Dugaan ”Mark Up” Sewa Pesawat dan Manipulasi Bahan Bakar di Garuda Indonesia
Penyelidikan kasus dugaan korupsi di Garuda Indonesia sudah dimulai Kejagung sejak November lalu. Pihak Garuda Indonesia mendukung penuh langkah Kejagung dan berjanji akan menindaklanjuti setiap keperluan penyelidikan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk difokuskan pada rencana pengadaan pesawat dalam kurun waktu 2009-2014 berupa pesawat terbang jenis ATR 72-600 dan CRJ 1000. Dalam proses pengadaan dan sewa pesawat terbang tersebut, diduga terjadi kerugian keuangan negara.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan pers, Senin (11/1/2022), mengatakan, penyelidikan terhadap dugaan korupsi di Garuda Indonesia dimulai Kejagung pada 15 November lalu dengan terbitnya Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Print-25/F.2/Fd.1/11/2021. Penyelidikan dilakukan karena diduga terjadi penggelembungan harga (mark up) penyewaan pesawat.
”Yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan waktu perjanjian tahun 2013 sampai dengan saat ini dan (terjadi) manipulasi data dalam laporan penggunaan bahan bakar pesawat,” kata Leonard.
Leonard menuturkan, berdasarkan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) Tahun 2009-2014, terdapat rencana kegiatan penambahan armada pesawat sebanyak 64 pesawat oleh Garuda Indonesia. Program itu akan dilaksanakan dengan menggunakan skema pembelian (financial lease) dan sewa (operation lease buy back) kepada pihak penyedia pesawat (lessor).
Rencana tersebut kemudian direalisasikan untuk pesawat terbang ATR 72-600 sebanyak 50 unit pesawat yang terdiri dari pembelian 5 unit pesawat dan sewa 45 unit pesawat. Selain itu, program pengadaan dilakukan juga untuk pesawat terbang jenis CRJ 1000 sebanyak 18 unit pesawat yang terdiri dari pembelian 6 unit pesawat dan sewa 12 unit pesawat.
Dalam prosedur perencanaan bisnis Garuda Indonesia, dalam pengadaan atau sewa pesawat, direktur utama akan membentuk tim pengadaan sewa pesawat yang terdiri atas beberapa direktorat, yakni teknis, niaga, operasional dan layanan atau niaga. Tim kemudian melakukan kajian yang dituangkan dalam bentuk laporan.
Adapun studi kelayakan (FS) disusun oleh tim atas masukan semua direktorat dengan mengacu pada rencana bisnis yang telah dibahas dalam pembahasan anggaran. Hal itu juga harus sejalan dengan perencanaan armada yang berdasarkan pada kajian, riset, tren pasar, dan kebiasaan penumpang.
”Atas pengadaan atau sewa pesawat tersebut, diduga telah terjadi peristiwa pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan menguntungkan pihak lessor,” ujar Leonard.
Menyehatkan Garuda Indonesia
Secara terpisah, Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra mengatakan, dugaan kasus korupsi pengadaan pesawat itu terjadi beberapa tahun lalu atau saat manajemen lama. ”Detailnya nanti menunggu hasil penyelidikan,” ujar Irfan ketika ditanya tentang periodisasi manajemen lama tersebut.
Manajemen Garuda Indonesia, lanjut Irfan, akan mendukung penuh penyelidikan tersebut dan akan menindaklanjuti setiap keperluan penyelidikan yang disampaikan sebagai bagian dari upaya penegakan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Garuda berkomitmen mendukung setiap upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitas perusahaan dalam setiap aktivitas bisnisnya.
Hal itu selaras dengan upaya Kementerian BUMN memastikan praktik bisnis di lingkungan BUMN sesuai dengan prinsip GCG tersebut. Hal itu juga turut menjadi aspek fundamental dalam misi transformasi Garuda yang tengah berjalan saat ini guna menjadikan Garuda sebagai entitas bisnis yang sehat.
”Sehat tidak hanya dari sisi kinerja keuangan dan operasional akan, tetapi juga ditunjang oleh fondasi tata kelola perusahaan yang sehat dan solid dalam mengakselerasikan kinerja usaha ke depan,” kata Irfan.
Saat ini Garuda Indonesia tengah terjerat utang 9,75 miliar dollar AS dan pendapatannya merosot drastis selama pandemi. Garuda juga tengah membenahi model bisnis dan merestrukturisasi utangnya terhadap sekitar 800 kreditor melalui jalur pengadilan dan nonpengadilan.
Restrukturisasi utang melalui jalur pengadilan di dalam negeri dan luar negeri ditempuh melalui mekanisme penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Prosesnya sudah pada tahap pendaftaran para kreditor yang sepakat menempuh jalur tersebut.
Proses PKPU itu diharapkan bisa mulai pada Januari 2022 dan diperkirakan akan mulai mengerucut pada Maret atau April 2022. Adapun jalur nonpengadilan dilakukan dengan cara negosiasi dengan para kreditor.