Kejaksaan Bentuk Tim Khusus Berantas Mafia Tanah dan Pelabuhan
Jaksa Agung Sianitar Burhanuddin memerintahkan seluruh kepala Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri untuk membentuk tim khusus pemberantasan mafia tanah dan mafia pelabuhan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung memberikan perhatian khusus pada persoalan mafia tanah dan juga mafia pelabuhan. Kepala kejaksaan di semua tingkatan diminta untuk membentuk tim khusus pemberantasan mafia tanah dan mafia pelabuhan yang merupakan gabungan bidang pidana umum, pidana khusus, dan intelijen.
Melalui keterangan tertulis, Minggu (14/11/2021), Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan, salah satu kebijakan pemerintah saat ini adalah pemberantasan mafia tanah. Sebab, selain menghambat pembangunan, aktivitas mereka telah memicu terjadinya konflik sosial.
”Bahkan disinyalir, mafia tanah telah membangun jejaring yang merajalela pada lembaga-lembaga pemerintah,” kata Burhanuddin.
Modus yang kerap dilakukan mafia tanah adalah penggunaan surat hak tanah yang dipalsukan, pemalsuan warkah, pemalsuan surat, dan keterangan palsu. Modus lainnya adalah melakukan jual beli fiktif, penipuan atau penggelapan, sewa menyewa, menggugat kepemilikan tanah, atau menguasai tanah melalui preman.
Mafia tanah juga merajalela lantaran masih ada celah yang bisa dimanfaatkan. Salah satunya administrasi pertanahan di tingkat pusat dan desa yang belum terintegrasi. Selain itu, juga belum selesainya proses pendaftaran tanah sehingga masih dibuka penggunaan tanda bukti hak atas tanah yang ada sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Celah lainnya adalah tidak segera dilakukannnya tindakan administratif terhadap tanah yang haknya berakhir dan adanya sertifikat ganda yang saling tumpang tindih.
Menurut Burhanuddin, administrasi pertanahan yang belum terintegrasi merupakan peluang bagi mafia tanah untuk menjalankan aksinya melalui penggunaan berbagai alat bukti dari sumber administrasi yang berbeda-beda. Bukan tidak mungkin hal itu dilakukan karena adanya ”kongkalikong” bersama oknum pejabat, penegak hukum, dan ketua adat.
Oleh karena itu, Burhanuddin meminta para kepala Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri untuk membentuk tim khusus yang anggotanya merupakan gabungan jajaran intelijen, pidana umum, dan pidana khusus untuk menanggulangi dan memberantas mafia tanah.
”Cermati betul setiap sengketa tanah yang terjadi di wilayah hukum saudara adalah murni sengketa tanah antar warga, bukan dilatarbelakangi atau digerakkan oleh para mafia tanah yang bekerja sama dengan pejabat tertentu,” ujar Burhanuddin.
Burhanuddin pun mengingatkan jajarannya untuk tidak terlibat atau menjadi bagian dari mafia tanah. Untuk itu, ia berharap masyarakat untuk tidak segan melaporkan setiap adanya dugaan mafia tanah melalui nomor pengaduan 081914150227.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika mengapresiasi rencana Jaksa Agung untuk menganalisis dan menginvestigasi kasus-kasus agraria yang diduga terkait mafia tanah. Sebab, kasus agraria yang kemudian menimbulkan konflik sulit diselesaikan, termasuk secara administratif.
”Kerja mafia tanah itu mau tidak mau harus diakui juga melibatkan oknum di birokrasi, termasuk aparat penegak hukum,” kata Dewi.
Menurut Dewi, adanya oknum birokrasi maupun penegak hukum tersebut merupakan tantangan besar bagi kejaksaan untuk mengurai kasus-kasus agraria. Sementara, selama ini data mengenai pertanahan, seperti untuk lahan hak guna usaha (HGU) yang telah habis masanya tidak pernah dibuka. Belum lagi ketika mafia tanah menggunakan cara-cara legal, seperti pengadilan, untuk bisa menguasai suatu lahan.
Kerja mafia tanah itu mau tidak mau harus diakui juga melibatkan oknum di birokrasi, termasuk aparat penegak hukum.
Jika kejaksaan memang serius ingin membongkar mafia tanah, kata Dewi, kejaksaan perlu bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan kementerian terkait untuk mengurai permasalahan ini. Masyarakat pun juga berharap besar agar perkara mafia tanah dapat terurai dan hukum dapat ditegakkan.
Sementara itu, Kompas mengonfirmasi persoalan mafia tanah tersebut kepada Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Surya Tjandra dan Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN Himawan Arief Sugoto. Namun, keduanya tidak merespons.
Mafia pelabuhan
Selain mafia tanah, Burhanuddin juga memerintahkan jajaran kejaksaan yang di wilayahnya terdapat pelabuhan agar segera bergerak melakukan operasi intelijen dalam rangka pemberantasan mafia pelabuhan. Hal itu merupakan tindak lanjut dari upaya pemerintah untuk memangkas biaya logistik, khususnya di pelabuhan.
Menurut Burhanuddin, tingginya biaya logistik di pelabuhan diakibatkan sistem bongkar muat yang tidak efisien. Kondisi itu semakin keruh karena adanya mafia pelabuhan.
”Pemerintah pusat meminta kepada kita untuk memonitor dan menindak tegas para mafia pelabuhan. Tindak tegas jika ada indikasi oknum aparat yang terlibat dan menjadi mem-backing para mafia pelabuhan,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam webinar ”Memangkas Waktu dan Biaya di Pelabuhan” yang diselenggarakan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, masih ditemukan sistem yang tumpang tindih di pelabuhan yang dapat menjadi sumber korupsi dan inefisiensi. Selain itu, terdapat data yang tidak transparan dan terjadi penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan potensi kerugian negara.
Dalam kesempatan itu, Luhut meminta para penegak hukum, yakni KPK, kejaksaan, dan kepolisian, untuk membentuk gugus tugas untuk melakukan penegakan hukum. Sebab, mereka yang menyalahgunakan wewenang itu semakin merusak sistem yang telah coba dibangun selama ini.
Secara terpisah, Ketua Supply Chain Indonesia Setijadi mengatakan, mafia pelabuhan menjadi salah satu hambatan dalam menciptakan pelabuhan yang efisien. Suatu pelabuhan disebut tidak efisien ketika waktu yang dihabiskan kapal di pelabuhan semakin lama atau panjang.
Sebagai perbandingan, rata-rata waktu yang dihabiskan kapal berbagai jenis barang di pelabuhan di Indonesia selama 1,62 hari, lebih lama daripada Singapura selama 0,91 hari, Thailand 1,32 hari, dan Malaysia 1,42 hari. Sementara, biaya biaya kepelabuhanan memerlukan sekitar 30 persen dari biaya transportasi hingga ke tujuan akhir.
Menurut Setijadi, sebenarnya prosedur operasi standar di pelabuhan telah diatur secara baik. Namun, di sisi lain, penegakan hukum terhadap suatu pelanggaran masih lemah yang mengakibatkan penyimpangan atau penyelewengan terus terjadi.
Oleh karena itu, perhatian dari aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan dapat meminimalkan penyimpangan tersebut. Semisal, terkait adanya pungutan liar (pungli), Setijadi berharap agar razia atau pemberantasan pungli tersebut tidak hanya dilakukan sesaat saja, tetapi berkelanjutan.
”Jangan hanya bertindak reaktif ketika ada sesuatu atau perintah saja, tetapi harus diwujudkan dalam sistem yang dapat terus-menerus dijalankan,” kata Setijadi.