KPK: Tak Ada Bukti Sah Penuhi Permintaan Robin Pattuju agar Lili Diproses
Keterangan Robin di persidangan dinilai KPK sebagai ”testimonium de auditu”. Artinya, Robin mendengar dugaan keterlibatan Lili Pintauli di penanganan perkara jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai itu dari pihak lain.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan tak ada bukti sah untuk memenuhi permintaan bekas penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, agar Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dapat diproses hukum. Lili, menurut Robin, ikut terlibat dalam penanganan perkara jual beli jabatan di pemerintahan Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara.
Saat menyampaikan pleidoi atau pembelaan di hadapan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (20/12/2021), Robin meminta keadilan agar Lili Pintauli Siregar diproses hukum. ”Saya sangat menyesali dan meminta maaf jika perbuatan saya telah mencoreng nama baik KPK. Tetapi, saya juga berharap dan meminta keadilan agar Ibu Lili Pintauli Siregar diproses sesuai dengan isi surat justice collaborator (JC) saya,” ujar Robin.
Dalam pleidoi itu, Robin juga kembali mengajukan permohonan sebagai pelaku kejahatan yang bekerja sama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum (justice collaborator). Dalam permohonan itu, dia berjanji akan mengungkap peran komisioner KPK, Lily Pitauli Siregar, dan pengacara yang bernama Arief Aceh. Dalam perkara jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai, Arif Aceh merupakan nama yang diusulkan Lili kepada bekas Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial agar kasusnya diselesaikan.
Menanggapi permohonan Robin itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dihubungi Senin (20/12/2021) sore mengatakan, sejauh ini keterangan dan fakta-fakta persidangan yang diungkapkan Robin tersebut merupakan testimonium de auditu. Artinya, Robin hanya mendengar itu dari pihak lain, yakni Syahrial sebagai saksi. Sementara Syahrial juga mendengarnya dari eks Sekretaris Daerah Tanjungbalai Yusmada, yang juga merupakan saksi.
”Dengan demikian, keterangan terdakwa (Robin) dan para saksi dimaksud masing-masing berdiri sendiri dan tidak tentu bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah,” ujar Ali.
Ali membenarkan fakta bahwa ada komunikasi antara Lili dan Syahrial serta ada penyebutan nama Arif Aceh. Namun, dari fakta di persidangan, Robin justru tidak mengakomodasi keinginan Syahrial untuk memakai jasa Arief Aceh tersebut sebagai kuasa hukum.
”Stepanus Robin Pattuju selama di persidangan tidak mengakui perbuatannya menerima sejumlah uang dan diduga justru sengaja menutupi peran dari Azis Syamsuddin,” tutur Ali.
Jika ingin mengungkap dugaan keterlibatan Lili, menurut Ali, hendaknya Robin tidak hanya menyampaikan hal tersebut di luar persidangan. Sebab, hal itu tentu tidak memiliki nilai pembuktian.
Jika ingin mengungkap dugaan keterlibatan Lili, menurut Ali, hendaknya Robin tidak hanya menyampaikan hal tersebut di luar persidangan. Sebab, hal itu tentu tidak memiliki nilai pembuktian.
”KPK sangat yakin dengan alat bukti terkait adanya kerja sama erat antara Stepanus Robin Pattuju, Azis Syamsuddin, M Syahrial, dan Maskur Husain. Tim jaksa KPK akan membuktikan hal tersebut di depan persidangan,” katanya.
Peran Lili dalam kasus jual beli jabatan di Tanjungbalai telah diungkap pula di dalam putusan sidang kode etik Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada akhir Agustus. Lili dijatuhi sanksi karena terbukti menghubungi pihak yang beperkara di KPK, yaitu Syahrial.
Pascaputusan tersebut, sejumlah mantan pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan, seperti Novel Baswedan, Sujanarko, dan Rizka Anungnata, menyurati Dewas KPK. Mereka meminta Dewas melaporkan perbuatan Lili tersebut kepada aparat penegak hukum.
Namun, Dewas tidak bisa mengabulkan permintaan tersebut karena bertentangan dengan tugas Dewas seperti tertuang dalam Pasal 37 B Undang-Undang KPK. Perbuatan pidana yang diduga dilakukan Lili merupakan rumusan delik biasa dan bukan delik aduan. Artinya, siapa pun dapat melaporkan kepada penegak hukum dan tidak harus Dewas yang melaporkannya.
Peran Lili dalam kasus jual beli jabatan di Tanjungbalai telah diungkap pula di dalam putusan sidang kode etik Dewan Pengawas KPK pada akhir Agustus.
Dewas juga merasa tidak tepat berdasarkan keadilan (fairness) jika harus melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan Lili. Sebab, Dewas sebelumnya telah memutus sidang etik Lili. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan kepentingan.
”Dewas tidak ingin ikut mencampuri urusan pemeriksaan pidana,” ujar anggota Dewas KPK, Harjono.