Kerja Berat di Tengah Riuh Panggung Politik
Jalan pengendalian pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi pada 2022 diperkirakan akan terjal. Panggung politik bakal mulai memanas. Guncangan pada stabilitas politik berpeluang pula terjadi imbas dari Pilkada 2024.
Aura kontestasi untuk Pemilu 2024 sudah terasa kendati penyelenggaraan pemilu masih 2-3 tahun lagi.
Baliho berukuran raksasa yang menampilkan sejumlah figur elite partai politik terpampang di mana-mana. Mereka yang disebut-sebut akan maju di Pemilu Presiden atau Pilpres 2024 sudah sibuk mencari simpati publik, selain berburu dukungan politik. Bersamaan dengan geliat sejumlah figur elite politik itu, sukarelawan pendukung bermunculan bak musim semi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Seolah tak ingin ketinggalan, partai politik (parpol) juga turut sibuk ke sana ke sini memanaskan ”mesin” parpol. Penjaringan calon anggota legislatif untuk Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 dimulai lebih awal. Begitu pula penyiapan saksi parpol di pemilu.
Di tengah kesulitan rakyat menghadapi pandemi Covid-19, panggung politik mulai memanas dibumbui gesekan antarelite, antarparpol, ataupun di lingkup internal parpol.
Baca juga: Moeldoko Hadir di KLB Demokrat, Peserta Suarakan Capres 2024
Sejumlah elite parpol yang diwawancarai Kompas selama sepekan lalu memprediksi, situasi perpolitikan nasional akan lebih memanas pada 2022. Ini menyusul dimulainya tahapan Pileg dan Pilpres 2024. Ditambah lagi dinamika politik di tingkat lokal yang memungkinkan terjadi sebagai imbas gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional pada 2024.
Baca juga : Kaus ”Banteng Celeng”, Ganjar Pranowo, dan Suara Akar Rumput
Belum lagi, tidak tertutup kemungkinan ada kepentingan politik menyusup dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah untuk mengisi jabatan 101 kepala/wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022. Imbas lain dari penerapan keserentakan pilkada pada 2024 tersebut berisiko pula mengganggu relasi pusat dan daerah, juga jalannya pemerintahan dan pelayanan publik di daerah-daerah itu.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengingatkan, penjabat kepala daerah yang akan menggantikan para kepala/wakil kepala daerah memiliki kewenangan terbatas. Mereka juga tak memiliki legitimasi yang kuat seperti halnya pimpinan daerah hasil pilkada. Selain itu, mencari aparatur sipil negara (ASN) yang memenuhi syarat dan punya kapasitas untuk jadi penjabat bukan perkara mudah.
”Ini ada keadaan yang tidak sama dengan penjabat di masa-masa normal. Ini penjabat dengan masa waktu paling lama, yakni dua sampai tiga tahun. Penjabat selama ini normally tidak sampai tahunan, hanya bulanan,” tuturnya.
Terlebih jika merujuk pada sejumlah kejadian sepanjang 2021, sinergi pusat dan daerah jadi pekerjaan rumah yang belum sepenuhnya terwujud. Pusat dan daerah kerap masih bersilang pendapat dalam penanggulangan pandemi. Bahkan, tak jarang arahan pusat tak ditindaklanjuti dengan cepat oleh daerah.
Menjadi catatan pula bagaimana instansi pemerintah di pusat masih kerap tak padu. Gerak mereka pun kerap dikeluhkan Presiden hingga berkali-kali Presiden mengingatkan jajaran menteri di kabinetnya untuk memiliki kepekaan terhadap krisis.
Soliditas koalisi
Sumber di Istana Kepresidenan mengakui, masih ada sumbatan dalam kerja antarinstansi. Selain itu, disebutkan pula, Presiden menyadari betul kemungkinan penurunan efektivitas kerja beberapa menterinya akibat Pemilu 2024. Oleh karena itu, Presiden diperkirakan bakal lebih banyak blusukan guna memastikan penanganan pandemi ataupun pemulihan ekonomi tetap berjalan dengan baik.
Adapun menurut Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, memanasnya panggung politik pada 2022 tak terelakkan. Namun, selama elite politik mampu menahan diri dan aparat keamanan bisa mendeteksi dini potensi kerawanan, ia yakin tak akan terjadi gesekan yang sampai mengoyak stabilitas politik.
Begitu pula gesekan antarmenteri berlatar belakang parpol di kabinet. Kalaupun sampai terjadi, diyakininya hal itu tak akan sampai merusak soliditas kabinet dan koalisi parpol pendukung pemerintah selama parpol memegang teguh komitmennya mendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin hingga akhir.
Dengan memegang teguh komitmen tersebut, kabinet diyakininya akan tetap bekerja total untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan parpol atau kepentingan sejumlah menteri maju di pilpres.
”Kalaupun nanti ada menteri yang resmi maju di Pilpres 2024, itu sah-sah saja, asalkan jangan sampai merusak komitmen kebersamaan koalisi pemerintahan saat ini,” ujarnya.
Baca juga : Gerindra Kembali Suarakan Keinginan agar Prabowo Maju di Pilpres 2024
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani juga optimistis kabinet dan koalisi akan solid. PPP meyakini hal itu karena pernah merasakan menjadi bagian dari koalisi parpol pendukung pemerintah pada periode pertama pemerintahan Jokowi dan sebelum pemerintahan Jokowi.
Kunci dari soliditas saat ini, menurut dia, intensnya komunikasi di koalisi. Selain itu, kepiawaian Presiden membina relasi dengan parpol sekalipun masing-masing punya kepentingan politik.
Hal lain yang penting, Presiden tak mungkin maju lagi di Pilpres 2024 sehingga apa pun kebijakan yang diambil dipercaya bukan untuk kepentingannya. Selain itu, Presiden Jokowi, sekalipun kader PDI-P, bukan pengambil kebijakan di PDI-P. Jadi, parpol meyakini, kebijakan apa pun yang diambilnya bukan untuk PDI-P.
”Kalaupun nanti mendekati 2024 muncul pandangan berbeda di antara parpol koalisi dan pemerintah, itu hal yang wajar. Jangan dibaca parpol akan meninggalkan koalisi, itu saya pikir merupakan asumsi yang berlebihan,” papar Wakil Ketua MPR ini.
Keuntungan dari penjabat
Adapun terkait relasi pusat dan daerah menyusul banyak daerah akan dipimpin penjabat, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin justru melihat ada sisi positif dari hal tersebut. ASN biasanya lebih patuh pada apa yang diputuskan pemerintah pusat. Tidak seperti selama ini, ketika pimpinan daerah berasal dari parpol, terkadang ada sekat-sekat politik yang justru menghambat tuntutan kerja cepat dalam penanggulangan pandemi.
Soal keterbatasan kewenangan dari penjabat kepala daerah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memiliki jawabannya. Tak semata bergantung kepada penjabat kepala daerah, Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) yang dipimpinnya akan mengintensifkan komunikasi dengan pimpinan daerah dalam Forum Koordinasi Pimpinan Daerah.
”Sehingga jika terjadi transisi kepemimpinan di level daerah, diharapkan tidak akan terlalu berdampak. Sebab, pimpinan kolektif daerah tersebut masih bisa dioptimalkan,” kata Ketua Umum Partai Golkar ini.
Meski demikian, Djohermansyah mengingatkan agar pemerintah daerah (pemda) tetap diberi ruang untuk berinovasi. Pelibatan aktif pemda sebagai otoritas yang lebih mengetahui problem di daerah juga penting untuk mengoptimalkan penanggulangan pandemi dan pemulihan ekonomi.
”Model pemerintahan kolaboratif akan bisa memaksimalkan pencapaian kinerja,” katanya.
Hal yang tak kalah penting, menguatkan sinergi di kabinet dan soliditas koalisi untuk mendukung kerja pemerintah dalam pemulihan ekonomi dan penanggulangan pandemi.
Politisi Amerika Serikat, William Clay, pernah menyatakan, politik seperti sebuah permainan. Tak ada musuh abadi. Tak ada pula kawan abadi. Yang kekal hanya kepentingan. Maka, kabinet dan koalisi yang saat ini tampak kukuh bisa jadi berantakan ketika kepentingan politik bertabrakan dengan misi pemerintah.
Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Syarif Hidayat, mengatakan, kontestasi politik masih berbiaya tinggi sehingga ada kecenderungan elite parpol bersekongkol dengan pemilik modal demi memperoleh modal untuk 2024.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin, parpol, termasuk kadernya di eksekutif dan legislatif, akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang justru berpihak pada kepentingan pemilik modal, bukan pemerintah, apalagi rakyat. Ketika ini terjadi, misi pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi pada 2022 bisa saja dikesampingkan.
Baca juga : Anomali Penentuan Jadwal Pemilu 2024
”Masalah impor vaksin, bentuk pembatasan kegiatan masyarakat saat pandemi, perdebatan vaksin berbayar, sampai harga (tes) PCR, memperlihatkan pertemuan dua kepentingan tersebut, oligarki parpol dan kapitalis,” ujarnya.
Untuk mencegahnya, selain pentingnya kendali Presiden, juga penting menguatkan pengawasan oleh masyarakat sipil dan publik. Pengawasan yang kuat akan menjaga pemerintah, tak terkecuali parpol, tetap berada di relnya.