorong investasi ke luar Jawa. Investasi itu hukumnya hukum pasar. Sesuatu yang bergantung pada pasar tidak akan serta merta mengikuti hal ideal seperti pemerataan kawasan industri ke kawasan-kawasan di luar Jawa. Subsidi atau berbagai insentif pun terkadang tidak mempan untuk memeratakan industri ke luar Jawa.
Teori penyebaran penduduk lewat kebijakan transmigrasi juga banyak yang gagal karena Jawa tetap menjadi magnet. Ketimpangan sumber daya manusia antarwilayah terjadi, khususnya antara Jawa dan luar Jawa terutama di bagian timur Indonesia. ”Ukuran yang gampang kita temukan, perguruan tinggi yang akreditasinya A itu 85 persen lebih di Jawa dan Sumatera,” kata Andrinof.
Kebijakan publik yang besar pun biasanya berawal dari wacana publik yang selalu muncul secara musiman. Aspirasi dan gagasan pindah ibukota muncul setiap tahun sejak 2005, seperti ketika terjadi persoalan arus mudik dan arus balik atau banjir di Jakarta. Pembuat kebijakan atau pemegang pemerintahan harus merespons wacana seperti ini dengan kajian.
“(Pemindahan ibu kota) ini bukan untuk lari dari masalah Jakarta. Ini adalah untuk memudahkan menata Jakarta. Begitu tekanannya dikurangi, maka Jakarta akan lebih mudah ditata, kemudian Indonesia terbangun. Itulah antara lain isi argumentasi-argumentasi untuk memindahkan ibu kota yang sudah dilihat berdasarkan kajian, termasuk melihat dan me-review proses pemindahan ibu kota di 30 negara,” kata Andrinof.
Terkait sosialisasi, Andrinof mengatakan bahwa proses ini belum selesai. Setelah UU IKN disahkan, rencana detail baru akan dimulai. Bahkan termasuk soal tata ruang atau zonasi juga baru akan dimulai walaupun konsepnya sudah disiapkan. “Konsep yang datang dari pemerintah itu adalah konsep gagasan awal. Itulah yang harus kita perbincangkan, kita berikan masukan bersama-sama. Dan, sejauh saya pantau kemarin, di pansus, mereka sudah mengundang pakar-pakar, pihak-pihak,” katanya.
Sementara itu, ahli planologi Jilal Mardhani menuturkan bahwa persoalan sentralisasi sebetulnya masih terbawa sampai era pemerintahan saat ini, terutama dalam urusan fiskal. Apabila sentralisasi ini yang menjadi problem, menjadi pertanyaan mengapa justru letak ibu kota yang dipindahkan dan bukan persoalan sentralisasi yang diperbaiki.
Menurut Jilal, perlu dipisahkan antara ibu kota sebagai fungsi atau peranan dan ibu kota sebagai ruang kota.
“(Hal) yang bermasalah itu fungsi pemerintahan pusat itu sendiri atau ruang kota tempat pemerintahan pusat itu berada? Kalau yang kita bahas soal sentralisasi itu tadi soal fungsi, bukan kota Jakarta-nya,” ujarnya.