Risiko tinggi korupsi dalam sektor pertahanan Indonesia dinilai berkorelasi dengan buruknya pertahanan di Indonesia. Salah satunya di operasional karena belum ada mekanisme antikorupsi dalam tataran operasi.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transparency International Indonesia menyebutkan terdapat risiko yang tinggi untuk korupsi dalam sektor pertahanan Indonesia, terutama untuk operasional TNI. Sektor pertahanan hingga saat ini belum dilaksanakan secara akuntabel dan tidak disertai prosedur untuk mengurangi risiko korupsi tersebut.
Hal itu disampaikan peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, dalam peluncuran Indeks Integritas Pertahanan Pemerintah (GDI) 2020, Senin (22/11/2021). Alvin mengatakan, dari 86 negara, Indonesia berada di peringkat ke-34 dibandingkan dengan Selandia Baru di peringkat pertama dan Sudan di peringkat ke-86. ”Di Asia Pasifik, Indonesia di peringkat ke-9 dari 14 negara,” kata Alvin.
Skor Indonesia pada Indeks Integritas Pertahanan Pemerintah (GDI) 2020 di angka 37 menunjukkan Indonesia masuk kategori berisiko tinggi terjadi korupsi. Posisi dalam kategori ini tidak berubah dari tahun sebelumnya. Alvin menjelaskan, yang diukur bukan tingkat korupsi, melainkan risiko terjadinya korupsi. Dari lima kategori, yaitu risiko politik, anggaran, personel, operasional, dan pengadaan, risiko tertinggi atau kritis ada di operasional.
Risiko politik tinggi terjadi karena pengawasan dari DPR belum maksimal, di antaranya karena kapasitas anggota DPR. Sementara risiko untuk anggaran, personel, dan pengadaan relatif menengah karena banyaknya militer yang terlibat kerja-kerja sipil, pengadaan yang tidak kompetitif, dan tertutupnya informasi.
”Untuk operasional, kategorinya termasuk kritis karena belum ada mekanise antikorupsi dalam tataran operasi,” kata Alvin.
Skor Indonesia pada Indeks Integritas Pertahanan Pemerintah (GDI) 2020 di angka 37 menunjukkan Indonesia masuk kategori berisiko tinggi terjadi korupsi.
Currie Maharani, dosen Universitas Bina Nusantara, mengatakan, memang masih ada masalah kelembagaan, pembagian tugas antara TNI dan Kementerian Pertahanan. Juga ada masalah supremasi sipil. Ia mencontohkan posisi direktur jenderal di Kemenhan yang kini diduduki oleh militer aktif. Kemampuan mereka tidak spesifik dan ada masalah kompetensi.
”Mereka mengakui bahwa Kemenhan tidak menjalankan diskresi sehingga dari ’angkatan’ langsung ke Bappenas,” kata Currie.
Currie juga menyoroti adanya risiko Menteri Pertahanan dari partai politik. Hal ini tidak bisa diabaikan. Walaupun mungkin Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tidak memolitisasi, tetap ia menjadi sasaran tembak parpol lain sehingga koreksi pada Menhan ada motif politik.
Ia kemudian menyoroti pengekspor senjata punya indeks GDI yang lebih baik. ”Memang kita belum mengatur market representative, mereka urus administrasi sehingga sering disebut broker. Salah satu masalah mereka tidak melalui proses due diligence,” ujar Currie.
Al Araf, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, berpendapat, rendahnya indeks integritas ini berkorelasi langsung dengan buruknya kondisi pertahanan di Indonesia. Penambahan anggaran pertahanan tidak langsung berakibat pada meningkatnya kemampuan TNI. Apalagi kehadiran menteri pertahanan dari partai politik membuat publik mengaitkannya dengan transaksi politik bagi-bagi anggaran.
Indonesia tidak akan mencapai kondisi yang ideal, bahkan minimal, kalau sektor pertahanannya berada dalam kondisi risiko tinggi korupsi. Hal ini harus dibenahi terlebih dahulu agar sektor pertahanan tidak lagi hanya menjadi ajang bagi-bagi lahan dan anggaran politik. ”Salah satu yang bikin tidak transparan adalah ketidakkonsistenan pengadaan,” kata Al Araf.
Kepala Biro Humas Sekretariat Jenderal Kemenhan Penny Radjendra tidak memberi respons saat dimintai tanggapan.
Sementara juru bicara Menhan Prabowo Subianto, Dahnil A Simanjutak, mengatakan, rencana pengadaan pertahanan memang tidak dibuka ke publik sampai kontrak ditandatangani. ”Kalau sudah ditandatangani, kan, dipublikasikan,” kata Dahnil.