Lebih Segar, Lebih Keren untuk Internalisasi Pancasila
Lagu-lagu kebangsaan diaransemen ulang mengikuti selera musik kegemaran anak muda. Menjadi lebih segar, lebih keren. Namun, untuk internalisasi nilai-nilai kebangsaan ke generasi muda, cara itu belumlah cukup.
”Tanah airku Indonesia,
Negeri elok amat kucinta,
Tanah tumpah darahku yang mulia,
Yang kupuja sepanjang masa”
Sepenggal bait lagu kebangsaan ”Indonesia Pusaka” itu dibawakan oleh band Conrad Good Vibration dengan irama musik reggae di Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Selasa (14/12/2021). Jadilah lagu yang biasanya bertempo lambat dan dinyanyikan perlahan justru bisa menggoyang para mahasiswa yang hadir di acara Bedah Musik Kebangsaan. Sesekali, mereka ikut berdendang sambil mengabadikan penampilan band itu ke dalam ponsel.
Tak hanya lagu itu yang diaransemen ulang dengan genre musik yang disukai anak milenial. Band lain yang ikut mengisi acara tersebut, Awing dan Emmy Tobing, juga membawakan lagu wajib nasional setelah diaransemen menjadi beraliran musik pop dan rock.
Sejumlah lagu kebangsaan itu sengaja diaransemen ulang untuk menggugah rasa nasionalisme mahasiswa. Melalui budaya pop yang segar dan kekinian, nilai-nilai kebangsaan, termasuk Pancasila, coba disosialisasikan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kepada generasi masa kini.
Baca Juga: Internalisasi Pancasila, BPIP Sasar Generasi Z dan Milenial
Deputi Hubungan Antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi dan Jaringan BPIP Prakoso mengatakan, aransemen baru lagu nasionalisme adalah cara BPIP untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila dengan cara segar. Medium musik dipilih karena musik bersifat universal dan disukai oleh anak muda. Meskipun konten yang disampaikan serius, cara penyampaiannya harus menarik dan membuat bahagia.
”Kalau sudah menarik, diharapkan mahasiswa ini mengulik-ngulik lagi apa makna di dalamnya sehingga dari acara ini bisa pulang membawa sesuatu. Misalnya, pesan bahwa kita adalah bangsa besar dari Sabang sampai Merauke,” terang Prakoso.
Menurut dia, metode penyampaian nasionalisme melalui indoktrinasi, penataran, sudah tak lagi relevan bagi anak muda. Dengan metode lama itu, anak muda hanya akan menilai bahwa Pancasila adalah sesuatu yang ekslusif dan formal. Menurut BPIP, Pancasila harus bisa disampaikan secara inklusif, kekinian, dan lebih modern. Dengan demikian, anak-anak muda diharapkan mau turut berkontribusi untuk merawat bangsa ini.
Sepanjang 2021, menurut Prakoso, konser bedah musik kebangsaan sudah dilaksanakan di enam kampus, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Lampung, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjajaran Bandung, dan Universitas Sumatra Utara.
Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Lahir Pancasila 2021, 1 Juni lalu, memerintahkan BPIP untuk menyampaikan nilai-nilai Pancasila dengan cara-cara yang kekinian. Presiden meminta nilai-nilai luhur falsafah bangsa itu dibumikan melalui musik, film, ataupun kuliner.
Selain itu, sosialisasi Pancasila dengan cara kekinian juga diharapkan dapat mengisi ruang kosong sebagian generasi milenial yang tidak mendapat pendidikan dan penataran Pancasila seperti generasi X (lahir 1960-1980).
Generasi milenial tidak banyak terpapar pendidikan Pancasila karena dampak pencabutan Ketetapan MPR Nomor II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Selain itu, melalui UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah menghilangkan mata pelajaran wajib Pancasila di lembaga pendidikan formal.
”Memang ada ruang kosong di dunia pendidikan sehingga program-program seperti ini harus dijalankan dengan konsep kekinian. Harus dipakai cara-cara bahagia agar anak muda dan mahasiswa mau bersatu dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,” terang Prakoso.
Ketua Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU) Rithaony Hutajulu mengatakan, aransemen dan melodi musik tertentu memang bisa menyentuh hati pendengarnya. Suatu lirik ataupun melodi musik bisa membuat orang menangis atau bahagia, mengingatkan atas suatu peristiwa, marah, dan lain sebagainya.
Untuk lagu bertema nasionalisme, menurut Rithaony, liriknya pada tahun 1960-an bisa menggelegar. Namun, jika dikontekskan dengan situasi sekarang, tidak semua anak muda bisa merasakan efek menggelegar seperti saat itu.
”Dengan musik pop dan reggae seperti sekarang ini, anak muda bisa lebih familiar, misalnya dengan lagu-lagu orang jadi tahu kalau Indonesia punya ribuan pulau. Harus diapresiasi usaha ini bagus. Namun, untuk mencapai tujuan yang diharapkan, masih perlu tindak lanjut lagi,” kata Ritha.
Untuk itu, perlu ada evaluasi apakah program mereka sudah efektif atau belum untuk memantik perhatian anak-anak muda. ”Jangan hanya berhenti pada merebut hati anak muda dengan medium musik. Mereka harus bisa menginternalisasi makna dari lagu-lagu kebangsaan itu,” ujar Ritha.
Menurut Ritha, jika tujuan utamanya untuk menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan kreativitas lebih dari generasi muda. Mereka bisa menggubah lagu dengan tema yang relevan dengan kondisi sekarang, seperti isu ketidakadilan, keterwakilan, dan pluralisme dengan memasukkan isu Pancasila ke dalamnya.
”Bedah Musik Kebangsaan sebagai langkah awal merebut hati anak-anak muda agar belajar mengenai idelogi bangsa dan konstitusi harus diapresiasi, tetapi tentu saja diharapkan tidak berhenti di seremonial semata. Harus ada satu isu yang mempersatukan anak muda dan itu harus dikemas dalam kreativitas yang bisa diterima semua orang, seperti musik yang universal,” tutur Ritha.
Mahasiswa Jurusan Etnomusikologi USU, Yeyen (20), membenarkan, di masa perkuliahan, Pancasila, UUD 1945, dan lagu-lagu kebangsaan jarang bersinggungan dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa. Beruntung, karena berkuliah di Jurusan Etnomusikologi, dirinya masih kerap mempelajari lagu-lagu kebangsaan.
Yeyen sepakat, aransemen lagu kebangsaan dengan musik kekinian seperti reggae, pop, dan rock membuat lagu lama itu menjadi lebih keren. Karena keren, artinya dapat lebih diterima oleh anak muda. ”Semakin diubah aransemennya, bisa bertambah lebih keren,” kata Yeyen.
Sementara itu, mahasiswa jurusan hukum USU, Zulfikri (19), mengatakan, di zaman modern, dengan aransemen musik yang lebih segar, tentu akan lebih mudah untuk membuat anak muda tertarik.
Apalagi, di masa perkuliahan, materi yang membahas soal kebangsaan, Pancasila, dan konstitusi semakin minim. Di sisi lain, musik-musik dari luar negeri juga datang membanjiri sehingga anak muda enggan untuk mempelajari lebih dalam tentang lagu kebangsaan.
”Dengan aransemen yang baru ini, anak muda lebih tertarik untuk mendengarkan lagu-lagu kebangsaan,” kata Zulfikri.
Baca Juga: Dari Penjara, Literasi Pancasila Digaungkan
Wakil Ketua BPIP Hariyono mengatakan, pihaknya berharap aransemen lagu-lagu kebangsaan dapat menggugah nasionalisme dan sense of belonging (rasa memiliki) anak muda terhadap bangsa.
Suasana riang dan gembira dari melodi musik diharapkan dapat memunculkan hormon endorfin yang membuat orang menjadi lebih berbahagia. Ketika orang menikmati dan berbahagia, di situlah nilai-nilai kebajikan dan filosofi Pancasila diharapkan dapat masuk dan diinternalisasi oleh anak muda.