Memuji Calon Anggota KPU, Anggota Tim Seleksi Penyelenggara Pemilu Kena Tegur
”Mengungkapkan fakta boleh saja, tetapi sebaiknya jangan memuji-muji calon,” kata Ketua Timsel Calon Anggota KPU dan Bawaslu Juri Ardiantoro dalam sesi wawancara dengan para peserta seleksi penyelenggara pemilu.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu atau Timsel KPU-Bawaslu Juri Ardiantoro menegur anggotanya yang terus memuji salah seorang peserta seleksi dalam sesi wawancara. Semua anggota Timsel KPU-Bawaslu diharapkan mengedepankan prinsip imparsialitas dalam proses seleksi penyelenggara pemilu.
”Mengungkapkan fakta boleh saja, tetapi sebaiknya jangan memuji-muji calon,” kata Juri saat sesi wawancara calon anggota KPU, Selasa (28/12/2021).
Proses seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu sudah memasuki tahapan wawancara. Pada hari pertama, wawancara diikuti sembilan calon anggota KPU. Mereka adalah Abhan, August Mellaz, Badrul Munir, Betty Epsilon Idroos, Choirul Anam, Dahliah, Diana Fawzia, Hasyim, dan Hasyim Asy’ari. Tahapan wawancara calon anggota KPU dan Bawaslu direncanakan berlangsung hingga Kamis pekan ini.
Mengungkapkan fakta boleh saja, tetapi sebaiknya jangan memuji-muji calon.
Teguran dilontarkan Juri setelah mendengar pernyataan Bahtiar, anggota timsel yang juga Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri. Juri mengingatkan, mengungkap fakta atas peran salah satu calon bisa saja dilakukan, tetapi tidak harus dengan cara memuji.
Dalam sesi wawancara itu, Bahtiar berkali-kali melontarkan pujian kepada August Mellaz yang disebut turut berperan dalam perumusan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. August yang merupakan Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi memang berperan dalam merumuskan metode konversi suara dari kuota hare menjadi sainte lague.
”Dulu metode konversi suara menjadi kursi, yang sebelumnya menggunakan kuota hare dan kini menjadi sainte lague, itu dia perjuangkan keras, memperdebatkan daerah pemilihan, dan sekarang ada di UU itu karya beliau juga. Dan tidak dibayar sesen pun,” kata Bahtiar menguatkan jawaban August ketika merespons anggota timsel lainnya, Abdul Ghaffar Rozin, yang mempertanyakan apakah August akan cukup punya determinasi dalam memperjuangkan ide-idenya ketika menjadi anggota KPU nanti.
Pertanyaan yang dilontarkan oleh timsel kepada para peserta seleksi penyelenggara pemilu cukup bervariasi. Mulai dari pendalaman terhadap tema yang dibawakan para calon, latar belakang dan kompetensi, motif mereka mendaftar sebagai calon anggota KPU, hingga dugaan pelanggaran etik maupun unggahan di media sosial terkait isu-isu yang dinilai sensitif.
Dihubungi secara terpisah, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengingatkan Timsel KPU-Bawaslu untuk mengedepankan prinsip imparsialitas. ”Timsel harus memegang prinsip kerja yang sepenuhnya berkomitmen pada imparsialitas. Hal-hal yang bisa mengarah pada kesan favoritisme pada calon-calon itu harus dihindari,” ujarnya.
Pemilu 2024, lanjut Titi, akan sangat kompetitif sehingga proses seleksi ini penting untuk menjaga impresi dan kepercayaan diri para pesertanya. Publik yang memantau wawancara ini juga dapat mengetahui bahwa setiap calon diperlakukan sama, adil, dan setara, serta tidak ada sikap yang memperlihatkan kecenderungan kepada calon-calon tertentu.
”Hal ini untuk memberikan keyakinan bahwa proses ini benar-benar kredibel dan bukan sekadar untuk melegitimasi calon-calon yang memang dianggap sudah dikehendaki untuk terpilih,” katanya.
Oleh karena itu, kecenderungan-kecenderungan untuk menunjukkan kesukaan atau ketidaksukaan atau perlakuan yang berbeda antarcalon serta pujian atau serangan harus diberikan secara proporsional. Di sisi lain, pertanyaan yang terlalu merendahkan calon juga sebaiknya dihindari oleh anggota timsel. Sebab, para calon memiliki kedudukan yang setara dengan timsel dan harus diciptakan relasi yang setara di antara kedua belah pihak.
Mantan Direktur Ekseksutif Perludem itu menambahkan, proses seleksi penyelenggara pemilu harus pula mengedepankan kapasitas dan inklusivitas penyelenggara pemilu. Sikap sektarian kelompok yang kerap kali dikaitkan dengan dukungan kepada para calon sebaiknya dihindari. ”Hal-hal yang bisa memicu spekulasi dan kontroversi semaksimal mungkin harus dihindari saat seleksi berlangsung. Timsel harus serius menjaga proporsionalitas dan imparsialitas proses seleksi,” katanya.
Teknologi informasi
Sementara dalam sesi wawancara itu, sebagian besar calon mengungkapkan perlunya pengembangan teknologi informasi untuk memastikan Pemilu 2024 berjalan lebih mudah dan sederhana, baik untuk peserta maupun pemilih.
Abhan mengatakan, KPU sebelumnya telah membangun sistem informasi, terutama dalam proses penghitungan dan rekapitulasi suara. KPU telah menggunakan Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara) dalam Pemilu 2019 dan Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi Suara Elektronik) pada Pilkada 2020.
”Kalau saya menjadi anggota KPU, tidak perlu membuat sistem-sistem informasi yang baru, karena kalau membuat yang baru lagi akan memerlukan biaya tinggi. Yang terpenting, bagaimana mengoptimalkan sistem informasi itu agar lebih efektif,” tuturnya.
Abhan juga dikonfrontasi mengenai pelaksanaan resepsi anaknya pada 10 April 2021, yang berbarengan dengan acara diskusi kelompok terarah (FGD) Bawaslu, 10-12 April 2021, di Solo, Jawa Tengah. Timsel menerima laporan dari sejumlah pimpinan Bawaslu daerah mengenai FGD serta undangan resepsi yang digelar Abhan.
”Undangan secara resmi tidak ada, tetapi saya hanya membuka acara FGD itu dan mengatakan undangan lisan, kalau mereka sempat silakan untuk datang. Saya bisa pastikan biaya resepsi itu bukan dari anggaran Bawaslu, karena untuk keperluan itu saya harus menjual salah satu rumah saya,” ujarnya.
August mengatakan, pendidikan pemilih menjadi fokusnya andai kata terpilih sebagai anggota KPU. Pendidikan itu penting untuk memastikan mereka terlibat aktif dan partisipatif dalam pemilu. Salah satu yang menjadi landasan ialah refleksi terhadap banyaknya suara tidak sah dalam Pemilu 2019. Ketika itu, ada 17 juta suara tidak sah yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
August berharap pendidikan pemilih itu dapat dilakukan KPU bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi serta masyarakat sipil. ”Ini sesuatu yang tanpa ada pemilu harus tetap dilakukan. Yang saya tawarkan ialah dalam tim kerja itu leading sector adalah KPU, dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil, pegiat pemilu, terutama dari kalangan TI dan industri kreatif, serta melibatkan pemilih yang lebih tersegmentasi,” paparnya.
Adapun Badrul Munir mengatakan, selain optimalisasi teknologi informasi, ia mendorong dilakukan mekanisme penyelesaian penegakan hukum di KPU yang lebih sederhana. Selama ini, penyelesaian sengketa administratif kerap memakan waktu berhari-hari di Bawaslu dan KPU. Ia mengusulkan agar hal itu dibuat lebih sederhana dengan membentuk majelis pemilu yang beranggotakan KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
”Dengan demikian, kalau ada keputusan KPU yang dinilai bertentangan dengan UU di atasnya, tidak perlu berlama-lama berproses di Bawaslu, tetapi bisa diputus di dalam majelis itu,” ucapnya.