Amnesty International Indonesia mencatat ada setidaknya 95 kasus serangan terhadap pembela HAM di Indonesia dengan total 297 korban sepanjang 2021. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 95 kasus serangan terhadap pembela hak asasi manusia atau pembela HAM yang terjadi sepanjang 2021 membuat Amnesty International Indonesia menyematkan tahun 2021 sebagai tahun yang berbahaya bagi pembela HAM. Meski demikian, sepercik harapan tetap muncul karena Jaksa Agung akhirnya memulai penyidikan terhadap salah satu kasus dugaan pelanggaran HAM berat, yakni peristiwa Paniai.
Hal itu terungkap di dalam konferensi pers sekaligus diskusi bertajuk ”2021, Tahun Bahaya bagi Pembela HAM” yang diselenggarakan Amnesty International Indonesia secara daring, Senin (13/12/2021).
Dalam paparannya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, sepanjang 2021, pihaknya mencatat ada setidaknya 95 kasus serangan terhadap pembela HAM di Indonesia dengan total 297 korban.
Kasus tersebut menimpa pembela HAM dari berbagai sektor, mulai dari jurnalis, aktivis, masyarakat adat, hingga mahasiswa. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2020, yakni sebanyak 93 kasus serangan terhadap pembela HAM dengan 253 korban.
Sebanyak 55 dari 95 kasus yang terjadi pada 2021 diduga melibatkan aktor negara, baik dari aparat keamanan, militer, pejabat pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah. Hal ini tidak jauh berbeda dengan laporan Amnesty International Indonesia pada 2020 yang mencatat sebanyak 63 dari 93 kasus serangan terhadap pembela HAM diduga dilakukan oleh aktor negara.
Selain itu, bentuk serangan terhadap para pembela HAM datang dalam berbagai bentuk, yakni pelaporan ke polisi, ancaman dan intimidasi, kekerasan fisik, dan pembunuhan. Terdapat pula serangan berupa represi dan kriminalisasi terhadap hak kebebasan berekspresi. Terkait dengan hal itu, penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai masih terus terjadi.
”Tahun lalu (2020), kami menyoroti tren pelemahan hak asasi dan berharap tahun ini tertoreh catatan yang lebih baik. Namun, tidak terlihat adanya perbaikan situasi HAM yang signifikan di negara ini,” kata Usman.
Selain itu, lanjut Usman, kekerasan yang terjadi di Papua dan Papua Barat juga menjadi catatan penting. Sebab, kasus kekerasan terus terjadi dengan tidak ada satu kasus pun yang diusut tuntas. Kemudian, pengerahan aparat keamanan ke Papua untuk melancarkan operasi keamanan telah menimbulkan dampak yang serius berupa mengungsinya masyarakat di sejumlah wilayah.
Meski demikian, menurut Usman, dibentuknya tim penyidik dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat di Paniai oleh Jaksa Agung memperlihatkan adanya titik terang dalam konteks penyelesaian dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia. Usman berharap agar proses penyidikan dapat berjalan efektif dan kerja sama antara Jaksa Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berjalan dengan baik.
”Sehingga ke depan Komnas HAM dan Jaksa Agung dapat terus bekerja dalam mendorong proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus pembunuhan di luar hukum yang berulang kali terjadi di Papua,” ucap Usman.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, peningkatan peristiwa Paniai ke tahap penyidikan merupakan langkah maju yang patut diapresiasi. Meski tidak bisa dikatakan bahwa langkah tersebut akan bisa menjamin keadilan bagi semua, yang lebih penting adalah mengawal jalannya proses hukum pada kasus tersebut sehingga nantinya proses pengadilan dapat berjalan seadil-adilnya.
Apalagi jika melihat ke belakang, semua terduga pelaku dalam peristiwa Abepura, Tanjung Priok, dan Timor-Timur yang berhasil disidangkan di Pengadilan HAM pada akhirnya dibebaskan. Hal itu sekaligus memperlihatkan bahwa impunitas masih menjadi masalah serius.
”Ada dialektika antara kami dan Mabes TNI, kami dengan pihak presiden, yang kalau kami ditanya, kami melihat ada kemauan untuk keluar dari impunitas itu. Mudah-mudahan itu nanti terbukti,” kata Ahmad.
Dalam kesempatan itu, Ahmad menegaskan bahwa dalam penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat, mekanisme yudisial tidak menggantikan mekanisme nonyudisial atau sebaliknya. Sebab, keduanya diperlukan sebagai langkah penyelesaian yang komprehensif.
Ahmad juga menyampaikan, dari pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, kepolisian menjadi institusi negara yang paling banyak diadukan. Menurut Ahmad, jika dibandingkan dengan tahun 2019, saat ini kepolisian sudah mulai melakukan penegakan hukum terhadap anggotanya yang melanggar. Sebelumnya, institusi tersebut hanya menyelesaikannya dengan pendekatan disiplin dan administratif secara internal.
Ahmad juga memberikan catatan tentang kasus agraria antara perusahaan dan masyarakat. Dari ratusan kasus yang diadukan ke Komnas HAM, kebanyakan justru terkait dengan badan usaha milik negara (BUMN). Ketika menindaklanjuti pengaduan tersebut, Komnas HAM mengaku kesulitan untuk berkomunikasi dengan Kementerian BUMN yang dinilai tidak responsif.
Adapun dari sisi pemenuhan hak perempuan, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani berpandangan, sepanjang 2021, banyak kasus pelanggaran HAM, khususnya kekerasan terhadap perempuan, seolah hilang dari mata publik. Itu karena perhatian penyelenggara negara lebih tertuju pada penanganan pandemi Covid-19.
”Situasi pandemi meningkatkan risiko kerentanan kekerasan terhadap perempuan dan juga diskriminasi berbasis jender,” kata Andy.
Komnas Perempuan mencatat, antara Januari dan Oktober 2021 terdapat 4.500 kasus yang diadukan. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari pengaduan pada 2020 meskipun hingga saat ini Komnas Perempuan masih melakukan verifikasi kasus.
Menurut Andy, di satu titik meningkatnya jumlah pengaduan itu memperlihatkan meningkatnya kesadaran. Tetapi, hal itu sebetulnya mengkhawatirkan karena kapasitas Komnas Perempuan untuk menangani pengaduan tersebut tidak sebanding dengan cepatnya pengaduan dan pengungkapan kasus yang terjadi. Akibatnya, kemungkinan besar banyak korban yang terlambat untuk ditangani atau hanya ditangani secara parsial.
Hal itu belum termasuk dengan kerentanan yang dihadapi oleh perempuan pembela HAM. Mereka mengalami stigmatisasi atau mendapat label tidak agamis atau tidak pancasilais yang bermuara pada pengerdilan peran perempuan pembela HAM.
Sementara Wakil Ketua Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnama Sari berpandangan, dari kecenderungan pendampingan bantuan hukum yang dilakukan berbagai LBH, terjadi peningkatan kasus pada 2021 dibandingkan dengan tahun 2020.
Ketika pemerintah mulai melakukan pelonggaran pembatasan aktivitas masyarakt, pada 2021 berimplikasi pada makin banyaknya aksi turun ke jalan yang berpotensi meningkatnya kasus-kasus kekerasan ataupun penangkapan terhadap aktivis HAM.
Menurut Era, tiga isu besar yang menjadi akar sekaligus banyak berkontribusi pada serangan-serangan terhadap pembela HAM adalah terkait dengan konflik sumber daya alam, terkait penanganan Covid-19, dan isu-isu Papua. Namun, hingga saat ini, penanganan terhadap ketiga akar masalah tersebut tidak mengalami kemajuan berarti.
”Dalam kasus terkait sumber daya alam yang ditangani YLBHI sepanjang pandemi sampai sekarang, tidak ada proses hukum, apalagi ditindaklanjuti oleh negara. Sangat sulit untuk membawa kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aparat ke pengadilan karena tidak ada mekanismenya. Dari semua kasus yang ada, semua dibaca dari hukum biasa, bukan dengan peranti HAM,” kata Era.