Dimasukkannya hukum adat ke dalam RKUHP, menurut sebagian ahli hukum, dapat membuka celah diskriminasi terhadap kelompok rentan. Belum lagi mengenai penegakan hukum adat yang dikhawatirkan menimbulkan persoalan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
Ada sejumlah isu krusial yang membuat pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP masih tertunda. Salah satunya mempersoalkan dimasukkannya living law atau hukum yang hidup di masyarakat atau dikenal sebagai hukum adat ke dalam RKUHP. Sebagian ahli hukum beranggapan hal itu dapat membuka celah diskriminasi terhadap kelompok rentan, dan juga rawan menjerumuskan masyarakat adat.
Ketentuan mengenai living law diatur di dalam Pasal 2 RKUHP. Ancaman pidana terhadap pelanggaran terhadap hukum yang hidup di masyarakat diatur dalam Pasal 597 Ayat (1). Menurut salah satu anggota tim penyusun RKUHP, Yenti Garnasih, nantinya, pidana adat itu diatur di dalam peraturan daerah (perda). Sanksi maksimal yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran pidana adat tersebut maksimal denda kategori II, yakni Rp 10 juta.
Pengaturan pidana adat tersebut memunculkan kekhawatiran dari sejumlah pihak, termasuk pemerhati kelompok rentan berbasis jender, bahwa pengaturan hukum adat yang nantinya dibuat melalui Peraturan Daerah itu malah diskrimatif. Apalagi, berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), ada 421 perda yang diskriminatif sampai pada 2018.
Beda pendapat
Salah satu anggota tim penyusun RKUHP, Marcus Priyo Gunarto, yang juga Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada ini mengungkapkan, sebelum memutuskan untuk memasukkan hukum adat ke dalam RKUHP, tim mengundang 14 guru besar hukum pidana untuk dimintai masukan. Semua guru besar tersebut sepakat bahwa hukum adat masih diperlukan. Akan tetapi tidak semua sepakat jika hukum adat tersebut dimasukkan menjadi salah satu delik di dalam KUHP.
Pihak yang menolak beralasan bahwa delik adat tidak memiliki bestandelen delicts atau unsur-unsur delik. Delik adat hanya memuat delik inti. Lalu, ada yang mengusulkan untuk menghidupkan peradilan adat yang sudah dihapuskan atau usulan lain agar hukum adat dituangkan ke dalam perda. Ragam usulan keempat, dibuat kompilasi hukum adat seperti halnya kompilasi hukum Islam.
Dari semua alternatif-alternatif yang ada, Marcus mengatakan, pemerintah memutuskan delik adat dituangkan di dalam perda. Dari perda tersebut, kemudian dibuat satu kompilasi. ”Dengan batasan bahwa hukum adat itu tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum yang diakui bangsa-bangsa beradab,” ujar Marcus dalam seri webinar membahas RKUHP yang diselenggarakan Institute Criminal Justice Reform (ICJR), pekan ini.
RKUHP itu juga mengamanatkan pembuatan aturan turunan (perda) dalam jangka waktu dua tahun sejak undang-undang tersebut disahkan. Terkait hal ini, Marcus mencatat adanya potensi masalah. ”Persoalanya, siapa yang akan menginisisasi hal ini, pemerintah pusat ataukah pemerintah daerah. Lalu jika tidak terealisasi dalam waktu dua tahun, hukum mana yang harus diberlakukan. Kompilasi atau hukum yang lama,” tanyanya.
Masih berkaitan dengan hukum adat, Yenti yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan mengungkapkan pentingnya memastikan bahwa hukum adat yang diatur di dalam perda benar-benar hukum yang masih berlaku di masyarakat. Bukan aturan yang ingin dihidup-hidupkan. Pihaknya telah melakukan penelitian selama empat tahun mengenai hukum-hukum adat yang masih berlaku hingga saat ini di wilayah tertentu di Indonesia. Namun, penelitian tersebut belum selesai mengingat sumber daya manusia yang terbatas.
Ada kekhawatiran dari berbagai kalangan bahwa dimasukkannya hukum adat ke dalam KUHP justru menjadi celah bagi hidupnya peraturan-peraturan yang diskriminatif.
Aturan diskriminatif
Ada kekhawatiran dari berbagai kalangan bahwa dimasukkannya hukum adat ke dalam KUHP justru menjadi celah bagi hidupnya peraturan-peraturan yang diskriminatif dan tidak berpihak pada kelompok rentan. Belum lagi berbicara mengenai proses penegakan hukum terhadap hukum adat tersebut yang dikhawatirkan juga menimbulkan persoalan.
Mengenai hal ini, Yenti mengungkapkan pentingnya untuk mengawal proses pembuatan perda dan kompilasi hukum adat. Sementara Marcus Gunar memastikan bahwa pembuatan perda tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa saringan dari para ahli dan peneliti. Mereka akan meneliti apakah substansi perda tersebut bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, HAM, dan asas-asas hukum.
”Ini memang harus dikawal. Sebenarnya ini proses politik biasa. Setelah nanti dituangkan ke dalam perda, itu akan dikompilasi pemerintah dengan leading sector BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional). BPHN akan memuat perda-perda yang memuat delik adat,” ujar Marcus.
Ia memastikan bahwa aturan yang diskriminatif bisa dihilangkan. ”Tidak mungkin langsung diterima begitu saja. Kan, batasannya jelas. Pancasila, UUD, HAM dan asas-asas hukum umum. Contoh, suatu deaerah ngaku masih punya tradisi arak bugil. Arak bugil itu kan mestinya bertentangan dengan asas-asas hukum umum. Pasti tak akan diterima,” ujarnya.
Namun, ia mengakui bahwa pelaksanaan perda itu nantinya harus dilengkapi dengan revisi hukum acara pidana. “Hukum acara pidana yang sekarang ini masih menjadi masalah,” ungkapnya.
Namun, akademisi hukum pidana Universitas Padjadjaran Nella Sumika Putri tetap tidak setuju dengan keberadaan Pasal 2 RKUHP yang mengakui keberadaan pidana adat. Ia mempertanyakan alasan dimasukkannya hukum adat ke dalam RKUHP tersebut, apakah memang benar ingin mengakomodir masyarakat adat atau justru menjerumuskan masyarakat adat. Menurut dia, hidup berdampingan dengan hukum adat tidak harus berarti menaruhnya di dalam KUHP.
Sementara itu, masih ada banyak isu krusial lainnya yang membuat RKUHP membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Isu-isu itu, antara lain, penyerangan harkat dan martabat presiden/wakil presiden, santet, kriminalisasi dokter, contempt of court, penodaan agama, kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, hingga aborsi.
Dalam sejarahnya, wacana revisi KUHP dan pembahasannya bukan kali ini saja, melainkan sudah ada sejak tahun 1959.
Proses panjang
Dalam sejarahnya, wacana revisi KUHP dan pembahasannya bukan kali ini saja, melainkan sudah ada sejak tahun 1959. Dari masa ke masa, upaya merevisi kitab undang-undang itu belum juga tercapai.
Namun, pemerintah terus berupaya menghadirkan kitab hukum pidana buatan bangsa sendiri. Di masa paskareformasi, contohnya, pembahasan mendalam RKUHP dimulai ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk pertama kalinya menyampaikan rancangan undang-undang itu ke DPR pada 2012. Upaya ini ditindaklanjuti kembali pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan menyampaikan kembali draf dan naskah akademik RKUHP ke DPR yang diikuti dengan pembahasan secara intensif selama 4 tahun.
Hasilnya, pada 19 September 2019, RKUHP tersebut telah mendapat persetujuan tingkat pertama (antara pemerintah dengan Panitia Kerja RKUHP). Namun, pada 26 September 2019, pemerintah menunda pembahasan tingkat II di rapat paripurna DPR untuk mendapat persetujuan bersama.
Hingga Desember 2021, pemerintah dan DPR sedianya akan memulai pembahasan RKUHP. Namun, pengesahan pembahasan itu ditunda akibat masifnya penolakan masyarakat.
Yenti mengakui, masalah di dalam RKUHP masih banyak sekali. RKUHP yang sudah diperbaiki oleh tim perumus tahun 2021 belum sempurna. Perbaikan masih dilakukan hingga saat ini. Meskipun demikian, ia berharap RKUHP tersebut dapat disahkan tahun depan.
Yenti kemudian mengingatkan, Belanda pun telah merevisi KUHP sebanyak 455 kali sejak disahkan. ”Nanti kekurangan-kekurangan itu diamandemen tiap minggu, tidak masalah. Yang penting kita punya KUHP yang bukan peninggalan Belanda,” ujarnya.