Perjelas Ketentuan Hukum Adat dalam Rancangan KUHP
Masuknya ”living law” ke dalam KUHP memantik pro dan kontra. Ketentuan hukum adat yang tidak tertulis berpotensi memicu ketidakpastian hukum dan dinilai melanggar asas legalitas.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masuknya ketentuan hukum adat yang hidup di tengah masyarakat di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP masih perlu diperjelas untuk menghindari pelanggaran terhadap asas legalitas. Sebab, asas legalitas mengatur suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali telah diatur demikian secara tertulis di dalam undang-undang. Persoalannya, hukum adat yang hidup di tengah-tengah masyarakat umumnya merupakan hukum tidak tertulis sehingga ketika ketentuan itu masuk ke dalam RKUHP dikhawatirkan melanggar asas legalitas yang dianut selama ini
Hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat (living law) itu tercantum di dalam Pasal 2 RKUHP yang terdiri atas 2 ayat. Ayat (1) berbunyi, ”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.”
Adapun Ayat (2) menyebutkan, ”Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.”
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, Kamis (17/6/2021) di Jakarta, mengatakan, masuknya living law di RKUHP dinilai berpotensi melanggar asas legalitas karena seseorang dapat dipidana atas dasar suatu ketentuan yang hidup di dalam masyarakat, seperti hukum adat, kendati peraturan itu tidak tertulis di dalam RUU tersebut.
Hal ini berpotensi menjadi persoalan karena membuka kemungkinan adanya klaim-klaim terhadap adanya aturan yang hidup di tengah masyarakat untuk dapat diadopsi ke dalam ketentuan pidana. Tidak terkecuali aturan-aturan adat yang terasosiasi dengan hukum agama yang sifat dan jenisnya bisa bermacam-macam dari berbagai daerah di Indonesia.
”Masuknya hukum adat tanpa kejelasan aspek formal dan materiil membahayakan kesatuan hukum di Indonesia, karena nanti, misalnya, terhadap orang yang meminum minuman alkohol di Aceh bisa saja dia dijatuhi sesuai aturan qanun, dan bagaimana yang berlaku di Padang, Sumbar, ketika aturan adat yang berkaitan dengan keyakinan agama digunakan. Bagaimana pula dengan hukum adat yang di Manado, apakah akan berlaku hukum agama lainnya lagi,” kata Erasmus.
Untuk mencegah rusaknya kesatuan hukum pidana di Indonesia, ketentuan mengenai living law itu harus diformulasikan lebih jelas. Bahkan, jika memang maksudnya ialah menghormati dan mengakui hukum adat setempat, hal itu tidak perlu disebutkan di dalam KUHP, tetapi cukup diatur di peraturan daerah (perda) masing-masing.
Pencantuman pasal itu di dalam KUHP akan berimplikasi serius karena nantinya orang-orang yang dipandang melanggar adat akan ditindak oleh polisi dan bisa dijatuhi pidana.
”Masyarakat bisa menyelesaikan sendiri persoalan adatnya, dan kenapa ini mau diambil alih oleh negara pengaturannya. Pengaturan ini juga berpotensi merusak asas legalitas. Hakim memang diperintahkan untuk menggali aturan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, tetapi semangatnya adalah untuk memenuhi rasa keadilan publik, dan menjadikannya pertimbangan. Namun, bukan berarti itu dijadikan patokan dalam penjatuhan pidana,” katanya.
Harus lakukan riset
Salah satu anggota tim ahli RKUHP pemerintah, Topo Santoso, mengatakan, masuknya living law di dalam RKUHP itu memang memantik diskusi dan dinamika di internal pemerintah. Namun, pada dasarnya yang ingin dilindungi dalam pengaturan itu adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Negara ingin mengakui hukum yang sudah ada.
”Kekhawatiran soal itu bisa dipahami, tetapi masuknya living law ke dalam RKUHP tidak bermaksud seperti itu. Jangan sampai kita mempertahankan asas legalitas yang kita adopsi ini pada tahun 1915, tetapi membiarkan hukum adat yang sudah ada sebelumnya menjadi terhapuskan. Justru rekodifikasi RUU KUHP ini menjadi momentum untuk mengakui hukum adat yang sebelumnya sempat tidak diakui. Jadi yang tadinya dianggap tidak ada, kini hukum asli masyarakat kita diakui kembali,” ucapnya.
Menurut Topo, sebelum KUHP berlaku di era kolonial, masyarakat Indonesia mengikuti aturan-aturan hukum adat yang antara lain dijalankan oleh pemerintahan berstatus swapraja yang berdaulat, seperti keraton-keraton di berbagai daerah di Tanah Air.
Namun, sejak ada KUHP atau Wetboek van Stafrecht, hukum kolonial yang semula hanya berlaku untuk orang Belanda itu diterapkan juga bagi masyarakat di Nusantara. Hukum adat yang hidup di tengah-tengah masyarakat pun menjadi terabaikan, dan tidak memperoleh pengakuan, karena asas yang diikuti ialah hukum tertulis atau asas legalitas.
Soal penerapan pasal living law ini, menurut Topo, harus melalui riset yang ketat, karena tidak semua aturan dapat diklaim sebagai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Idealnya, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM atau pemerintah daerah secara serius melakukan riset hukum adat mana saja yang dapat diadopsi dalam penanganan suatu kasus pidana di wilayah tertentu.
”Ketika RUU KUHP ini berlaku, kan ada masa peralihannya. Dalam masa itu pemerintah harus menyiapkan semuanya melalui riset mendalam, apakah itu nanti dituangkan di dalam peraturan pemerintah atau perda, harus jelas landasannya agar penggunaan hukum adat itu tidak ditolak oleh pengadilan negeri. Tentu tidak bisa semua komunitas mengajukan hukum adat karena harus benar-benar diteliti apakah hukum itu sungguh hidup di tengah masyarakat ataukah tidak,” katanya.
Ancam kepastian hukum
Namun, masuknya living law ke dalam RKUHP ini, dipandang merupakan persoalan terbesar yang harus diformulasikan kembali oleh pemerintah dalam revisi draf RUU KUHP sebelum diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut Erasmus, penyerahan kompilasi hukum adat ke dalam perda akan berpotensi menumbuhkan ”KUHP” yang berbeda-beda di daerah karena setiap pemda memiliki persepsi dan aturan berbeda menyangkut hukum adat yang hidup di lingkungan masing-masing.
”Kepastian hukum akan terancam,” katanya.
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan butuh diskusi mendalam terkait dengan living law. Bahkan, ketika memang akan tetap dimasukkan ke dalam RKUHP, perlu ada simulasi terlebih dulu sebelum aturan itu diterapkan.
”Jangan sampai adanya pengaturan ini membuat daerah berlomba-lomba memasukkan hukum adat di dalam ketentuan pidana,” katanya.
Khusus untuk aturan living law ini, diskusi terbuka harus dibuka kembali, dan sosialisasi dilakukan masif untuk menjelaskan kepada publik, serta menyerap masukan. Berpatokan dengan ketentuan dan asas legalitas, menurut Taufik, masuknya living law ke dalam RKUHP memang tidak sesuai asas hukum tersebut. Pemerintah diharapkan memperjelas kembali pengaturan hal ini.
Secara terpisah, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, mengingat subtansi yang masih problematik, proses pembahasan RKUHP ini semestinya tidak dikebut.
Belajar dari pengalaman pembahasan RUU carry over (luncuran) lainnya, seperti RUU Minerba dan RUU Bea Cukai, yang dibahas dengan cepat, RKUHP ini pun dikhawatirkan akan dibahas cepat-cepat. Beberapa kali rapat kerja (raker) antara Komisi III dan Kemenkumham menunjukkan dorongan agar RKUHP cepat disahkan. Alasannya, RUU ini pada periode DPR sebelumnya telah disetujui di tingkat pertama, dan tinggal dibawa ke persetujuan tingkat kedua, yakni pengesahan di paripurna.
”Substansi yang masih menjadi persoalan harus dituntaskan dulu sehingga tidak menimbulkan persoalan baru di belakang hari. Sosialisasi saja tidak cukup, tetapi harus mendalami dan membahas ulang isu-isu krusial,” ucapnya.