Luruskan KUHP, MK Nyatakan Tak Hanya Korban yang Bisa Adukan Kasus Pencabulan
Orangtua, wali, atau kuasa dari korban bisa mengadukan kasus percabulan terhadap anak yang belum dewasa atau yang berusia 19 tahun ke bawah kepada pihak yang berwajib.
Oleh
susana rita
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menyatakan, kasus dugaan percabulan terhadap anak yang belum dewasa atau yang berusia 19 tahun ke bawah dapat dilakukan penuntutan tanpa harus diadukan oleh korban. Orangtua, wali, atau kuasa dari korban bisa mengadukan kasus percabulan tersebut kepada pihak yang berwajib.
Terkait dengan hal tersebut, MK menyatakan, Pasal 293 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”pengaduan dapat dilakukan tak hanya oleh korban, akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orangtua, wali, atau kuasanya.”
MK mengabulkan permohonan dari dua mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI), Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga, yang mempersoalkan pasal tersebut. Keduanya khawatir karena memiliki sepupu perempuan, jika menjadi korban kejahatan percabulan, orang lain tak dapat melaporkan karena pasal tersebut mengatur tindak kejahatan percabulan terhadap orang yang belum dewasa sebagai delik aduan absolut. Begitu juga jika nantinya mereka memiliki anak perempuan.
Pasal 293 Ayat (1) KUHP berbunyi, ”Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan sengaja membujuk sesorang yang belum dewasa dan berkelakuan baik untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal dia tahu atau selayaknya harus diduganya bahwa orang itu belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Kemudian, Pasal 293 Ayat (2) KUHP menyatakan, penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu atau korban.
Dalam permohonannya, Leonardo dan Fransiscus menyampaikan data kasus percabulan yang meningkat signifikan. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang diperoleh pemohon pada 7 Mei 2021, ada peningkatan lebih dari 100 persen kasus percabulan dari tahun 2019 ke tahun 2020. Pada 2019, KPAI mencatat ada 190 anak menjadi korban percabulan. Setahun berikutnya, pada 2020, KPAI mencatat ada 419 anak yang menjadi korban kejahatan yang sama.
Pemohon meyakini bahwa data tersebut belumlah jumlah yang sebenarnya. Masih banyak korban yang belum melaporkan atau enggan untuk melaporkan karena malu, bingung melapor kepada siapa, tidak mau berurusan dengan pihak berwajib karena ribet, dan tidak mau aib tersebut terbongkar.
Kejahatan serius
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, MK mempertimbangkan banyaknya keterbatasan yang dimiliki anak di bawah umur jika harus melaporkan tindak pidana yang dialaminya. Ketentuan bahwa hanya korban pidana percabulan yang dapat mengajukan pelaporan ke pihak yang berwajib seperti diatur di Pasal 293 Ayat (2) KUHP justru menyulitkan proses penegakan hukum.
”Sulit bagi proses penegakan hukum yang hanya mengandalkan untuk dilakukannya penyidikan terhadap laporan korban, in casu yang korbannya adalah anak di bawah umur yang secara pengetahuan, psikologis, dan lain-lainnya memiliki keterbatasan,” ujarnya.
Padahal, kejahatan tersebut memiliki dampak serius terhadap anak yang bersangkutan dan masa depannya. Namun, MK juga menyadari adanya dilema, di mana tidak setiap korban ataupun keluarganya menghendaki laporan tersebut dengan pertimbangan akan terbukanya aib atau peristiwa pidana yang menimpa korban.
”Di sisi lain, tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 293 Ayat (2) KUHP adalah tindak pidana serius dan tidak dapat dibenarkan, baik dari sisi agama, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan antara perlindungan terhadap korban dan penegakan hukum atas tindak pidana yang telah dilakukan, ketiadaan laporan atau pengaduan dari korban tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengungkap peristiwa pidana tersebut,” ujar Saldi.
”Dengan demikian, Mahkamah berpendapat untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh korban anak di bawah umum, di samping dapat dilaporkan atau diadukan oleh anak dimaksud, laporan atau pengaduan terhadap peristiwa pidana yang terjadi dapat pula dilakukan oleh orangtua, wali, atau kuasanya,” lanjutnya.
Dengan diperbolehkannya orangtua, wali, dan kuasa korban mengadukan kejahatan percabulan, dengan demikian, norma Pasal 293 Ayat (2) KUHP dengan sendirinya menjadi delik aduan relatif. Bukan lagi delik aduan absolut.