Untuk penguatan peran dan kewenangan, jaksa agung perlu dipilih melalui seleksi. Tak seperti sekarang di mana Presiden memiliki hak prerogratif menentukan siapa yang akan menjabat jaksa agung.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan masyarakat sipil mengusulkan agar jaksa agung tidak lagi dipilih presiden sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, melainkan oleh tim seleksi yang bersifat independen. Syarat jaksa agung juga didorong untuk terbuka dan tidak terbatas hanya dari kalangan jaksa karier sebagaimana diusulkan di dalam draf Rancangan Undang-Undang Kejaksaan.
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, untuk penguatan peran dan kewenangan jaksa agung, sebuah mekanisme seleksi atau pemilihan perlu dilakukan dengan melibatkan banyak pihak. Tidak seperti sekarang, yakni presiden memiliki hak prerogratif untuk menentukan serta menunjuk jaksa agung.
”Konteks mekanisme ini harus dipastikan terbangun dalam prosedur yang akuntabel dan partisipatif. Tidak hanya presiden mengajukan calonnya. Dalam seleksi jaksa agung, kami usulkan ada tim indepenen yag dikhususkan untuk melihat calon terbaik, potensial, yang disesuaikan dengan kebutuhan kejaksaan itu sendiri,” kata Fajri saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR dalam rangka penyerapan masukan dari publik atas draf RUU Kejaksaan, Rabu (17/11/2021), di Jakarta.
Menurut Fajri, draf RUU Kejaksaan yang ada sekarang juga perlu diubah sehingga mekanisme pemilihan jaksa agung itu lebih partisipatif. Masa jabatan jaksa agung itu pun tidak perlu terbatas lima tahun, atau mengikuti masa berakhirnya kabinet, sebagaimana diatur di dalam draf RUU Kejaksaan.
Pada praktiknya, dengan mengikuti ketentuan UU No 16/2004 tentang Kejaksaan, masa jabatan jaksa agung selama ini juga mengikuti masa pemerintahan presiden yang berkuasa. Di dalam draf RUU Kejaksaan, ketentuan ini ditegaskan kembali di dalam Pasal 22 Ayat (1) huruf d yang menyatakan, ”Jaksa Agung diberhentikan dari jabatannya karena: d. berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet.”
PSHK juga mengusulkan agar Pasal 22 Ayat (1) huruf e yang menyatakan, ”Jaksa Agung diberhentikan dari jabatannya karena: e. diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan,” agar dihapus. Sebab, dengan pemilihan melalui mekanisme seleksi yang independen, seharusnya jaksa agung dapat diberhentikan jika ia terbukti melanggar hukum atau kode etik, dan tidak semata-mata karena diberhentikan oleh presiden.
Dengan seleksi yang independen, menurut Fajri, hal ini akan membawa dampak pada keterbukaan calon dari berbagai latar belakang. Artinya, jaksa agung tidak harus berlatar belakang jaksa, atau pernah mengenyam pendidikan jaksa, sebagaimana diatur di dalam Pasal 20 huruf j RUU Kejaksaan. Pasal itu mensyaratkan seorang jaksa agung harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa. Syarat itu dinilai menutup kesempatan jaksa agung dari kalangan di luar jaksa.
Isu mengenai latar belakang jaksa agung, atau apakah dia berasal dari jaksa karir atau bukan, tidak lagi menjadi relevan dengan mekanisme seleksi yang melibatkan tim seleksi independen.
”Jaksa agung harus lengkap, bukan hanya keterampilan di bidang penegakan hukum, tetapi juga kepemimpinan, pengalaman, dan tentu harus dibatasi dengan konteks batasan yang legal untuk menjamin independensinya,” kata Fajri.
Usulan dari PSHK ini berbeda dengan masukan yang diberikan Komisi Kejaksaan. Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengatakan, komisinya sependapat dengan draf RUU Kejaksaan yang menyebutkan agar seorang jaksa agung harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.
”Jaksa agung harus memiliki kompetensi managerial yang telah teruji dan sebaiknya dari kalangan internal kejaksaan sehingga memiliki pemahaman yang baik terhadap kultur, karakteristik, organisasi, dan tata kerja serta peraturan-peraturan internal di kejaksaan,” kata Barita.
Berkaca dari institusi lain, seperti TNI dan Polri, pimpinan tertinggi masing-masing institusi, yakni Panglima TNI dan Kepala Polri, berasal dari internal lembaga. Hal ini dipandang dapat pula dilakukan di kejaksaan. Sebab, mereka yang berangkat dari kalangan internal telah memahami sejak dini akan karakteristik dan budaya organisasi tersebut.
Barita juga mendukung jika jaksa dikecualikan dari status aparatur sipil negara (ASN). Ia mendorong agar ada dua status kepegawaian di kejaksaan, sebagaimana juga berlaku di kepolisian, sehingga nantinya ada jaksa dan PNS.
Menurut Barita, dengan masih dimasukkannya jaksa sebagai ASN, ada kendala yang dihadapi dalam pemenuhan sumber daya manusia di kejaksaan. Sebab, ketika ada moratorium pengangkatan ASN, rekrutmen jaksa juga menjadi terkendala. Akibatnya, kejaksaan tidak dapat leluasa mengangkat jaksa-jaksa baru untuk memenuhi kebutuhan lembaga dan penegakan hukum.
Serap masukan
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kejaksaan Adies Kadir mengatakan, dalam pembahasan draf RUU Kejaksaan, komisinya masih menjaring masukan dari berbagai pihak, seperti akademisi dan masyarakat sipil. Perdebatan mengenai apakah jaksa agung harus dari kalangan jaksa atau boleh di luar jaksa, serta mekanisme pemilihannya, itu akan dibahas mendalam saat rapat-rapat panja antara DPR dan pemerintah.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Johan Budi, mengatakan, dirinya sependapat dengan usulan PSHK agar mekanisme pemilihan jaksa agung dilakukan oleh tim seleksi independen. Tim seleksi itulah yang nantinya melacak dan mendalami calon-calon jaksa agung.
”Kalau perlu itu nanti calonnya disampaikan kepada publik dan ’dikuliti’ seperti saat memilih pimpinan KPK dulu, kalau memang jaksa agung tidak dipilih dari jaksa. Tetapi, kalau jaksa agung dari jaksa karier, ya jaksa agung harus pensiun di usia 58,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, sebaiknya jaksa agung tidak dibatasi dari kalangan jaksa. Dalam sejarahnya, Indonesia memiliki jaksa agung yang bagus dari kalangan di luar jaksa, seperti Abdul Rahman Saleh dan Marzuki Darusman. Indonesia juga punya jaksa agung yang bagus dari jaksa karier, seperti Baharuddin Lopa. Baik jaksa karir maupun bukan, menurut Arsul, bisa sama-sama memiliki kompetensi untuk memimpin Kejaksaan Agung.
”Kompetensi jaksa agung itu tidak ditentukan dari mana dia berasal, tetapi bagaimana dia komitmen dalam menjalankan tugas-tugas penegakan hukum. Jadi sebaiknya hak prerogratif presiden untuk memilih jaksa agung tidak dibatasi,” katanya.
Sementara itu, Koodinator Masyarakat Antikorupsi Boyamin Saiman mengatakan, sebaiknya calon jaksa agung juga diuji kelayakan dan kepatutan di DPR. Mekanisme itu sama dengan prosedur yang ditempuh dalam pemilihan Panglima TNI dan Kapolri.
”Dalam rezim pemerintahan sekarang sebaiknya dipilih oleh DPR, seperti Panglima TNI dan Kapolri saja sekalian, agar ada pertanggungjawaban politik. Kalau sekarang, kan, dipilih langsung oleh presiden. Supaya tidak menjadi eksekutif murni, masukkan saja ketentuan DPR ikut memilih jaksa agung, seperti Panglima TNI dan Kapolri,” katanya.
Namun, menurut Boyamin, sebaiknya syarat dasar yang mesti dipenuhi seorang calon jaksa agung ialah dia lulusan strata 1 bidang hukum.
Hadir pula dalam RDPU itu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso dan Syahar Banu dari Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).