”Kematian Kedua” Para Perempuan Terpidana Mati
Hari-hari setelah vonis hukuman mati dilalui para perempuan terpidana mati bak menjalani kematian kedua. Asa pengampunan kian memudar meski mereka korban dari penerapan hukuman yang tak berperspektif jender.
Hari-hari setelah vonis hukuman mati dilalui bak menjalani kematian kedua. Rasa takut seolah tak berujung. Frustrasi kerap menghampiri. Apalagi dengan keluarga harus terpisah oleh terali besi dan tembok penjara. Asa untuk bisa memperoleh pengampunan pun kian memudar meski mereka hanya korban dari penerapan hukuman yang tak berspektif jender.
Dengan terbata-bata sambil sesekali menitikkan air mata, Merry Utami (47) menceritakan kisah getir hidupnya dalam diskusi yang digelar Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 9 Oktober lalu. Tak perlu diucapkannya, laku Merry yang terlihat dari sambungan video jarak jauh, dari tempatnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Perempuan Semarang, Jawa Tengah, menyiratkan rasa cemas mendalam. Namun, ia tetap memberanikan bercerita, berharap hadirnya keadilan, dan tak ada lagi orang lain seperti dirinya.
Kecemasan telah menghantui hidup orangtua tunggal dari satu anak ini sejak divonis hukuman mati 20 tahun lalu. Kisah yang membuatnya divonis mati ini mirip dengan sejumlah film karya sineas luar negeri tentang kurir narkoba yang diangkat dari kisah nyata.
Merry, yang sudah bekerja sebagai buruh migran selama tiga tahun di Taiwan, ditangkap petugas di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, karena di dalam tas yang dibawanya terdapat 1,1 kilogram heroin. Heroin ini disembunyikan dalam dinding tas. Merry pun kaget karena tidak tahu ada heroin di tas itu. Apalagi dengan jumlah yang banyak.
Baca juga : Berkaca dari Perempuan Terpidana Mati
Merry hanya dititipi tas tersebut oleh seseorang bernama Jerry saat ia hendak kembali ke Tanah Air. Merry pun percaya saja kepada pria yang mengaku warga negara Kanada dan sering berbisnis di Indonesia itu karena Merry menaruh hati padanya hingga keduanya berpacaran. Apalagi, Jerry bilang tas dari kulit itu adalah contoh tas yang akan diperdagangkan di Indonesia.
Berulang kali Merry mencoba menjelaskan kepada aparat penegak hukum bahwa dirinya telah diperdaya. Namun, tak ada yang mempercayainya. Hal yang sama saat kasusnya bergulir di persidangan. Vonis mati tak berubah hingga putusan terakhir. Tak juga berubah saat ia mengajukan peninjauan kembali ke MA.
Asa memperoleh pengampunan kian meredup. Sebaliknya, rasa takut akan dieksekusi terus menyertai perjalanan hidupnya, bahkan sempat memuncak saat rencana eksekusi menghampirinya, akhir Juli 2016. ”Bingung. Ngeri. Semua campur jadi satu,” ujar Merry mengisahkan perasaannya saat akan dieksekusi kala itu.
Saat itu, Merry didatangi dua petugas di tempatnya ditahan, yakni Lapas Wanita Tangerang, pada 23 Juli 2016 malam, untuk dibawa ke Cilacap. Tidak ada informasi apa pun terkait pemindahan itu. Para petugas lapas berubah menjadi lebih pendiam. Namun dengan mendengar kata Cilacap, ia sudah paham akan dibawa ke Lapas Besi, Nusakambangan, untuk dieksekusi. Terlebih setahun sebelumnya, pemerintah gencar mengeksekusi hukuman mati sejumlah terpidana mati. Persisnya pada pertengahan Januari 2015 dan akhir April 2015.
Namun, mukjizat datang hingga pada akhirnya ia tidak jadi menghadapi regu tembak. Permohonan grasi yang dilayangkannya kepada Presiden Joko Widodo, setelah upaya hukumnya kandas, menjadi penyelamatnya. Mengacu pada Pasal 13 UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi, disebutkan bahwa bagi terpidana mati yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum keputusan presiden (keppres) tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana. Hingga kini, ia belum menerima keppres dimaksud.
Meski bisa selamat dari eksekusi kala itu, rasa takut terus menghantuinya. Selama enam bulan setelah eksekusi yang dibatalkan, ia langsung ketakutan setelah mendengar bunyi pintu sel dibuka. ”Setiap mendengar kunci terbuka, saya teringat Nusakambangan. Gembok dibuka, pintu dibuka. Saya bergetar. Saya takut, kayak mau dijemput lagi,” ungkapnya.
Pada 8 November lalu, Merry dipindahkan dari Lapas Cilacap ke Lapas Kelas II A Perempuan Semarang, Jawa Tengah, tetapi rasa takut belum beranjak pergi. Ia hidup dalam ketakutan menanti ajal yang bisa tiba-tiba datang. Meski demikian, asa untuk memperoleh pengampunan dari Presiden tetap dijaganya. Asa itu pun turut dibangkitkan oleh anaknya, Devy Christa Dyanti (29), yang menyerahkan petisi daring, ditandatangani oleh 50.000 warganet, plus surat terbuka untuk mengabulkan grasi ibunya dari 100 lembaga swadaya masyarakat, ke Presiden melalui Kantor Staf Presiden (KSP).
”Saya berharap anugerah yang Tuhan kasih enggak cuma lolos dari eksekusi, tapi bisa berkumpul dengan anak dan dua cucu saya. Boleh bebas dapat grasi. Dan, saya boleh bilang sama orang-orang bahwa jangan sampai menjadi manusia bodoh kayak saya, yang mau dibohongi. Dan akhirnya masuk penjara,” tutur Merry.
Baca juga : Perempuan dalam Pusaran Hukuman Mati
Satu kesalahan
Tak hanya Merry, terpidana mati lain, Rosita Said (39), juga hidup dalam kecemasan sejak vonis mati dijatuhkan kepadanya lima tahun lalu. Saat ditemui di tempatnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Perempuan Jakarta, Jumat (3/12/2021), kecemasan itu tersirat dalam laku Rosita. Tak banyak kata yang diucapkan. Raut wajahnya pun sayu.
”Sekarang ini saya sering vertigo. Saya baru merasakan itu di sini (di lapas). Pernah suatu malam, sakit sekali sampai merasa, wah ini sepertinya saya sudah mau lewat (meninggal),” ucap orangtua tunggal dari satu anak ini.
Vertigo terutama datang saat kisah yang membawanya ditahan terlintas dalam pikirannya. Kisah yang membuatnya divonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 2016. Kemudian waktu eksekusi yang bisa tiba-tiba datang, juga saat membayangkan nasib anaknya yang kini berusia tujuh tahun harus hidup tanpa orangtua jika ajal menjemput.
Getir hidup menghampiri Rosita setelah menikah dengan Emeka Samuel. Di awal perjumpaan keduanya tak terlihat ada yang janggal. Warga negara Nigeria itu kerap membeli pakaian dalam jumlah banyak dari Rosita yang berdagang pakaian di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Relasi dagang kemudian berubah menjadi cinta setelah Samuel menunjukkan perhatian kepada Rosita dan anaknya hingga akhirnya mereka menikah pada 2015.
Setelah lima bulan menikah, barulah Rosita mengetahui suaminya itu pengedar narkoba. Namun, saking cintanya Rosita, apalagi sifat Samuel yang temperamen, ia mengabaikan realitas pekerjaan suaminya, bahkan mengabulkan permintaannya untuk mencarikan pelanggan narkoba. Hanya sekali ia membantu Samuel, tetapi sudah cukup bagi petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) menahannya. Tindak pidana yang dilakukan Rosita terungkap setelah Samuel ditangkap.
”Saya tidak pernah melihat barang itu (sabu). Saya diminta mencarikan pelanggan. Karena saya perempuan, jadi tidak mudah dicurigai,” ujar Rosita.
Kesalahan di masa lalu diakui telah dibuatnya. Namun, ia berharap hal itu tak lantas membuatnya harus divonis mati. Harapan satu saat bisa berkumpul lagi dengan anak satu-satunya terus ada dalam benak pikirannya. ”Apakah tidak ada harapan lagi yang bisa meringankan hukuman saya?” ucap Rosita.
Pihak Lapas Kelas II A Perempuan Jakarta telah berupaya menjaga kondisi psikis Rosita sama seperti narapidana binaan lapas yang lain. ”Kami memang tidak punya psikolog khusus, tetapi ada satu pegawai yang lulusan psikologi dan bisa mendampingi warga binaan. Selain itu, kami juga ada kegiatan pendampingan rohani,” kata Kepala Lapas Kelas II A Perempuan Jakarta Herlin Candrawati.
Selain program yang termasuk pembinaan kepribadian itu, Rosita juga menjalani program pembinaan kemandirian. Dalam program ini, menurut Herlin, Rosita piawai menjalaninya. Ia pintar menjahit dan membuat bordir. Dari keterampilannya itu, Rosita diarahkan untuk membuat masker, mukena, dan baju.
Kondisi yang dialami terpidana mati saat ini, utamanya perempuan, sejak vonis mati dijatuhkan disebut komisioner Komnas Perempuan, Theresia Sri Endras Iswarini, dengan istilah kematian kedua.
Istilah itu muncul karena mereka hidup dalam ketidakpastian. Mereka juga mengalami perubahan hidup yang drastis. Ada yang diceraikan suaminya, ditinggalkan anaknya, dan ada pula yang tak dikunjungi keluarganya. Akibatnya, mereka kerap berupaya bunuh diri, selalu mengalami mimpi buruk, hingga mengalami sakit karena kondisi mental yang buruk. Kondisi yang jauh dari keluarga juga memberi pengaruh.
”Mereka merasa kehilangan seluruh hidupnya. Kebanyakan para korban ini punya keluarga,” kata Theresia.
Pertimbangan hakim
Menurut kuasa hukum Rosita dari LBH Masyarakat, Yosua Octavian, kondisi psikis Rosita naik turun sejak divonis hukuman mati. Apalagi, hampir dua tahun atau selama pandemi Covid-19, dia tidak pernah bertemu dengan anak laki-laki dan ibunya sebagai imbas dari kebijakan pemerintah untuk mencegah penularan Covid-19. Bahkan, Rosita pernah berteriak histeris setelah putusan MA menolak kasasinya.
Padahal, terpidana lain dalam perkara sama, yaitu Rubiyanti Hasyim, diringankan hukumannya di tingkat banding, dari hukuman mati menjadi seumur hidup. Salah satu pertimbangan majelis hakim, Rubiyanti adalah seorang ibu yang memiliki tanggungan anak. Hal yang sama seharusnya berlaku bagi Rosita karena ia pun seorang ibu dengan tanggungan anak.
Selain itu, Yosua menyayangkan, unsur relasi kuasa yang timpang antara Rosita dan suaminya tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim. Hakim hanya melihat bahwa Rosita adalah bagian dari sindikat peredaran narkoba. Padahal, dalam kasus itu, Rosita terlibat peredaran narkoba untuk yang pertama dan terakhir kalinya.
Perspektif jender, yaitu kerentanan Rosita saat berhadapan dengan hukum, juga tak menjadi pertimbangan hakim. Posisi Rosita yang rentan sebagai orangtua tunggal, berlatar belakang hanya lulusan SMP, plus kesulitan ekonomi dan tanggungan untuk membiayai anak laki-lakinya yang masih usia tujuh tahun pun tidak dipertimbangkan. Selama persidangan, Rosita juga dinilai tidak mendapatkan bantuan hukum yang efektif.
”Fakta bahwa Rosita adalah perempuan berpendidikan rendah, tulang punggung keluarga, dengan relasi kuasa yang timpang dengan suaminya yang berkarakter emosional kurang tergali sehingga klien kami menjadi sosok yang rentan saat berhadapan dengan hukum,” papar Yosua.
Baca juga : Vonis Mati Tak Ciptakan Efek Jera
Dalam Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2020 yang diterbitkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), aspek jender memang jarang menjadi pertimbangan saat mengadili perempuan.
Laporan Cornell Center on the Death Penalty Worldwide menyebut, perempuan sebagai terdakwa mendapatkan hukuman yang berat ketika tidak ada pengakuan tentang bagaimana aspek jender dan patriarki memengaruhi mereka saat melakukan tindak pidana. Proses peradilan dalam kasus dengan pelaku perempuan cenderung mengabaikan aktor lain yang memengaruhi perempuan melakukan tindak pidana.
Di Indonesia, laporan ICJR juga menyatakan bahwa secara umum peradilan pidana di Indonesia gagal mempertimbangkan kekerasan jender dan bukti lain yang dapat meringankan hukuman. Misalnya, untuk menentukan derajat kesalahan, apakah ada paksaan atau niat jahat.
Masalah ini juga mendapat perhatian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) menyebutkan, pembahasan mengenai pidana mati sering mengabaikan hambatan dan kerugian khusus yang dihadapi perempuan secara spesifik. Padahal, jika dipertimbangkan, aspek jender bisa untuk melihat diskriminasi dalam penerapan hukuman mati.