Peran Tim Ahli Kementerian Pertahanan dalam Kasus Satelit Orbit 123 Didalami
Untuk kedua kalinya, Tim Ahli Kementerian Pertahanan berinisial SW diperiksa Kejaksaan Agung terkait perkara dugaan korupsi pengadaan satelit di Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktur Utama PT Dini Nusa Kusuma yang juga tim ahli Kementerian Pertahanan berinisial SW kembali diminta keterangan oleh penyidik Kejaksaan Agung dalam penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan satelit untuk mengisi Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan 2015-2021. Pemeriksaan dilakukan untuk mengonfirmasi bukti-bukti yang dikumpulkan dalam penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan pada PT Dini Nusa Kusuma.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Supardi, Senin (24/1/2022) malam, mengatakan, dalam perkara pengadaan satelit Slot Orbit 123 BT, penyidik kembali memeriksa saksi SW. Pemeriksaan tersebut merupakan yang kedua kalinya setelah minggu lalu SW juga diperiksa penyidik.
”Pemeriksaan terkait banyak hal. Yang jelas, kita periksa dikaitkan bukti-bukti yang kita temukan berdasarkan cross-check sana-sini,” kata Supardi.
Menurut Supardi, pihak-pihak yang dipanggil dan dimintai keterangan memiliki peran masing-masing. Penyidik meyakini pihak yang dipanggil itu memiliki relevansi atau hubungan yang signifikan dengan perkara yang tengah disidik.
Minggu lalu, penyidik Jampidsus Kejagung telah menggeledah kantor PT Dini Nusa Kusuma dan apartemen milik SW. Penyidik sebelumnya juga telah meminta keterangan SW selaku Dirut PT Dini Nusa Kusuma sekaligus Tim Ahli Kementerian Pertahanan dan saksi AW selaku Presiden Direktur PT Dini Nusa Kusuma.
Adapun PT Dini Nusa Kusuma adalah pemegang hak pengelolaan filling satelit Indonesia untuk mengoperasikan satelit atau menggunakan spektrum frekuensi radio di orbit satelit tertentu. Dari penggeledahan yang dilakukan, penyidik menyita dokumen dan barang bukti elektronik sebanyak 30 buah.
Menurut Supardi, terhadap saksi SW, penyidik juga masih mendalami mengenai posisi atau jabatannya di tim ahli Kemenhan, yakni sebagai penyelenggara negara atau bukan. Penyidik masih mendalami terkait proses pengangkatan yang bersangkutan.
”Kalau sudah penyidikan, kan, proses mengumpulkan bukti untuk membuat terang suatu peristiwa. Kalau semakin terang, pasti ada tersangka,” ujar Supardi.
Kasus ini bermula dari hilangnya Satelit Garuda-1 milik sebuah perusahaan swasta nasional dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur pada 2015. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang mendapat hak pengelolaan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan negara lain.
Untuk mengisi kekosongan Slot Orbit 123, Kementerian Komunikasi dan Informatika memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan untuk mendapat hak pengelolaan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan. Pengelolaan slot orbit kemudian dialihkan ke Kemenhan meski tidak ada dasar hukumnya.
Kalau sudah penyidikan, kan, proses mengumpulkan bukti untuk membuat terang suatu peristiwa. Kalau semakin terang, pasti ada tersangka.
Dalam proses tersebut, diduga terjadi pelanggaran hukum yang menyebabkan kerugian negara. Sebab, negara diwajibkan pengadilan untuk membayar uang dalam jumlah yang sangat besar. Salah satunya pengadilan arbitrase di Inggris memutus keharusan Indonesia membayar Rp 515 miliar kepada Avanti. Selain itu, Pengadilan Arbitrase Singapura juga memutus Kemenhan untuk membayar 20,9 juta dollar AS kepada Navayo. Avanti dan Navayo adalah perusahaan penyedia satelit.
Penyidikan Garuda Indonesia
Pada hari yang sama, Kejaksaan Agung juga memeriksa jajaran manajemen Garuda Indonesia. Pada pemeriksaan tersebut, salah satu saksi yang dipanggil adalah Direktur Utama Garuda Indonesia berinisial IS.
”Di tingkat penyidikan, dia baru dipanggil sekali ini. Ini terkait dengan pengadaan dan sewa pesawat,” kata Supardi.
Dalam perkara tersebut, penyidik sedang mendalami proses pengadaan dan sewa pesawat jenis ATR 72-600 dan Bombardier. Dari indikasi awal untuk pengadaan pesawat, diduga terjadi kerugian negara hingga Rp 3,6 triliun. Menurut Supardi, penyidik masih terus mengembangkan kasus tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menambahkan, selain saksi IS, penyidik juga memanggil tiga saksi lainnya yang juga terkait dengan Garuda Indonesia. Mereka adalah MT selaku Satuan Pengawas Internal Garuda Indonesia, MAW selaku Dirut Citilink Indonesia tahun 2012-2014, dan MP selaku Vice President Garuda Indonesia.
Menurut Leonard, mereka diperiksa terkait dengan mekanisme pengadaan dan pembayaran pesawat di Garuda Indonesia. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk menemukan fakta hukum tentang dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan dan sewa pesawat di Garuda Indonesia.