Kewenangan Cukup Kuat, Pekerjaan Rumah Bawaslu Tinggal Komisioner Berintegritas dan Kompeten
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, mengatakan, kewenangan Bawaslu cukup kuat, tinggal bagaimana kompetensi dan integritas komisioner Bawaslu ditingkatkan dalam proses penyelesaian kasus.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kewenangan Badan Pengawas Pemilu dinilai sudah cukup kuat. Meski demikian, Bawaslu diminta terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas dalam proses penyelesaian sengketa dan pelanggaran Pemilu 2024 yang diperkirakan bakal lebih rumit dan kompleks. Perbaikan dan peningkatan kualitas tersebut tentu kembali pada pilihan calon anggota Bawaslu yang benar-benar kompeten dan berintegritas. Inilah tantangan dan pekerjaan rumah yang dihadapi Bawaslu serta Tim Seleksi Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu sekarang ini.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, saat dihubungi, Jumat (17/12/2021), di Jakarta mengatakan, kewenangan Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa pemilu sudah sangat kuat. Kewenangan untuk menangani administrasi pemilu, misalnya, sudah kuat. Menurut Fadli, saat ini yang relevan dilakukan untuk Bawaslu adalah penataan kewenangan. Karena saat ini sedang dilakukan seleksi calon komisioner Bawaslu 2022-2027, tim seleksi (timsel) dan Komisi II DPR harus bisa memilih calon yang kompeten. Artinya, calon tersebut harus memiliki latar belakang ilmu hukum serta memiliki pengalaman adjudifikasi atau penyelesaian sengketa pemilu.
”Bawaslu tidak perlu diperkuat kewenangannya karena sudah mereka miliki. Sekarang bagaimana timsel dan DPR bisa memilih orang kompeten yang memiliki latar belakang hukum, tahu cara membuat putusan sengketa pemilu,” ujar Fadli.
Bawaslu tidak perlu diperkuat kewenangannya karena sudah mereka miliki. Sekarang bagaimana timsel dan DPR bisa memiilih orang kompeten yang memiliki latar belakang hukum, tahu cara membuat putusan sengketa pemilu.
Namun, sayangnya, menurut Fadli, sebanyak 20 calon komisioner Bawaslu yang lolos ke tahapan uji kepatutan dan kelayakan di DPR tidak semuanya berlatar belakang hukum. Hanya sedikit yang memiliki latar belakang hukum dan pernah memiliki pengalaman adjudifikasi pemilu. Ini merupakan tantangan bagi timsel dan DPR untuk memenuhi ekspektasi perbaikan Bawaslu ke depan.
Selain mengenai penataan kewenangan, tambah Fadli, hal yang harus diperbaiki dari Bawaslu adalah mengenai hukum acara penanganan sengketa pemilu. Proses pihak bersengketa untuk beracara dan manajemen perkara di Bawaslu harus ditata ulang. Bagaimana proses penanganan sengketa dikelola secara lebih transparan.
Fadli mencontohkan, salah satu bukti gagalnya Bawaslu dalam menangani sengketa kepemiluan terjadi pada sengketa pilkada Boven Digoel 2020. Saat itu, Bawaslu sedang menangani perkara diskualifikasi calon kontestan pilkada yang terjerat kasus korupsi dan belum menjalani aturan masa jeda lima tahun. Calon ini tetap diloloskan sehingga hasil pilkada Boven Digoel digugat di Mahkamah Konstitusi. Rekam jejak ini, lanjut Fadli, penting dijadikan pertimbangan untuk memilih calon komisioner karena akan menentukan integritas mereka.
”Kami melihat ada kegagalan Bawaslu dalam menangani sengketa di Boven Digoel. Ini seharusnya bisa menjadi catatan bagi timsel dan DPR untuk meloloskan calon yang terbukti gagal tersebut,” kata Fadli.
Koreksi putusan sengketa pemilu
Sementara itu, saat Seminar dan Lokakarya Nasional Penguatan Literasi Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada, Deputi VI Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Janedri M Gaffar, yang membacakan sambutan Menko Polhukam Mahfud MD, mengatakan, berdasarkan pengalaman Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, mekanisme penyelesaian sengketa berperan signifikan dalam mengawal berjalannya pemilu/pilkada secara jujur dan adil.
Seminar yang diselenggarakan Bawaslu itu juga dihadiri secara daring oleh 518 Bawaslu kabupaten/kota dan 170 pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan dan pengawasan pemilu/pilkada, perwakilan partai politik, ormas, serta peneliti pemilu.
Masih ada sejumlah cacatan perbaikan yang perlu menjadi perhatian Bawaslu, yaitu koreksi putusan penyelesaian sengketa proses yang diputus oleh jajaran Bawaslu melalui penyelesaian sengketa hasil pemilu/pilkada di MK. Mekanisme penyelesaian sengketa harus diperbaiki dan ditingkatkan untuk meningkatkan mutu proses penyelesaian sengketa. Sebab, penyelesaian sengketa proses pemilu bertujuan untuk memberikan legitimasi proses dan hasil pemilu.
Menurut Janedri, masih ada sejumlah cacatan perbaikan yang perlu menjadi perhatian Bawaslu, yaitu koreksi putusan penyelesaian sengketa proses yang diputus oleh jajaran Bawaslu melalui penyelesaian sengketa hasil pemilu/pilkada di MK. Mekanisme penyelesaian sengketa harus diperbaiki dan ditingkatkan untuk meningkatkan mutu proses penyelesaian sengketa. Sebab, penyelesaian sengketa proses pemilu bertujuan untuk memberikan legitimasi proses dan hasil pemilu.
”Oleh karena itu, putusan penyelesaian sengketa proses haruslah presisi sehingga tidak terbuka sedikit pun ruang atau celah putusan tersebut dipersoalkan,” kata Janedri.
Perbaikan proses penyelesaian sengketa, lanjut Janedri, menjadi penting dan relevan karena pemilu di Indonesia adalah yang terbesar dan terumit di dunia. Pada Pemilu 2024, Indonesia akan melakukan enam jenis pemilu dalam waktu satu tahun. Pertama, pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan pemilu presiden-wakil presiden pada satu hari yang sama. Kemudian, berselang beberapa bulan setelah itu akan dilanjutkan dengan pemilihan gubernur dan pemilihan bupati/wali kota.
Jumlah pemilih akan mencapai 200 juta orang yang tersebar di lebih dari 800.000 tempat pemungutan suara (TPS). Pemilu juga akan melibatkan 7,3 juta lebih anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan petugas keamanan serta 36.260 anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di 7.252 kecamatan. Selain itu, pemilu sebagai kontestasi dan kompetisi politik juga selalu melahirkan sengketa, baik antarpeserta maupun antara peserta dan penyelenggara.
”Kebesaran pemilu kita akan semakin jelas jika kita menghitung jumlah peserta dan calon jumlah daerah pemilihan untuk setiap lembaga perwakilan. Juga, jumlah logistik yang harus disediakan dan distribusi yang harus dilakukan. Jumlah yang besar tersebut membutuhkan pengaturan yang rumit di setiap tahapan yang telah ditentukan kerangka waktunya,” paparnya.
Keberhasilan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, lanjut Janedri, akan menjadi penentu terwujudnya upaya pencapaian tujuan nasional. Pemilu jurdil juga dapat menentukan pembentukan pemerintahan yang demokratis melalui pergantian kekuasaan secara damai.
”Di beberapa negara, kegagalan penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi momentum titik balik yang justru melahirkan diktator atau perang sipil,” kata Janedri.