Penangkapan Bupati Langkat Terbit Perangin-Angin tak sepenuhnya mulus. Meski telah berhasil mengintai, tim KPK sempat kehilangan jejak Terbit. Diduga, ada banyak praktik korupsi di Pemkab Langkat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Ada berbagai cerita di balik operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Terkadang, sang penyuap dan penerima uang bisa langsung diamankan di lokasi transaksi. Namun, ada pula cerita seperti Bupati Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin-Angin, yang mencoba kabur dari kejaran tim KPK.
Jauh sebelum sampai ke sana, KPK sebenarnya sudah menyelidiki dugaan kasus korupsi proyek-proyek infrastruktur di Kabupaten Langkat sejak 2020. Selama lebih dari setahun, KPK terus mengumpulkan informasi berkaitan dengan kasus korupsi di daerah itu sambil mencari waktu yang tepat untuk menangkap pihak-pihak yang terlibat.
Pada Selasa (18/1/2022), KPK memperoleh informasi dari masyarakat bahwa akan ada dugaan pemberian sejumlah uang kepada Terbit Rencana Perangin-Angin atau yang mewakilinya. Uang tersebut diduga akan diberikan oleh seorang kontraktor.
Infografik Bupati Langkat
Tim KPK pun segera bergerak dan mengikuti Muara Perangin-angin, pengusaha pemberi imbalan kepada Terbit. Saat itu, Muara telah melakukan penarikan sejumlah uang di salah satu bank daerah. Di saat yang sama, tim KPK juga mengintai kontraktor lain, seperti Marcos Surya Abdi, Shuhanda Citra, dan Isfi Syahfitra. Isfi diketahui sebagai perwakilan Kepala Desa Balai Kasih Iskandar berinisial PA, saudara kandung Terbit.
Dari hasil pengintaian, diketahui Muara menemui Marcos, Shuhanda, dan Isfi di sebuah kedai kopi. Di sana, Muara menyerahkan sejumlah uang tunai kepada ketiga orang tersebut. Melihat penyerahan uang itu, tim KPK langsung menangkap Muara, Marcos, Shuhanda, dan Isfi. Mereka kemudian dibawa ke Kepolisian Resor Binjai untuk dimintai keterangan.
Tim KPK yang lain juga menuju rumah pribadi Terbit untuk menangkap Terbit dan Iskandar. Namun, saat tim KPK tiba di lokasi, ditemukan Terbit dan Iskandar sudah tidak ada. ”Diduga, mereka sengaja menghindar dari kejaran Tim KPK,” ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Kamis (20/1/2022) dini hari, di Gedung KPK, Jakarta, saat mengumumkan penetapan tersangka atas Terbit, Muara, Iskandar, Marcos, Shuhanda, dan Isfi.
Tim KPK yang lain juga menuju rumah pribadi Terbit untuk menangkap Terbit dan Iskandar. Namun, saat tim KPK tiba di lokasi, Terbit dan Iskandar sudah tidak ada.
Selanjutnya, tim KPK mendapatkan informasi bahwa Terbit telah menyerahkan diri ke Polres Binjai. Kemudian, sekitar pukul 15.45, tim KPK mendatangi Polres Binjai dan meminta keterangan terhadap Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Kabupaten Langkat tersebut.
Dalam rangkaian operasi tangkap tangan itu, KPK mengamankan barang bukti berupa uang Rp 786 juta. Barang bukti berupa uang tersebut diduga hanya bagian kecil dari beberapa penerimaan oleh Terbit melalui orang-orang kepercayaannya.
Dalam jumpa pers, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto menegaskan, tidak ada indikasi kebocoran informasi dari internal KPK terkait OTT di Kabupaten Langkat. Ia menduga, Terbit mendapat informasi dari pihak-pihak lain saat OTT berlangsung. Alhasil, Terbit masih sempat melarikan diri dan lolos dari tangkapan tim KPK.
”Ketika orang sudah ditangkap, kan, kepanikan orang itu akan terlihat ke mana-mana. Mungkin satu yang sempat pegang handphone langsung memberi tahu dan lain-lain,” ucap Karyoto.
Permintaan ”fee”
Kembali soal dugaan kasus korupsi yang melibatkan Terbit, KPK menduga, sejak 2020 hingga saat ini Terbit bersama dengan Iskandar telah mengatur pelaksanaan paket proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Langkat.
Dalam mengatur pelaksanaan paket proyek ini, Terbit memerintahkan Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPR Kabupaten Langkat Sujarno untuk berkoordinasi aktif dengan Iskandar sebagai representasi Terbit. Koordinasi ini berkaitan dengan pemilihan pihak rekanan mana saja yang akan ditunjuk sebagai pemenang paket pekerjaan proyek di Dinas PUPR dan Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat.
Agar bisa menjadi pemenang paket proyek pekerjaan, diduga ada permintaan Terbit atas persentase fee melalui Iskandar. Untuk paket pekerjaan melalui tahapan lelang, nilai persentase fee sebesar 15 persen dari nilai proyek. Sedangkan untuk paket penunjukan langsung, nilai persentase fee mencapai 16,5 persen dari nilai proyek.
Selanjutnya, salah satu rekanan yang dipilih dan dimenangkan untuk mengerjakan proyek pada dua dinas tersebut adalah Muara dengan menggunakan beberapa bendera perusahaan. Total nilai paket proyek yang dikerjakan sebesar Rp 4,3 miliar.
”Selain dikerjakan oleh pihak rekanan, ada juga beberapa proyek yang dikerjakan oleh Terbit melalui perusahaan milik Iskandar,” ungkap Ghufron.
Pemberian fee oleh Muara diduga dilakukan secara tunai dengan jumlah sekitar Rp 786 juta, yang diterima melalui perantara Marcos, Shuhanda, dan Isfi, untuk kemudian diberikan kepada Iskandar dan diteruskan lagi kepada Terbit.
Diduga pula, ada banyak penerimaan lain yang diperoleh Terbit melalui Iskandar dari berbagai rekanan.
KPK menduga, dalam penerimaan dan pengelolaan uang fee dari berbagai proyek di Kabupaten Langkat, Terbit menggunakan orang-orang kepercayaannya, yaitu Iskandar, Marcos, Shuhanda, dan Isfi. Diduga pula, ada banyak penerimaan lain yang diperoleh Terbit melalui Iskandar dari berbagai rekanan.
”Jadi, apa yang kami tangkap dan kemudian mendapatkan barang bukti Rp 786 juta dimaksud, itu adalah sebagian kecil karena paket-paketnya masih ada beberapa yang lain dari tersangka pemberi yang baru kami tangkap ini. Dimungkinkan polanya akan sama,” kata Ghufron.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto pun menduga hal yang sama. Menurut dia, barang bukti yang ditemukan KPK baru bagian kecil saja. Ia menduga ada beberapa modus operandi yang dilakukan oleh Terbit.
”Tidak menutup kemungkinan karena modus operandi yang menggunakan cek, kemudian dicairkan jadi tunai, juga ada. Beberapa informasi yang kami dapatkan, (transaksi suap) ini agak begitu vulgar, apakah karena jauh dari pantauan KPK atau apa, tetapi nyatanya juga ditangkap oleh KPK,” ujar Karyoto.
Lagi-lagi, Karyoto pun mengingatkan kepada para kepala daerah agar mampu mempertanggungjawabkan anggaran dengan baik untuk pembangunan, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Ia menegaskan, KPK tidak pernah mengincar kader partai tertentu untuk ditangkap.
”Menurut kami, ini hanya apesnya saja karena selama ini ranjau-ranjau yang ditebar KPK cukup banyak. Jumlahnya bukan hanya 10 atau 20, melainkan ratusan. Kalau ada laporan pengaduan masyarakat yang menyangkut profil A, B, C, kami tidak memandang warna (partainya) apa tidak, tetapi berdasarkan laporan yang ada, kemudian ditindaklanjuti dengan cara-cara kami,” ucap Karyoto.
Sependapat dengan Karyoto, Ghufron pun menegaskan, pihak-pihak yang ditangkap KPK dan dijadikan tersangka sudah dipastikan berdasarkan kecukupan alat bukti. Jadi, KPK bukan mengejar warna partai ataupun menghindari warna partai lain.
”Warnanya kuning, warnanya merah, warnanya hijau ataupun yang lain, biru, kalau tidak memenuhi alat bukti, kami tidak mungkin menangkapnya. Sebaliknya, warnanya tidak warna tertentu, tetapi kalau memenuhi alat bukti, tentu kami akan melakukan proses hukum. Jadi, di hadapan kami, tidak ada warna. Di hadapan kami, semuanya adalah berdasarkan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan,” pungkas Ghufron.