Risiko dan Celah Korupsi Masih Belum Berubah di Kalangan Pegawai Pemerintah
Survei Penilaian Integritas 2021 KPK diketahui, 56 persen responden mengaku tahu di instansinya masih ada penyalahgunaan, seperti kendaraan dinas dan perjalanan. Inilah celah dan ruang korupsi di kementerian/lembaga.
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai risiko, modus, dan celah korupsi di berbagai instansi pemerintah, baik kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah, masih saja terjadi. Penyalahgunaan fasilitas kantor, penyimpangan pengadaan barang jasa, korupsi dalam promosi atau mutasi sumber daya manusia, suap/gratifikasi, dan intervensi atasan masih terjadi di hampir semua instansi pemerintah.
Dalam uraian hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2021 yang dilakukan KPK diketahui, 56 persen responden menyatakan mengetahui di instansinya terdapat penyalahgunaan fasilitas kantor, seperti penggunaan kendaraan dinas dan perjalanan dinas. Hal ini terjadi di 99 persen instansi yang disurvei.
Korupsi pengadaan barang jasa terjadi di 100 persen instansi yang disurvei. Korupsi dalam promosi dan mutasi SDM atau memberikan uang untuk mendapatkan jabatan tertentu juga masih terjadi di 99 persen instansi yang disurvei. Suap/gratifikasi serta intervensi seperti dalam penentuan hasil lelang terjadi pada 98 persen dan 99 persen instansi yang disurvei.
Baca juga: Penguatan Integritas Aparat untuk Pencegahan Korupsi Masih Jauh dari Target
”Hanya derajatnya yang berbeda-beda, ada yang sistemik, ada yang oknum,” tutur Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat menjelaskan hasil SPI 2021.
Hanya derajatnya yang berbeda-beda, ada yang sistemik, ada yang oknum.
SPI disiapkan untuk mengukur tingkat korupsi di berbagai instansi pemerintah dan dilakukan di 98 kementerian/lembaga, 34 pemerintah provinsi, dan 508 kabupaten/kota. Responden terdiri atas pegawai di internal masing-masing instansi yang mencapai 255.010 orang. Data dikumpulkan inspektorat.
Dari internal instansi, responden yang berjumlah lebih dari 154.439 terdiri dari 60 persen laki-laki dan 40 persen perempuan. Sebanyak 56 persen responden berpendidikan setara S-1, 38 persen memiliki jabatan setara staf pelaksana, dan 39 persen berusia 38-45 tahun.
Survei juga dilakukan dari pihak eksternal, yakni pihak-pihak yang menerima layanan publik dari setiap instansi. Penilaian juga dilakukan para ahli dari BPK, BPKP, media massa, Ombudsman RI, dan akademisi. Selain itu, disiapkan juga nilai koreksi berdasarkan banyaknya pengaduan ke KPK.
SPI kali ini disebut Pahala sebagai pertama kalinya dilakukan secara masif kendati dilakukan secara daring. Biayanya pun hampir Rp 20 miliar. Namun, semua instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang menggunakan APBN dan APBD dinilai.
Sebelumnya, pada 2007, survei dilakukan dengan model percontohan. Tahun 2016, survei dilakukan bersama BPS, tetapi juga masih percontohan.
Kendati demikian, dari semua instansi, empat wilayah di Papua, yakni Nduga, Puncak Jaya, Yalimo, dan Pegunungan Bintang, tidak bisa disurvei secara daring. Sebanyak 41 pemerintah daerah yang koneksi internetnya tak lancar juga dikombinasi survei tatap muka. Adapun delapan kementerian/lembaga melakukan survei mandiri.
Lebih jauh disampaikan, dalam survei, pertanyaan yang disampaikan, antara lain, masih adakah suap/gratifikasi, masih adakah penyalahgunaan fasilitas kantor, seperti perjalanan dinas, kendaraan dinas, dan lainnya, masih adakah jual beli jabatan, masih adakah intervensi atasan dalam pengadaan barang jasa, masih adakah penyalahgunaan dalam pengadaan barang/jasa.
Pertanyaan yang disampaikan, antara lain, masih adakah suap/gratifikasi,masih adakah penyalahgunaan fasilitas kantor, seperti perjalanan dinas, kendaraan dinas, dan lainnya, masih adakah jual beli jabatan, masih adakah intervensi atasan dalam pengadaan barang jasa, masih adakah penyalahgunaan dalam pengadaan barang/jasa.
Rekomendasi
Secara umum, kata Pahala, indeks integritas yang diukur KPK secara nasional mencapai 72,3. Kendati bisa dinilai baik, adanya hampir 30 persen yang masih korupsi berarti sistem yang ada masih korup.
Dari survei ini, KPK memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, diperlukan review atas efektivitas beragam upaya pencegahan korupsi. Beragam program, seperti zona integritas, penguatan aparat pengawasan internal pemerintah (APIP), wilayah bebas korupsi (WBK) dan wilayah birokrasi bersih melayani (WBBM) perlu dievaluasi efektivitasnya.
”Jangan-jangan memang enggak ada efeknya, sekadar melakukan saja, jadi mari kita review segera,” tutur Pahala.
Kedua, perlu didorong pengaturan untuk mengatasi konflik kepentingan dan penyalahgunaan fasilitas kantor. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bisa mengatur hal ini.
Ketiga, warga milenial memerlukan pelayanan daring. Karena itu, optimalisasi teknologi dalam proses layanan atau pemerintahan berbasis teknologi harus dipercepat untuk memperbaiki layanan publik. Pahala menambahkan, daerah-daerah yang menerapkan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) memiliki tingkat korupsi yang relatif rendah.
Jangan-jangan memang enggak ada efeknya, sekadar melakukan saja, jadi mari kita review segera.
Sementara untuk mengatasi masalah pengadaan, sistem katalog elektronik melalui lokapasar dan menggunakan pembayaran elektronik direkomendasikan. Sejauh ini, menurut Pahala, KPK sudah mengusulkan ke Kementerian Keuangan dan sudah mulai diterapkan e-payment untuk pengadaan senilai Rp 50 juta ke bawah.
Kepala BPS Margo Yuwono mengapresiasi SPI. Namun, diperlukan beberapa penyempurnaan dalam pelaksanaan SPI mendatang. Pertama, responden yang mengisi secara daring perlu dipastikan perwakilan instansi pemerintah yang diukur integritasnya. Survei yang lebih sederhana juga akan memudahkan tujuan dipahami.
Metode penghitungan indeks secara nasional yang tidak berubah-ubah perlu dikembangkan. Dengan demikian, hasil survei bisa dibandingkan antarwaktu. Selain itu, hasil SPI sosialisasi masif supaya bermanfaat pada semua instansi dalam mengatasi budaya korupsi.
Ignatius Kristanto dari Litbang Kompas juga mengapresiasi survei yang dinilai menggunakan metode kompleks. Selain dilakukan di masa pandemi yang menyulitkan, survei berkolaborasi dengan berbagai macam instansi yang berbeda.
Metodenya pun bermacam-macam, ada yang wawancara tatap muka dan wawancara secara daring. Responden yang beragam, dari internal instansi, eksternal, dah ahli pun dinilai membuat analisis menjadi tak mudah. Sebab, pembobotan dalam analisis dipastikan rumit.
Rencana aksi
Hasil SPI 2021 sebagai pemetaan potensi dan capaian upaya pencegahan korupsi setiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Ke depan, rekomendasi akan digunakan untuk membuat rencana aksi yang sesuai dengan karakter setiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan apresiasi pada semua instansi dan semua pihak yang membantu survei ini. Pengukuran tingkat korupsi ini pun akan dilakukan setiap tahun.
Baca juga: Wakil Ketua KPK: Kasus Korupsi Aparat Penegak Hukum Sebaiknya Ditangani KPK
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa juga menyambut hasil SPI 2021 sebagai pemetaan potensi dan capaian upaya pencegahan korupsi setiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Ke depan, rekomendasi akan digunakan untuk membuat rencana aksi yang sesuai dengan karakter setiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Adanya SPI 2021, menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, juga mendorong upaya pencegahan korupsi yang lebih efektif. Kerja sama dan sinergi untuk mewujudkan Indonesia bebas korupsi perlu diperkuat.
Menteri PAN dan RB Tjahjo Kumolo juga menghargai pengukuran tingkat korupsi melalui SPI ini. Nilai integritas yang mengakar kuat, katanya, adalah kunci pemberantasan korupsi. Semestinya nilai integritas dijunjung secara konsisten setiap individu di instansi sehingga menjadi budaya kokoh. Harapannya, korupsi bisa dikikis dan tidak ada lagi tempat untuk koruptor.
Dengan demikian, negara bisa tumbuh lebih cepat. Selain itu, reformasi birokrasi bisa mencapai target utamanya, yakni birokrasi berkelas dunia pada 2024.
Acting Country Director World Bank Indonesia-Timor Leste Iwan Gunawan tak hanya mengapresiasi SPI yang disebutnya sebagai salah satu kunci pencegahan korupsi. Pencegahan korupsi menjadi penting karena korupsi tantangan paling besar dalam mengatasi kemiskinan.
Selain itu, korupsi yang tidak ditangani secara sistemik akan mengikis kepercayaan masyarakat pada lembaga-lembaga publik serta menghambat investasi. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja tak sesuai harapan.