Bakamla Gandeng ASEAN untuk Pengamanan Laut Natuna Utara
Pengamanan Laut Natuna Utara menjadi prioritas tugas Bakamla tahun 2022. Alasannya, ada dinamika lingkungan strategis, seperti tumpang-tindih klaim Vietnam dan intensi negara-negara besar di Laut Natuna Utara.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Keamanan Laut atau Bakamla masih menghadapi kendala minimnya aset dan terbatasnya anggaran operasi. Di sisi lain, aksi China di Laut China Selatan terus meningkat. Oleh karena itu, Bakamla menggandeng mitranya di ASEAN.
Hal ini disampaikan Kepala Bakamla Laksamana Madya Aan Kurnia dalam paparan pencapaian kinerja Bakamla di 2021 dan sasaran capaian kinerja di 2022 saat jumpa pers di Aula 2 Markas Besar Bakamla, Jakarta, Rabu (22/12/21).
Aan mengatakan, Laut Natuna Utara menjadi prioritas tugas Bakamla tahun 2022. Alasannya, ada dinamika lingkungan strategis, seperti tumpang-tindih klaim Vietnam dan intensi negara-negara besar di Laut Natuna Utara yang akan mendominasi situasi di wilayah tersebut. Konsep yang diajukan Bakamla adalah menerapkan prinsip armada siaga dengan melaksanakan pengamatan udara dan analisis informasi Pusat Komando dan Pengendalian.
Aan mengakui, setumpuk tantangan masih dihadapi Bakamla sehingga tidak bisa hadir dan mengawasi perairan Indonesia sepanjang hari. Tantangan itu, misalnya, aset patroli terbatas, saling berbagi informasi belum optimal, dan anggaran operasi yang terbatas. Selain itu, masih ada tumpang-tindih patroli laut dan fungsi dan kewenangan Bakamla yang terbatas. ”Soal undang-undang keamanan laut, sudah ada progres, tetapi belum bisa saya sampaikan,” katanya.
Untuk menghadapi tantangan berat, sementara kemampuan minimal, salah satu strategi Bakamla adalah menggandeng sesama coast guard dari negara-negara ASEAN. Oktober lalu, telah ada pertemuan dengan coast guard Vietnam, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Pertemuan yang digagas Indonesia ini untuk mendorong kesamaan cara pandang dalam menghadapi dinamika tantangan keamanan dan keselamatan laut di kawasan. Pertemuan ini diharapkan dapat mendorong peningkatan kerja sama.
”Untuk saat ini, minimal ada pertukaran informasi,” kata Aan.
Ia mengatakan, kerja sama tersebut tidak spesifik membahas tentang sikap China di Laut China Selatan. Akan tetapi, isu tersebut menjadi salah satu isu yang dibahas dan menjadi kepedulian semua pasukan penjaga pantai. Aan mengakui, masing-masing pasukan penjaga pantai itu merujuk politik luar negeri masing-masing. Namun, menurut dia, kerja sama di tingkat pelaksana, minimal dalam bentuk pertukaran informasi, penting dilakukan.
Pengajar Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, Muhamad Arif, mengatakan, adanya forum antarpasukan penjaga pantai ASEAN merupakan kemajuan penting. Akan tetapi, ia mengingatkan kalau setiap negara punya orientasi berbeda. ”Tidak semua punya kepentingan di Laut China Selatan,” ujarnya.
Selain itu, kebijakan politik masing-masing negara berbeda. Apalagi, kalau dilihat kepentingan jangka panjangnya.
Menurut Arif, forum itu bisa dilihat sebagai ajang untuk melakukan peningkatan komunikasi dan kepercayaan. Ia mengingatkan, forum tersebut sejalan dengan ASEAN dan dilakukan untuk melakukan deeskalasi konflik.
Walaupun masih terlalu dini untuk menilai efektivitas forum tersebut, menurut Arif, forum itu penting untuk membangun kepercayaan. Arif mengatakan, telah ada berbagai referensi terkait dengan kerja sama antarpasukan penjaga pantai tersebut. ”Tidak perlu ada ekspektasi terlalu tinggi, yang penting ada pembangunan kepercayaan,” kata Arif.