Laju Pemulihan Ekonomi Daerah Setelah Covid-19 Diprediksi Tak Serempak
Banyak kalangan meyakini tahun 2022 menjadi momentum untuk memulihkan perekonomian setelah pandemi Covid-19. Namun, laju pemulihan ekonomi di satu daerah dan daerah lain diperkirakan akan berbeda.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan berbagai aspek kehidupan pascapandemi Covid-19 secara umum telah berangsur-angsur terjadi. Namun, kecepatan untuk pulih akan bergantung pada struktur ekonomi dan tata kelola yang dibangun pemerintah daerah.
Hal itu terungkap di dalam webinar ”Daya Saing Daerah Berkelanjutan: Kunci Pemulihan Pascapandemi Covid-19", Jumat (3/12/2021), yang diselenggarakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Populi Center. Narasumber dalam webinar tersebut adalah analis Kebijakan KPPOD, Edwin Ramda; Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah; dan peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Edbert Gani.
Menurut Edwin, program pemulihan ekonomi sudah berjalan sejak akhir 2020 hingga saat ini. Hal itu tampak dari pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 yang terkonstraksi atau minus 5,32 persen, maka pada periode yang sama tahun berikutnya sudah tumbuh positif 7,07 persen.
Namun, kata Edwin, proses pemulihan pascapandemi Covid-19 akan berbeda satu dengan yang lain. Selain karena dipengaruhi persoalan klasik bahwa masih adanya ketimpangan besar antara wilayah Indonesia barat dan timur dalam berbagai aspek, setiap daerah juga memiliki andalan ekonominya masing-masing.
”Kita masih menghadapi persoalan, yakni dependensi atau ketergantungan. Misalnya Bali, sebelum pandemi pendapatan tinggi. Tapi saat pandemi terjadi penurunan. Lalu kemunculan varian virus yang baru memberikan sentimen negatif pada perekonomian,” kata Edwin.
Di sisi lain, menurut Edwin, tidak sedikit pemimpin lokal yang selama pandemi Covid-19 menjalankan roda pemerintahan seperti pada kondisi normal. Pengalokasian anggaran kembali untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 dilakukan seperti biasa sehingga daya serap anggaran tersendat.
Padahal, untuk mempercepat pemulihan daerah pascapandemi Covid-19, diperlukan pelibatan banyak pihak, termasuk masyarakat sipil dan sektor swasta. Selain itu, kepala daerah juga diharapkan tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan lingkungan.
Terkait ekonomi, menurut Edwin, jika sebelumnya sebuah daerah bergantung pada sektor tersier, kini saatnya menyesuaikan diri dengan menekankan pada sektor primer. ”Daya saing dapat dibangun dengan bertindak dinamis, yakni adaptif dan terus bergerak menyesuaikan terhadap kondisi di masa kedaruratan ini,” ujar Edwin.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah memprediksikan, ekonomi ke depan akan semakin membaik. Dari indikator pertumbuhan ekonomi, bukan tidak mungkin pertumbuhan yang terjadi pada triwulan II-2021 akan berulang kembali tahun depan. Sementara, indikator-indikator yang lain, seperti indeks keyakinan konsumen, indeks penjualan, serta konsumsi, juga menunjukkan perbaikan.
Meski di akhir tahun ini pemerintah kembali memperketat mobilitas masyarakat, Piter memperkirakan, tidak akan memengaruhi psikis masyarakat sehingga menimbulkan semacam ketakutan. Hal ini akan berdampak pada konsumsi atau belanja masyarakat yang diyakini akan tetap terjaga meski di sisi lain diharapkan gelombang ketiga pandemi tidak akan terjadi. Demikian pula dari sisi ekspor diharapkan tetap membaik.
”Kita bisa meyakini proses pemulihan ekonomi pada 2022 akan berjalan dengan baik, bahkan menjadi momentum perbaikan ekonomi secara lebih menyeluruh,” kata Piter.
Namun, pola pemulihan dari sisi ekonomi tersebut akan berjalan berbeda-beda antara satu daerah dan daerah yang lain. Ada wilayah yang pemulihannya menyerupai perekonomian nasional, terutama untuk daerah-daerah di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Namun, di daerah-daerah seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua, kemungkinan akan berbeda.
Menurut Piter, jika dikaitkan dengan daya saing daerah, pola pemulihan ekonomi setiap daerah dipengaruhi oleh struktur pembentuk daya saing. Daya saing daerah juga tidak terlepas dari peran tata kelola yang dibangun di setiap daerah. Biasanya, daerah dengan indeks daya saing daerah yang tinggi, maka daerah tersebut memiliki tata kelola daerah yang baik dan sebaliknya.
Hal yang menjadi persoalan, menurut Piter, adalah tidak semua daerah memiliki struktur yang baik. Meski demikian, pemulihan tetap dapat dilakukan dengan cara memperbaiki tata kelola daerah. Dengan tata kelola daerah yang lebih baik, maka pemulihan ekonomi diharapkan akan mengikuti menjadi lebih baik.
”Kami berharap agar pemda terus memperbaiki tata kelolanya. Perbaikan tata kelola itu tidak terlepas dari sumber daya manusia. Sementara digitalisasi dapat membantu khususnya untuk transparansi,” ujarnya.
Sementara peneliti CSIS, Edbert Gani, berpandangan, dalam menciptakan tata kelola yang baik di daerah, terdapat faktor atau variabel yang selama ini kurang diperhitungkan, yakni politik. Dalam sistem presidensial sebagaimana dianut Indonesia, partai politik terlihat berjarak dari politisi. Ini karena parpol hanya bertugas mencalonkan seseorang, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol politisi ketika dia berkuasa.
Di sisi lain, persaingan politik membuat para calon kepala daerah ketika terpilih kemudian meninggalkan pencapaian pemimpin daerah sebelumnya. Program yang sebelumnya dijalankan akan diganti dengan program lain hanya untuk menunjukkan kebaruan kepada publik.
”Lalu soal politik dinasti juga bisa menghambat ruang-ruang inovasi. Politik dinasti belum tentu berarti jelek kualitas orangnya. Tapi jika yang datang adalah politisi yang tidak terbuka, tidak inklusif, maka ini akan menjadi hambatan,” kata Gani.
Faktor lain yang juga menjadi hambatan dalam menciptakan tata kelola yang baik di daerah adalah adanya resistensi dari birokrasi. Bisa jadi mereka sulit menerima pembaruan yang dibawa kepala daerah yang baru, terlebih kepala daerah yang bukan dari kalangan birokrat.
Untuk mempercepat pemulihan pascapandemi Covid-19, Gani melanjutkan, diperlukan gerak langkah bersama antara pemerintah pusat dengan daerah. Hal itu penting karena banyak kebijakan dari pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah daerah. Sementara, sebagian besar sumber keuangan daerah saat ini didominasi dana transfer dari pusat.