Aturan lebih mendetail soal penyadapan akan diatur di RUU Penyadapan. Putusan Mahkamah Konstitus pun telah mengamanatkan agar hal-hal terkait penyadapan diatur di UU tersendiri.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat tengah menyiapkan draf dan naskah akademik mengenai Rancangan Undang-Undang atau RUU Penyadapan. Oleh karena itu, pengaturan mengenai penyadapan yang saat ini juga dicantumkan di dalam draf RUU Kejaksaan sebaiknya tidak terlalu mendetil dan tetap mengacu pada UU Penyadapan yang akan dibentuk.
Di sisi lain, pengaturan mengenai penyadapan di dalam RUU Kejaksaan juga berpotensi menimbulkan polemik karena membuka celah penggunaan penyadapan untuk menjamin ketertiban umum. Adapun penyadapan seharusnya hanya boleh digunakan dalam upaya penegakan hukum.
Aturan soal kewenangan penyadapan kejaksaan dimaksud, diatur di Pasal 30 RUU Kejaksaan. Pasal itu menyebutkan, kejaksaan memiliki kewenangan penyadapan yang dilaksanakan dalam rangka penegakan hukum sebagaimana diatur dalam UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan penyelenggaraan pusat pemantauan di bidang tindak pidana. Bunyi norma ini telah direvisi dari sebelumnya menyebutkan, kewenangan penyadapan dilakukan kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, draf pengaturan mengenai penyadapan di RUU Kejaksaan bisa menjadi pintu masuk saja dalam pembahasan lebih mendalam mengenai bagaimana kewenangan itu diatur.
”Itu hanya pintu masuk saja. Tetapi tidak tertutup kemungkinan dalam pembahasan itu akan kami tegaskan bahwa tata cara kewenangan penyadapan itu harus mengacu pada UU yang mengatur tentang penyadapan. Dan kewenangan penyadapan yang dilakukan adalah dalam rangka pro justitia (penegakan hukum). Tidak bisa ketertiban umum, apalagi intelijen,” ucapnya, Selasa (16/11/2021) di Jakarta.
Arsul mengatakan, penyadapan adalah perbuatan yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Pelanggaran HAM hanya bisa dilegalisasi dengan ketentuan UU. ”Tidak bisa katakanlah diatur dengan peraturan lembaga itu sendiri, baik peraturan KPK, kepolisian, maupun kejaksaan,” ujarnya.
Arsul mengatakan, DPR sedang menyiapkan naskah akademik dan draf RUU Penyadapan. Publik pada waktunya akan diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan terhadap draf RUU Penyadapan.
RUU Kejaksaan, lanjut Arsul, merupakan RUU yang mengatur kelembagaan, bukan RUU tentang hukum acara. Karena itu, ketentuan mengenai penyadapan yang saat ini juga diatur di dalam draf RUU Kejaksaan dapat diatur lebih detail di dalam RUU Penyadapan atau dimasukkan ke dalam bab tersendiri di dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ”Kecenderungan DPR saat ini ialah mengatur penyadapan ini di dalam UU tersendiri. Karena itulah, di Prolegnas Prioritas ada RUU Penyadapan,” tambahnya.
Poin-poin penting yang krusial diatur di dalam RUU Kejaksaan, lanjut Arsul, antara lain ialah optimalisasi dan penyempurnaan pengaturan tentang peran dan tugas kejaksaan yang belum diatur atau belum sempurna di UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Salah satunya ialah menegaskan kembali rumusan yang lebih baik mengenai jaksa agung sebagai pengacara negara.
Hal lainnya terkait dengan perkembangan kebutuhan untuk sumber daya kejaksaan yang lebih baik ke depan. Termasuk syarat-syarat menajdi jaksa. Fraksi PPP, antara lain, mendorong agar pengaturan soal syarat menjadi jaksa agung itu tidak dibatasi hanya dari jaksa karier. Sebab, penentuan jaksa agung merupakan hak prerogratif presiden. ”Hak prerogratif presiden jangan dibatasi,” ujarnya.
Batasi penyadapan
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, pengaturan norma penyadapan di dalam draf RUU Kejaksaan masih terlalu luas. Pengertian mengenai pusat pemonitoran atau pemantauan di bidang tindak pidana juga masih terlalu luas dan perlu diperjelas lagi dalam kewenangan penyadapan kejaksaan.
Penyadapan adalah pelangggaran privasi dan menjadi bagian dari pelanggaran HAM. Oleh karena itu, penggunaan kewenangan itu haruslah limitatif, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan.
”Kewenangan penyadapan itu tidak boleh sembarangan. Jika kewenangan penyadapan itu diberikan negara, dia harus dalam kerangka penegakan hukum. Di luar alur itu tidak boleh, karena itu melanggar HAM,” ujarnya.
Di dalam kerja penegakan hukum pun, menurut Basari, penyadapan itu hanya dilakukan terkait dengan tujuan penyidikan. ”Kalau orang disadap terkait dengan tindak pidana tertentu, hanya materi yang berhubungan dengan tindak pidana itulah yang dipakai dalam penegakan hukum. Tetapi untuk materi penyadapan lain yang tidak terkait, tidak boleh diungkap atau dipertimbangkan,” kata Basari.
Kalaupun ketentuan mengenai penyadapan itu akan diatur dalam RUU Kejaksaan, sebaiknya tidak diatur mendetail. Sebab, telah ada rencana untuk membentuk RUU Penyadapan. ”Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, penyadapan itu harus diatur dalam UU tersendiri secara khusus. Kalau belum ada UU Penyadapan, sebaiknya kewenangan itu tidak perlu diatur eksplisit,” katanya.
Pengaturan terbatas mengenai penyadapan di RUU Kejaksaan itu pun, menurut Basari, sebaiknya disepakati untuk merujuk pada UU Penyadapan yang akan dibentuk.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Akhiar Salmi, mengatakan, perumusan norma mengenai penyadapan di dalam RUU Kejaksaan sebaiknya tidak lagi memicu hadirnya pasal karet.
”Penyadapan itu harus dilakukan dengan pengaturan yang jelas. Jangan sampai muncul lagi pasal karet dan menyebabkan kekuasaan itu bisa masuk melalui kewenangan-kewenangan yang tidak diatur secara jelas,” katanya.
Akhiar menegaskan, kewenangan penyadapan hanya dapat digunakan dalam kepentingan penegakan hukum.