Pelanggaran HAM oleh Polisi Mencolok di Masa Pandemi Covid-19
Kajian YLBHI menemukan 202 kasus pelanggaran HAM yang dilakukan polisi dalam periode 2019-2021. Pelanggaran meningkat dan terlihat mencolok di masa pandemi Covid-19.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kajian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI menemukan 202 kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh personel kepolisian dalam periode 2019-2021. Pelanggaran cenderung meningkat setahun terakhir atau sejak pandemi Covid-19. Kondisi tersebut dinilai menunjukkan belum optimalnya implementasi perspektif hak asasi manusia di kepolisian.
Wakil Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Aditia Santoso mengatakan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh personel kepolisian masih kerap terjadi. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, pada 2019 tercatat ada 51 kasus pelanggaran HAM. Jumlah itu naik signifikan pada 2020, yakni menjadi 105 kasus. Adapun pada enam bulan pertama tahun 2021 telah terjadi 46 kasus pelanggaran HAM.
”Dari total kasus tersebut, terdapat 17 bentuk pelanggaran. Yang paling banyak terjadi adalah penangkapan sewenang-wenang,” kata Aditia saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (30/7/2021).
Selain penangkapan sewenang-wenang, polisi juga tercatat melakukan penyiksaan, kriminalisasi, dan penembakan. Selain itu, polisi masih kerap membubarkan aksi demonstrasi secara paksa, menganiaya, dan membiarkan laporan berlarut-larut baik di wilayah kepolisian daerah (polda), kepolisian resor (polres), maupun kepolisian sektor (polsek).
Pelanggaran dalam berbagai bentuk itu menyebabkan sekitar 13.000 orang menjadi korban, tidak terkecuali dari pihak pengabdi bantuan hukum (PBH). Di beberapa daerah, PBH dikriminalisasi.
Contohnya, pada April 2021 terdapat dua PBH dan advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang ditangkap aparat saat mendampingi warga yang menolak proyek Bendungan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Aditia menambahkan, pelanggaran meningkat dan terlihat mencolok di masa pandemi Covid-19. Sebab, dalam dua tahun terakhir terdapat sejumlah kebijakan yang meresahkan publik sehingga memicu gerakan masyarakat untuk berdemonstrasi, di antaranya pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. Hal itu terjadi bersamaan dengan pembatasan kegiatan masyarakat guna mencegah penyebaran wabah Covid-19.
Kebebasan berekspresi
Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnamasari menambahkan, dalam konteks pandemi Covid-19, pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian cenderung berada pada ranah pembatasan kebebasan berekspresi. Hal itu tidak hanya terlihat dari sikap aparat di lapangan, tetapi juga dalam regulasi yang dibuat. Salah satunya pada surat telegram Kapolri terkait larangan demonstrasi buruh untuk menolak RUU Cipta Kerja.
Dalam Surat Telegram Kapolri Nomor STR/645/X/PAM.3.2/2020 tertanggal 2 Oktober 2020 itu, polisi di antaranya diminta untuk melakukan fungsi intelijen dan deteksi dini untuk mencegah terjadinya aksi demonstrasi buruh. Polri juga melakukan patroli siber di media sosial guna membangun opini publik agar tidak menyetujui aksi unjuk rasa di tengah pandemi.
”Implikasinya di lapangan, ada 3.376 orang yang ditangkap selama aksi demonstrasi UU Cipta Kerja,” kata Era.
Ia menambahkan, pembatasan kebebasan berekspresi juga berdampak pada pembatasan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan. Hal itu pun sempat dilakukan melalui Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020 terkait penanganan kejahatan di ruang siber selama penanganan wabah Covid-19. Telegram itu, kata Era, menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden tanpa harus ada laporan dari presiden sebagai korban.
Menurut Era, pelanggaran HAM yang juga akan berdampak pada kualitas demokrasi Indonesia adalah masih adanya penempatan polisi aktif di jabatan publik. Tugas polisi sebagai penegak hukum sebaiknya tidak dicampuradukkan dengan urusan pemerintahan.
Selain itu, tambah dia, Polri dinilai masih mengabaikan kewenangan untuk menangani kejahatan ekonomi secara optimal di masa pandemi sesuai dengan Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1.2020 tanggal 4 April 2020.
”Polisi lebih banyak menangkap orang dan membubarkan kerumunan ketimbang mengungkap kejahatan ekonomi. Catatan kami, ada 715.750 kegiatan dengan 13 penindakan terkait pembubaran kerumunan, sedangkan pengungkapan kejahatan ekonomi terdapat 55.702 kegiatan dengan 9 penindakan,” ujar Era.
Usulan perbaikan
Ia menambahkan, sejumlah temuan tersebut menunjukkan bahwa implementasi perspektif HAM di kepolisian masih jauh dari harapan. Perbaikan bisa dilakukan dengan membentuk pengawas eksternal yang efektif, dan memperbarui Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP). Pembaruan KUHAP yang dimaksud di antaranya menyangkut mekanisme check and balances sebagaimana dimandatkan oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik.
”Presiden sebagai atasan langsung Kapolri juga harus segera bertindak untuk memimpin reformasi kepolisian,” tutur Era.
Menurut anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, temuan YLBHI sejalan dengan laporan masyarakat yang masuk ke Ombdusman terkait kepolisian.
Sejak Januari 2019-Juli 2021, pengaduan terkait kerja kepolisian menempati peringkat ketiga yang paling banyak dilaporkan, di bawah isu agraria dan kepegawaian. Meski tidak mendominasi, laporan tindakan kekerasan seperti penembakan, pemukulan saat penyidikan, kekerasan dalam penanganan demonstrasi, dan salah tangkap juga masih ada.
”Ada juga kekerasan psikis, yakni lamanya proses penetapan tersangka dan lamanya proses penanganan perkara, itu jelas merugikan pihak2 yang terlibat dalam kasus itu,” ujarnya.
Widijantoro mengatakan, tindakan tegas perlu dilakukan oleh Kapolri terhadap anggotanya yang melanggar HAM. Jika pelanggaran yang terjadi dibiarkan, ini akan menjadi catatan buruk menyangkut keseriusan penegakan hukum terhadap aparat.
Sementara itu, Kompas telah menghubungi Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono untuk meminta tanggapan terkait hasil analisis YLBHI dan komitmen implementasi perspektif HAM di kepolisian. Hingga Jumat siang, ia belum memberikan jawaban.