Pengendalian Pandemi dan Vaksinasi Jadi Syarat Pulih dan Tumbuhnya Perekonomian
Pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi hanya bisa dilakukan dengan dua prasyarat yang harus dipenuhi, pengendalian jumlah kasus Covid-19 dan jumlah penduduk yang divaksinasi mencapai 70 persen pada 2022.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Pengendara terjebak kemacetan di dua arah Tol JORR, Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Jumat (26/11/2021). Pelonggaran kegiatan sosial memicu menggeliatnya kembali perekonomian.
JAKARTA, KOMPAS — Ekonomi Indonesia 2022 diperkirakan bisa pulih seperti sebelum pandemi. Namun, ada dua syarat yang harus terpenuhi terlebih dahulu, yaitu jumlah kasus Covid-19 bisa terkendali dan jumlah penduduk yang divaksinasi terus dikebut hingga mencapai target 70 persen penduduk.
Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 diperkirakan mencapai 5,17 persen. Posisi ini lebih baik ketimbang pertumbuhan ekonomi 2019 yang sebesar 5,02 persen.
”Perkiraan kami sejalan dengan target pemerintah. Pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa terus meneruskan pemulihan setidaknya bisa sama seperti kondisi sebelum pandemi,” ujar Leo dalam acara Mandiri Sekuritas Economic Outlook 2022 dan Peluncuran MOST Digital Studio, Selasa (30/11/2021).
Namun, ia menegaskan ada dua persyarat yang harus dipenuhi untuk bisa mencapai hal tersebut. Yang pertama adalah terkendalinya jumlah kasus Covid-19. Dengan terkendalinya jumlah kasus Covid-19 dan pelaksanaan protokol kesehatan yang baik, kegiatan perekonomian bisa terus berjalan sehingga pemerintah tidak perlu menerapkan pembatasan sosial.
Poin persyaratan kedua adalah vaksinasi massal yang harus terus diberikan hingga memenuhi target 70 persen dari jumlah penduduk pada semester I-2022. Apalagi dengan perkembangan hadirnya varian baru virus Omicron, proteksi imun pada masyarakat semakin harus digalakkan. Karena dengan semakin banyaknya masyarakat yang telah divaksinasi komplet, kegiatan bisa kembali berlangsung normal sehingga mendorong kembali geliat ekonomi.
”Pertumbuhan dan pemulihan ekonomi akan sulit tercapai apabila dua syarat ini belum terpenuhi,” ujar Leo.
Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi tahun depan akan banyak didorong permintaan domestik, baik dari sisi konsumsi maupun investasi. Seiring dengan pelonggaran kegiatan sosial, kegiatan ekonomi pun kembali menggeliat sehingga konsumsi masyarakat bisa kembali membaik. Hal tersebut juga akan diiringi investasi yang bisa mendorong perekonomian.
Hal ini berarti tahun depan akan terjadi perubahan faktor pendorong ekonomi. Pada 2019-2020, pendorong pertumbuhan ekonomi adalah dari sisi kebijakan pemerintah, seperti insentif fiskal dan pelonggaran moneter. Namun, tahun depan pendorong ekonomi akan kembali berasal dari sektor swasta, yakni dari konsumsi dan investasi.
Digitalisasi yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk UMKM, lanjut Leo, juga berperan untuk menggeliatkan ekonomi dalam tatanan akar rumput.
Leo menjelaskan, sektor digital dan layanan kesehatan akan tetap menjadi sektor yang berkinerja kinclong tahun depan. Seperti halnya 2019-2020, dua sektor ini terakselerasi secara cepat terpicu pandemi.
Selain sektor digital dan layanan kesehatan, sektor perbankan diperkirakan juga akan melesat di tahun depan. Seiring dengan pemulihan ekonomi, dunia usaha akan membutuhkan permodalan untuk kembali melanjutkan ekspansi usahanya yang tertunda karena pandemi. Perbankan masih menjadi lembaga keuangan utama yang bisa menjawab kebutuhan dunia usaha.
Dari sisi konsumsi, sektor properti juga diperkirakan menggeliat. Sebab, sektor ini termasuk salah satu kebutuhan primer. Pulihnya ekonomi juga turut mendorong menggeliatnya kembali sektor ini.
Sektor lain yang diperkirakan akan bertumbuh adalah sektor komoditas, khususnya jenis komoditas yang akan didorong hilirisasinya. Ini antara lain nikel dan sawit.
Dalam kesempatan berbeda, Ekonom Senior Bank DBS Indonesia Radhika Rao mengatakan, pada 2022, BI diprediksi meningkatkan suku bunga ketika inflasi menguat. Ini dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Hal ini juga dilakukan BI untuk mengantisipasi keluarnya arus modal dipicu normalisasi kebijakan moneter dunia.
”Manuver kebijakan Bank Sentral AS akan dicermati secara ketat, dengan tanda-tanda kenaikan suku bunga acuan dipercepat pada tahun 2022 kemungkinan meyakinkan BI untuk meninjau kebijakannya mengurangi tekanan negatif pada rupiah karena perbedaan suku bunga. Perubahan kebijakan mungkin juga bisa didorong kemungkinan kenaikan inflasi domestik yang lebih tinggi karena faktor pasokan/bahan baku dan pemulihan permintaan,” ujar Radhika.