Vonis Mati Tak Ciptakan Efek Jera, Aturan Hukuman Mati Perlu Dihapus
Dalam RKUHP yang kini dibahas pemerintah dan DPR, hukuman mati bukan lagi pidana pokok, tetapi pidana alternatif. Vonis mati bisa diubah jadi hukuman seumur hidup jika terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/SUSANA RITA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski eksekusi hukuman mati tak lagi dilaksanakan sejak 2017, vonis hukuman mati tetap dijatuhkan pengadilan hingga saat ini. Padahal, hukuman mati terbukti tak efektif untuk menciptakan efek jera. Pembentuk undang-undang diminta menghapus seluruh regulasi yang masih mengatur hukuman mati, tak hanya meletakkannya sebagai pidana alternatif di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, pada Oktober 2020-September 2021, terdapat setidaknya 35 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia. Kebanyakan yang dihukum mati adalah laki-laki sebanyak 68 orang dan perempuan sebanyak 4 orang.
Dari jenis pidana, vonis hukuman mati paling banyak dijatuhkan untuk kasus narkotika, yakni 60 terdakwa. Sementara dari sisi wilayah, Sumatera Utara tercatat paling banyak mengeluarkan vonis hukuman mati, yakni 9 vonis bagi 13 orang terdakwa.
Wakil Koordinator Kontras Arif Nur Fikri, dalam jumpa pers secara daring dalam memperingati Hari Anti-Hukuman Mati tiap 10 Oktober, Minggu (10/10/2021), mengatakan, meski banyak terdakwa kasus narkotika yang divonis mati, efek jera sebagaimana yang diharapkan tidak terjadi. ”Vonis mati tidak memberikan efek jera, tetapi negara tetap mempertahankan vonis. Hal ini perlu menjadi refleksi bagi negara,” kata Arif.
Dari vonis hukuman mati yang dijatuhkan, tercatat bahwa pengadilan negeri paling dominan memutuskannya, yakni 31 vonis. Terkait hal ini, Arif meminta agar Mahkamah Agung sungguh menerapkan prinsip kehati-hatian mengingat peradilan merupakan benteng terakhir dalam proses peradilan pidana.
Apalagi dari sejumlah kasus, ia menilai terjadi peradilan yang tidak adil, seperti vonis mati bagi anak dan vonis mati bagi terpidana yang mengalami gangguan mental. Dengan permasalahan tersebut, negara diharapkan mengambil langkah lebih maju dengan menghapus seluruh regulasi yang masih mengatur hukuman mati, tidak hanya meletakkannya sebagai pidana alternatif sebagaimana dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
”Karena cukup banyak vonis pidana mati yang diputus dan guna menghindari eksekusi mati sebagai alat untuk meningkatkan elektabilitas politik atas nama ketegasan, sudah sepatutnya pemerintah mengevaluasi moratorium pidana mati sebab dalil-dalil yang digunakan tidak memberikan dampak yang signifikan,” tutur Arif.
Auliya Rayyan dari Divisi Hukum Kontras menambahkan, dalam berbagai kasus dengan vonis mati, tampak perempuan menjadi pihak yang sangat rentan. Kerentanan tersebut terkait dengan kemiskinan yang membelenggu mereka sehingga mereka tidak memiliki pilihan dalam pekerjaan, termasuk tidak adanya akses informasi dan pendidikan.
Alih-alih memvonis mati, pemerintah semestinya terlebih dahulu menyelesaikan masalah struktural yang telah membelenggu perempuan Indonesia. Sebab, dalam hal ini mereka adalah korban dari negara yang tidak menyelesaikan masalah struktural tersebut.
Di sisi lain, lanjut Auliya, Pemerintah Indonesia tampak bertindak cepat atau melakukan intervensi dengan cepat ketika ada tenaga kerja atau warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri. Hal ini tampak kontras dengan yang dilakukan di dalam negeri. ”Ada inkonsistensi antara di level internasional dan level nasional,” ujar Auliya.
Dengan tidak adanya eksekusi hukuman mati sejak 2017, pemerintah diharapkan tetap berkomitmen melanjutkannya. Berikutnya, pemerintah diharapkan meratifikasi Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta mendukung resolusi PBB tentang pembentukan moratorium universal penerapan hukuman mati. Tidak hanya itu, pemerintah juga diharapkan menghapus seluruh pasal yang mengatur hukuman mati dan meninjau ulang semua kasus vonis hukuman mati.
Dalam kesempatan itu, Marie dari Together Against the Death Penalty (ECPM) berpandangan, pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa langkah positif. Selain tak lagi mengeksekusi hukuman mati sejak 2017, Indonesia telah mengambil keputusan untuk absen dari pemungutan suara untuk resolusi PBB terkait moratorium universal penerapan hukuman mati, yang sebelumnya Indonesia selalu dalam posisi menentang. Hal positif lainnya, pemerintah selalu berupaya melindungi warganya yang terancam hukuman mati di luar negeri.
Secara terpisah, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam keterangan tertulis menyatakan, kondisi seseorang terkait latar belakang sosial dan ekonomi yang tidak beruntung akan mengakibatkan peluang lebih besar untuk terjerat pidana mati. Hal tersebut diperburuk dengan kondisi peradilan pidana Indonesia saat ini.
Dalam kondisi tersebut, perempuan menjadi kelompok yang paling menderita. Sebab, ketika berhadapan dengan sistem peradilan pidana, perempuan yang menghadapi pidana mati berada dalam tingkat risiko tertinggi.
Untuk itu, ICJR meminta pembuat kebijakan untuk mengambil langkah yang bertujuan menghapus pidana mati dengan perspektif perlindungan hak asasi manusia. Sementara Mahkamah Agung diharapkan memastikan agar tercipta kesatuan hukum dalam putusan-putusan hakim untuk memastikan standar yang tinggi dalam pemeriksaan kasus yang dituntut dengan pidana mati.
Jalan tengah
Dalam sebuah diskusi yang digelar secara daring, Jumat (8/10/2021), Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia (Balitbang HAM) Sri Puguh Budi Utami mengatakan, Indonesia memang belum menghapus hukuman mati. Ada pro-kontra mengenai jenis hukuman itu. Sebagian kalangan menolak pidana mati, sebagian lagi masih memandang hukuman tersebut diperlukan.
Dengan kondisi itu, menurut dia, yang ditawarkan dalam RKUHP merupakan jalan tengah. Dalam RKUHP, hukuman mati bukan lagi pidana pokok, melainkan pidana alternatif. Pidana mati dijatuhkan sebagai upaya akhir ketika hukuman lain tidak dapat dijatuhkan. Selain itu, vonis mati sangat mungkin diubah menjadi hukuman seumur hidup apabila dalam masa percobaan selama 10 tahun terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji.
Hal tersebut tercantum di Pasal 98 dan Pasal 100 RKUHP. Pasal 98 RKUHP mengatur, pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat. Adapun Pasal 100 mengatur tentang hukuman mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.
RKUHP kini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 dan menurut rencana akan dibahas pemerintah dan DPR setelah masa reses DPR berakhir, awal November mendatang.
Mayoritas negara-negara, berdasarkan data ICJR, sudah menghapus hukuman mati dari sistem pidana mereka. Sebanyak 144 negara telah menolak hukuman tersebut. Sisanya, sebanyak 55 negara, termasuk Indonesia, masih memertahankan penerapan hukuman mati.
Mengacu pada data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, per 7 Oktober 2021, terdapat 400 terpidana mati yang ada di seluruh lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Indonesia. Sebanyak 298 terpidana di antaranya merupakan pelaku tindak pidana narkotika. Di urutan kedua, sebanyak 83 orang terjerat kasus pembunuhan, 8 orang kasus psikotropika, 7 orang kasus perampokan, 2 orang kasus terorisme, serta masing-masing 1 orang kasus pencurian dan perlindungan anak.
Menurut Sri, perlu ada kajian bagaimana nantinya nasib para terpidana mati tersebut jika RKUHP disahkan menjadi undang-undang. Apalagi banyak terpidana mati yang menunggu pelaksanaan eksekusi dalam jangka waktu yang lama sehingga perlu dipikirkan bagaimana mereka akan diperlakukan. Perlu ada kajian dan rekomendasi terkait hal ini.
”Data kami, misalnya ada napi kasus narkotika yang dihukum mati sudah di LP selama 19 tahun. Atau, ada yang sudah 20 tahun sejak ditahan. Bisa dibayangkan bagaimana perasaannya selama itu,” ujar Sri.