Kaus ”Banteng Celeng”, Ganjar Pranowo, dan Suara Akar Rumput
”Banteng Celeng” muncul lagi. Kali ini dalam bentuk kaus yang diberikan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam sebuah pameran fotografi di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Apa pesan yang tersirat di baliknya?
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·6 menit baca
Kaus ”Banteng Celeng” yang diberikan sekelompok kader muda PDI Perjuangan Surakarta kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memantik reaksi publik. Lewat kaus itu, seolah ada pesan lebih besar yang ingin disampaikan menuju kontestasi Pilpres 2024.
Ajang pameran fotografi bertajuk Sang Akar, di Kota Surakarta, Jumat (12/11/2021), merayakan 44 tahun FX Rudyatmo, kader senior PDI Perjuangan (PDI-P), terjun ke dunia politik awalnya berjalan biasa. Dalam kesempatan itu, ditampilkan sebanyak 44 karya fotografi yang merekam perjalanan karier Rudy, sapaan akrab Rudyatmo, sejak pertama kali masuk partai politik, menjabat anggota DPRD Kota Surakarta, hingga purna dari jabatan Wali Kota Surakarta.
Sebagai gubernur dan sesama kader PDI-P, Ganjar Pranowo menyempatkan diri menghadiri pameran tersebut, Jumat siang. Lebih kurang sekitar pukul 10.30. Ia datang mengenakan pakaian batik berwarna putih biru dan kemudian disambut Rudy yang mengenakan kaus kerah warna merah. Keduanya langsung berkeliling melihat foto-foto yang dipamerkan.
Lalu, mereka berhenti pada sebuah foto yang menampilkan momen saat Ganjar dan Rudy saling beradu dahi. Momen itu diambil seorang pegawai Humas Pemkot Surakarta, sewaktu Rudy, yang masih menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, bersama Ganjar meninjau proyek pembangkit listrik tenaga sampah di Tempat Pembuangan Akhir Putri Cempo pada 2019.
Adu dahi selalu dilakukan Ganjar dan Rudy setiap kali bertemu. Ganjar berkelakar, kebiasaan itu untuk saling menyamakan pemikiran. ”Kami berdua ini jarang nyambung. Saya bicara A, beliau (Rudy) menangkapnya B. Jadi, ditempelkan saja jidatnya biar langsung bisa meresap,” guraunya.
Di sela-sela acara, tiba-tiba beberapa anak muda menghampiri Ganjar dan Rudy dan memberikan kaus berwarna hitam. Ternyata, gambar keduanya sedang beradu dahi dicetak pada muka kaus tersebut. Terdapat pula tulisan ”Sedulur Perjuangan” (Saudara Perjuangan) di bawah gambar itu. Ganjar tersenyum saja saat menerima kaus tersebut.
Namun, terdapat hal yang cukup jadi sorotan dari kaus tersebut. Pada bagian belakang, tampak gambar banteng berwarna merah. Banteng itu mempunyai hidung dan taring menyerupai babi hutan, atau celeng. Terdapat pula tulisan ”Banteng Celeng” di bagian belakang kaus.
Saat ditanya soal gambar itu, Ganjar menampiknya. Menurut dia, hanya terpampang gambar dirinya dan Rudy dalam kaus tersebut. Berulang kali ditanya, ia terus menjawab hal yang sama. ”Ndak (tidak) ada gambar celeng. Ngawur wae (saja). Itu gambarnya Pak Rudy, lho. Enggak ada (gambar celeng). Enggak kelihatan,” kata Ganjar.
Ganjar seperti sangat berhati-hati terhadap istilah celeng. Maklum saja, istilah itu pertama kali terlontar dari Ketua DPD PDI-P Jawa Tengah, yang juga Ketua Pemenangan Pemilu PDI-P Bambang Wuryanto. Pemicunya adalah tindakan Wakil Ketua DPC PDI-P Purworejo Albertus Sumbogo yang awal Oktober lalu mendeklarasikan kelompok relawan pendukung Ganjar untuk maju dalam pencalonan presiden 2024.
Bambang yang dikenal dekat dengan Puan Maharani yang juga putri Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyebut Albertus sebagai kader ”celeng” karena mendahului arahan ketua umum. Menurut dia, tindakan melanggar aturan itu bukanlah sikap kader partai berlogo banteng itu.
Bambang Wuryanto yang dikenal dekat Puan Maharani saat itu menyebut Albertus sebagai kader ’celeng’ karena mendahului arahan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
”Adagium di PDI-P itu, yang di luar barisan bukan banteng. Itu namanya celeng. Jadi, apa pun alasan itu yang deklarasi, kalau di luar barisan, ya, celeng,” ujar Bambang Wuryanto yang akrab disapa Bambang Pacul, seperti dikutip dari Kompas.com.
Untuk meredam suasana, Ganjar tidak mau berkomentar banyak atas hal itu. Kepada wartawan di Semarang, Ganjar hanya memberi komentar singkat terkait ucapan Bambang Pacul kepada Albertus Sumbogo. Ganjar pun menganggap sikap Bambang itu sebagai bentuk peringatan bagi para kader PDI-P untuk tertib. ”Itu mengingatkan agar semua tertib, gitu saja,” ucapnya.
Ungkapan ”celeng” itu membuat iklim politik internal PDI-P kian memanas. Terlebih, sebelumnya, Bambang juga pernah menyinggung Ganjar sebagai kader yang ”kemajon” atau melebihi batas. Hal itu diungkapkannya menyoroti kiprah Ganjar yang dinilai terlalu ambisius menuju kontestasi Pilpres 2024.
Mengenai pemberian kaus bertuliskan ”Banteng Celeng” itu, Rudy mengatakan, hal itu inisiatif kader muda PDI-P. Tidak ada instruksi khusus darinya. Terlebih, selama ini, para kader juga selalu tegak lurus dengan perintah ketua umum partai. Tidak pernah ada bantahan.
”Anak-anak saya itu selalu tegak lurus. Perintahnya ketua umum A kepada DPC, turun ke ranting dan anak ranting, PAC kader sayap partai keluarnya juga A. Tidak ada yang membelok ke sana dan kemari,” tutur Rudy.
Adapun Puan juga sudah lebih dahulu memperoleh dukungan dari beberapa anggota DPD PDI-P, Juni lalu. Menurut catatan Kompas, setidaknya dukungan bagi putri Megawati Soekarnoputri itu di antaranya oleh DPD PDI Perjuangan Sulawesi Utara dan Jawa Timur. Belakangan, beberapa baliho bertuliskan ”Kepak Sayap Kebinekaan” dan menampilkan foto Puan terpampang di berbagai daerah.
Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto mengungkapkan, keputusan penentuan calon presiden dan wakil presiden menjadi kewenangan penuh Megawati. Mandat itu diberikan dalam Kongres V PDI-P di Bali pada 2019. ”Pengumuman akan dilakukan pada momentum yang tepat. Semua memerlukan pertimbangan matang, bukan asal deklarasi. Itulah tata cara melahirkan pemimpin, perlu pertimbangan matang dan jernih,” katanya (Kompas, 16/10/2021).
Tak dimungkiri, Ganjar dan Puan adalah dua sosok yang diisukan kuat bakal maju dalam Pemilihan Presiden 2024. Nama keduanya selalu muncul pada survei elektoral yang dilakukan berbagai lembaga penelitian. Mesti begitu, Ganjar lebih sering memperoleh persentase yang lebih tinggi ketimbang Puan.
Misalnya, pada survei Litbang Kompas, Oktober lalu, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto menjadi dua nama yang elektabilitasnya menduduki peringkat pertama dengan perolehan yang sama, yakni 13,9 persen. Bahkan, elektabilitas Ganjar meningkat pesat. Pada survei yang dilakukan Januari, elektabilitas Ganjar baru mencapai 7 persen.
Sementara itu, elektabilitas yang diperoleh Puan dalam survei tersebut masih di bawah 1 persen. Elektabilitas Puan bahkan kalah dibandingkan kader PDI-P lainnya, Tri Rismaharini, yang elektabilitasnya mencapai 4,9 persen. Persentase yang dimiliki Puan juga masih lebih rendah dibandingkan Gubernur DKI Jakarta periode 2014-2017 Basuki Tjahaja Purnama yang memperoleh 4,9 persen.
Suara akar rumput
Dihubungi terpisah, pengamat politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Wawan Mas’udi, menyampaikan, kemunculan Ganjar dan Puan di peta pencalonan sebagai bentuk cerminan dua arah kepemimpinan yang berbeda. Ganjar mewakili suara akar rumput, sedangkan Puan mewakili kalangan elite politik.
Bentuk suara akar rumput semakin ditunjukkan dengan aksi pemberian kaus bergambar ’Banteng Celeng’. Seolah ada aspirasi politik yang ingin disampaikan ’kader cilik’ lewat tindakan tersebut.
Bentuk suara akar rumput, lanjut Wawan, semakin ditunjukkan dengan aksi pemberian kaus bergambar ”Banteng Celeng”. Seolah ada aspirasi politik yang ingin disampaikan ”kader cilik” lewat tindakan tersebut. Terlebih lagi, aksi tersebut dilakukan dalam acara informal.
”Pertemuan informal justru sering menjadi cerminan keresahan yang muncul di bawah (akar rumput). Karena memang menjadi acara milik rakyat, acara milik akar rumput. Sering kali, rakyat punya logikanya sendiri dan berbeda dengan logika elite,” kata Wawan.
Namun, Menurut Wawan, kultur politik di Indonesia masih mendudukkan kepemimpinan partai politik sebagai penentu proses kandidasi. Sosok yang akan maju dalam pencalonan pun kembali lagi pada keputusan ketua umum partai politik. Di sisi lain, suara akar rumput hendaknya tak diabaikan mengingat kepemimpinan yang baik harus menjadi cerminan kehendak masyarakat.
”Tinggal sekarang seperti apa PDI Perjuangan memutuskan trajectory (jalur) kepemimpinan yang akan dipilih. Apakah dari kalangan elite dengan kelemahannya tak mendapat dukungan akar rumput? Atau mendengar suara akar rumput lalu membawanya dari bawah ke elite?” tutur Wawan.
Lewat kaus ”Banteng Celeng”, sejumlah kader muda PDI-P di Surakarta tak saja ingin menyuarakan aspirasi, tetapi juga menyelipkan kritik kepada para elite politik yang dinilai eksklusif. Betapapun, publik berharap riak-riak di tubuh internal partai tak meruncing menjadi konflik menjelang kontestasi pilpres.