Apa pun yang didapat di jagat digital harus diverifikasi sendiri terlebih dahulu. Untuk itu, setiap orang penting memiliki kemampuan dasar seperti seorang wartawan, yaitu memverifikasi informasi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di era pasca-kebenaran atau post-truth, berbagai informasi yang mengarah pada informasi palsu, berita bohong, bahkan ujaran kebencian semakin banyak berseliweran di media sosial. Jika publik tidak mampu menyaringnya dengan baik, berpotensi merusak demokrasi. Untuk itu, penguatan literasi digital terhadap seluruh masyarakat tak bisa ditawar lagi.
Wakil Gubernur Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Barito Mulyo Ratmono, dalam diskusi ”Era Post-Truth Ancam Demokrasi?”, Sabtu (11/12/2021) malam, mengatakan, setidaknya ada tiga kegelisahan di era post-truth sekarang ini. Pertama, informasi palsu (fake news), berita bohong, serta ujaran kebencian (hate speech) semakin mudah dikembangbiakkan (proliferasi) dan diviralkan di media sosial.
Kedua, pengguna media sosial di Indonesia sangat tinggi. Per Januari 2021, dari 274,9 juta penduduk, pengguna media sosial mencapai 61,8 persen. Sementara, mayoritas belum memiliki literasi digital yang baik. Ketiga, jika informasi palsu, hoaks, dan ujaran kebencian dibiarkan, berpotensi mengancam demokrasi dan keamanan nasional suatu negara.
”Nah, dari situ, maka kemudian, berarti kita harus mengamankan ruang siber kita dan kita beri literasi kepada masyarakat untuk bermedsos yang baik,” ujar Barito. Hadir pula sebagai narasumber pemerhati media massa Agus Sudibyo dan pesohor Raffi Ahmad.
Barito melanjutkan, ketiga alasan di atas telah menggugah Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Budi Gunawan dan dirinya untuk menulis sebuah buku sehingga diharapkan bisa menjadi acuan bagi masyarakat dalam menyikapi ruang siber di era post-truth. Buku tersebut berjudul Demokrasi di Era Post Truth dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada 2021.
Barito menjelaskan, ruang siber merupakan ruang yang tak terbatas. Publik harus sadar bahwa di era post-truth ada pihak-pihak yang memanfaatkan media sosial untuk kepentingan tertentu, seperti motif politik, ideologi, dan ekonomi. Pihak-pihak tersebut akan membuat narasi di media sosial seolah-olah sebuah kebenaran. Padahal, jika ditelusuri lebih lanjut, informasi itu tidak berdasarkan fakta.
”Ada karakteristik dari ruang siber yang kerap dilupakan, ada dua, yakni penuh dengan kecepatan dan diarahkan. Jadi, orang begitu masuk di ruang siber, itu seperti di hutan belukar dan dihujani berbagai informasi. Jadi, orang itu belum sempat berpikir, tetapi sudah dihujani dengan informasi lain sehingga tidak sanggup memverifikasinya,” tutur Barito.
Tanggung jawab moral
Barito mengingatkan, setiap orang yang berselancar di media sosial berarti mereka juga memiliki tanggung jawab moral. Mereka harus berhati-hati dalam membagikan informasi yang didapat sehingga tidak menyesatkan orang lain. Ada empat hal yang harus dipertimbangkan, yakni cek, re-check, cross-check, dan final check. ”Itu filternya. Itu pun harus diputuskan, mau di-share atau berhenti di dia. Ingat, saring sebelum sharing,” ucapnya.
Raffi Ahmad sependapat dengan Barito bahwa tanggung jawab moral penting diingatkan kepada seluruh tokoh publik, atau orang-orang yang berpengaruh di media sosial (influencer). Sebab, mata publik akan tertuju pada figur itu. Jika figur itu salah memberikan informasi, pengikut-pengikutnya juga akan ikut terseret salah informasi.
”Kadang ini menjadi tanggung jawab buat saya. Semakin banyak follower ini, kan, saya harus mem-posting atau membantu mengklarifikasi apa yang tidak baik, apa yang tidak benar, menjadi lebih bijaksana lagi. Ini tanggung jawab moral, dan kepercayaan dari follower itu harus dijaga,” ujar Raffi.
Tidak hanya dibebankan kepada figur publik, Raffi berharap, di era post-truth ini, masyarakat terutama generasi milenial juga dapat lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial. Informasi yang berpotensi memecah belah persatuan diharapkan tidak asal dibagikan di akun media sosial. Sebab, jika sudah dibagikan di media sosial, seluruh dunia bisa melihatnya.
”Jadi, ini sangat krusial. Negara kita bisa terpecah belah dengan dunia digital karena gampang banget terhasut,” kata Raffi.
Dunia terkurasi
Agus Sudibyo berpandangan, dunia digital bukan dunia yang natural atau alamiah, tetapi dunia yang terkurasi atau tertata oleh sistem algoritma platform digital. Karena itu, masyarakat harus memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi.
Di Facebook, misalnya, terjadi pengelompokan dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama, baik orientasi politik, agama, ideologi, dan lain-lain. Padahal, di luar itu, masih banyak yang memiliki pandangan berbeda-beda.
”Itu problem di media sosial. Karena, inti dari demokrasi, termasuk demokrasi digital, adalah kemauan untuk berdialog dengan orang-orang yang berbeda dengan kita, bukan sekadar untuk berkumpul dengan orang-orang yang kebetulan sama pandangannya. Kita harus sering bertemu dan berdialog dengan orang lain,” tutur Agus.
Ia pun mengingatkan, apa pun yang didapat di jagat digital harus diverifikasi sendiri terlebih dahulu. Untuk itu, setiap orang penting memiliki kemampuan dasar seperti seorang wartawan, yaitu memverifikasi informasi. Sebab, di jagat maya, tidak ada petunjuk, apakah informasi tersebut hoaks atau bukan, fakenews atau bukan.
Setelah itu, membandingkan informasi yang satu dengan informasi yang lain. Jika ditemukan berita yang kontroversial, cobalah dicari di media arus utama. Jika berita itu tidak ada di media arus utama, kemungkinan besar berita tersebut tidak benar.
”Literasi digital seperti ini yang harus diajarkan sejak dini, sejak sekolah dasar,” tutur Agus.