Sudah semestinya semua pihak menghindari area rawan korupsi, bukan malah meminta pengecualian agar tidak terkena OTT. Sebab, citra institusi rusak karena perbuatan korupsi penegak hukum dan kepala daerahnya, bukan OTT.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Ratusan operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi merefleksikan Indonesia belum bebas dari kelancungan para koruptor. Alih-alih berubah dan berjuang agar tidak jatuh pada jurang korupsi, sejumlah politikus justru memohon kepada KPK agar ada panggilan terlebih dahulu sebelum ditangkap, serta ada pengistimewaan bagi penegak hukum lain.
Sekitar 16 tahun yang lalu, KPK memberikan kejutan pertama dalam penindakan kasus korupsi. Saat itu, KPK berhasil menangkap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mulyana Wira Kusuma, yang mencoba menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan, Khairiansyah Salman. Kasus ini sekaligus mengungkap praktik korupsi di tubuh KPU, yang menyeret Ketua KPU Nazarudin Syamsudin dan Sekretaris Jenderal KPU Sussongko Suhardjo.
Ironisnya, 15 tahun kemudian, tepatnya pada 2020, KPK masih menemukan korupsi di institusi penyelenggara pemilu tersebut. Ini dibuktikan ketika KPK menangkap anggota KPU, Wahyu Setiawan, terkait kasus suap pergantian antarwaktu anggota DPR, Harun Masiku.
Itu baru cuplikan kasus di satu institusi. Bagaimana tidak, hingga sekarang KPK telah menangani hampir 800 kasus korupsi, yang cukup merata mulai dari instansi di pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Semakin menyedihkan lagi, beberapa kasus di antaranya terjadi di tengah pandemi bahkan sampai melibatkan pucuk pimpinan selevel menteri, seperti bekas Menteri Sosial Juliari Batubara dan bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Tak heran, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar, Marwan Mas kerap menyebut Indonesia sebagai ”negara surga bagi koruptor”. Bukan hanya karena korupsi kian bertumbuh subur di negeri ini, melainkan ternyata para pencuri uang rakyat itu juga masih bisa mendapat berbagai ”keistimewaan”, mulai dari remisi, pembebasan bersyarat, hingga grasi.
Indonesia sebagai ”negara surga bagi koruptor”. Bukan hanya karena korupsi kian bertumbuh subur di negeri ini, melainkan ternyata para pencuri uang rakyat itu juga masih bisa mendapat berbagai ”keistimewaan”, mulai dari remisi, pembebasan bersyarat, hingga grasi.
Meminta pengecualian
Belakangan ini, publik juga dihebohkan dengan pernyataan sejumlah politikus yang seolah meminta ”pengistimewaan” bagi kalangannya dan juga pihak-pihak lain. Sebut saja, Bupati Banyumas Achmad Husein.
Dalam sebuah diskusi terkait koordinasi supervisi pencegahan yang juga dihadiri oleh Ketua KPK Firli Bahuri di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (11/11/2021), Husein meminta KPK agar memanggil kepala daerahnya dulu sebelum melancarkan operasi tangkap tangan (OTT). Jika kepala daerah tersebut tidak berubah, KPK barulah menangkapnya.
”Kalau ternyata dia itu berubah, ya sudah lepas, gitu lho,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini.
Sepekan setelahnya, di dalam diskusi lain yang digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan, ikut mengomentari hal tersebut. Arteria berpandangan, bukan hanya kepada kepala daerah, penerapan OTT bagi polisi, hakim, dan jaksa juga perlu dicermati. Sebab, jika aparat penegak hukum terkena OTT, isu yang terlihat adalah kriminalisasi.
”Saya pribadi, saya sangat meyakini yang namanya polisi, hakim, jaksa itu tidak boleh di-OTT, bukan karena kami prokoruptor, karena mereka adalah simbol-simbol negara di bidang penegakan hukum,” kata Arteria.
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menilai, pernyataan yang dilontarkan Husein dan Arteria sangat tidak masuk akal. Seharusnya, semua pihak memiliki semangat yang sama, yakni menghindari area rawan korupsi, bukan malah meminta pengecualian agar tidak terkena OTT.
”Ini logika yang kebalik-balik. Justru, citra institusi itu rusak karena perbuatan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum dan kepala daerahnya, bukan karena OTT-nya. Jadi, tidak ada pengecualian kedudukan jabatan dalam hukum. Siapa pun bisa di-OTT,” ujar Azmi.
Menurut Azmi, wacana pengecualian OTT bagi aparatur hukum ini harus dihindari karena dikhawatirkan aparatur hukum akan menjadi ”penjahat yang terselubung”. Mereka akan menjadi ”backing” dari oknum-oknum yang ingin melakukan permufakatan jahat. ”Sebagaimana diketahui, kekuasaan itu cenderung disalahgunakan,” ucapnya.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo pun tidak sependapat dengan Husein, yang mengusulkan adanya pemanggilan terlebih dahulu kepada kepala daerah sebelum dilakukan OTT. Sebab, jika KPK ingin menangkap terduga pelaku korupsi, mereka pasti sudah memiliki dua alat bukti yang cukup.
”Jadi, kalau ada teman bupati yang, ’mbok, sebelum OTT, kami dipanggil dulu.’ Lha, ya percuma ada OTT, karena OTT itu perlu. Untuk itu, semua harus saling mengingatkan agar menghindari area rawan korupsi,” kata Tjahjo.
Senjata ampuh
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, menyampaikan, OTT pasti selalu ditakuti karena beberapa hal. Pertama, unsur pidananya sudah jelas ditemukan. Kedua, pelakunya juga sudah ada, siapa yang menyuap dan siapa yang disuap. Ketiga, barang buktinya juga ditemukan.
Keempat, OTT ini bisa berkembang. Berdasarkan pengalamannya, penerimaan uang dari penyelenggara negara ataupun penegak hukum biasanya bukan merupakan penerimaan yang pertama. Selain itu, dari OTT ini, juga bisa berkembang ke mana-mana, misalnya dari OTT kepala daerah, bisa ke pejabat di tingkat nasional.
”Artinya bahwa OTT masih menjadi senjata untuk melawan korupsi yang ampuh di negeri kita. Sebab, orang sudah tidak bisa lagi mengelak bahwa dia melakukan tindak pidana korupsi,” kata Yudi.
Firli Bahuri pun menegaskan, KPK hanya ingin mengingatkan agar seluruh pihak bisa fokus bekerja baik dan benar sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik. Jangan risih dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi selama merasa benar dalam menggunakan uang negara.
”Pelaksanaan kerja-kerja KPK akan selalu terukur dan sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Firli.
KPK hanya ingin mengingatkan agar seluruh pihak bisa fokus bekerja baik dan benar sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik.
KPK, lanjutnya, akan terus melaksanakan fungsi-fungsi pencegahan agar korupsi tidak kian merajalela. Fungsi-fungsi pencegahan itu meliputi supervisi, koordinasi, dan monitoring. ”KPK siap berkoordinasi pencegahan dengan semua pihak. Namun, jika terjadi korupsi dan cukup bukti, ya ditangkap,” katanya.