Inflasi bulan November, baik secara tahunan maupun bulanan, mencatatkan posisi tertinggi di sepanjang tahun 2021. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan permintaan masyarakat sebagai sinyal pemulihan ekonomi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inflasi bulan November, baik secara tahunan maupun bulanan, mencatatkan posisi tertinggi di sepanjang tahun 2021. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan permintaan masyarakat sebagai sinyal pemulihan ekonomi.
Badan Pusat Statistik mencatat inflasi pada November 2021 sebesar 0,37 persen dibandingkan dengan Oktober 2021. Sementara secara tahunan, inflasi tercatat mencapai 1,75 persen. Adapun bila dibandingkan dengan Desember 2020, inflasi tercatat mencapai 1,3 persen.
”Karena permintaan akan transaksi barang dan jasa semakin banyak, maka inflasi naik. Ini ada indikasi bahwa sudah mulai ada tanda-tanda pemulihan ekonomi secara umum,” kata Kepala BPS Margo Yuwono saat menyampaikan keterangan pers secara virtual, Rabu (1/12/2021).
Berdasarkan komponennya, inflasi barang yang harganya bergejolak sebesar 0,07 persen, inflasi inti sebesar 0,17 persen, dan inflasi barang yang harganya diatur pemerintah (administered price) sebesar 0,37 persen.
Ekonom PT Bank Danamon Tbk, Wisnu Wardana, menilai relatif tingginya inflasi inti menandai pemulihan ekonomi di November 2021. Hal tersebut terjadi seiring mobilitas masyarakat yang lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya serta indeks PMI manufaktur yang ekspansif di level 53,9.
Melihat pergerakan inflasi November, Wisnu optimistis inflasi akan terus merangkak naik hingga akhir tahun. Namun, ia pesimistis angka inflasi hingga akhir tahun akan sesuai dengan proyeksi yang dicanangkan Bank Indonesia, yakni 2-4 persen.
”Berdasarkan survei bisnis bank sentral, beberapa sektor berencana membebankan biaya input ke konsumen mulai triwulan II-2021 ini. Namun, ini akan tergantung dari kondisi pandemi,” ujarnya.
Inflasi berlanjut
Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Faisal Rachman, memproyeksi kenaikan inflasi dari sisi permintaan masih akan berlanjut pada Desember 2021, didorong oleh percepatan pemulihan ekonomi seiring dengan pelonggaran pembatasan sosial yang meningkatkan mobilitas masyarakat.
Menurut dia, rencana pemerintah untuk memperketat mobilitas masyarakat pada periode libur Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 akan berdampak terbatas pada permintaan masyarakat. ”Perkiraan terbaru kami menunjukkan bahwa inflasi pada akhir tahun 2021 bisa menjadi 1,82 persen,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Faisal, tekanan inflasi dari sisi penawaran yang diperkirakan cenderung meningkat perlu diwaspadai. Ini terlihat dari Indeks Harga Produsen (IHP) dan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sudah berada di atas inflasi Indeks Harga Konsumsi (IHK).
”Hal ini terutama terkait dengan masih tingginya harga komoditas selama krisis energi global,” katanya.
Tetap ekspansif
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, memproyeksikan tren PMI manufaktur Indonesia akan tetap berada di level ekspansif jika tak ada gelombang baru Covid-19.
Ahmad menambahkan, PMI manufaktur yang dalam tiga bulan berturut-turut berada di atas level 50 menunjukkan tingginya kepercayaan investor terhadap penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Di luar itu, pengetatan pembatasan saat libur Natal dan Tahun Baru akan sedikit memengaruhi kinerja industri meski tak signifikan.
”Trennya ke depan sampai awal tahun menunjukkan peningkatan kalau pada Desember 2021 ini kita tidak mengalami gelombang baru,” kata Heri.
Untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 varian Omicron, Heri menyarankan pemerintah perlu segera kembali memperketat pintu masuk, khususnya dari negara-negara yang mengalami lonjakan kasus.
”Selain itu, mobilitas di dalam negeri juga perlu diawasi secara hati-hati agar lonjakan kasus pada pertengahan 2021 tak kembali terulang,” kata Ahmad.
Komoditas pertanian
Margo mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan November meningkat tipis sebesar 0,49 persen dari 106,67 pada Oktober 2021 menjadi 107,18. Berdasarkan subsektor, ada tiga subsektor yang mengalami kenaikan NTP, sementara dua subsektor lainnya mengalami penurunan.
Secara lebih rinci, subsektor tanaman pangan meningkat 0,13 persen menjadi 99,48. Sementara subsektor tanaman perkebunan rakyat meningkat 2,05 persen menjadi 130,28. Adapun subsektor peternakan tumbuh 0,56 persen menjadi 99,56.
Sementara itu, subsektor hortikultura menurun 2,92 persen dari 99,45 di bulan Oktober 2021 menjadi 96,54. Begitu pula dengan sektor perikanan yang turun 0,16 persen dari 105,28 di bulan Oktober menjadi 105,11 di bulan November 2021.
”Turunnya subsektor hortikultura dipengaruhi oleh beberapa komoditas, yakni turunnya harga bawang merah, cabai rawit, dan tomat,” kata Margo.