Kasus Pertanahan yang Libatkan Mafia Tanah bak Fenomena Gunung Es
Pemerintah mengakui mafia tanah ”beroperasi” di hampir seluruh Indonesia serta melibatkan oknum penegak hukum dan pejabat publik. ”Yang kelihatan sedikit, tapi di bawahnya luar biasa,” ujar Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil.
Oleh
Susana Rita
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Agraria, Tata Ruang, dan Badan Pertanahan Nasional atau ATR/BPN tengah perang besar-besaran dengan mafia tanah. Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil mengajak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk memerangi mafia tanah, terutama ketika mereka berkolaborasi dengan para mafia peradilan. Dengan demikian, badan peradilan dapat memberikan rasa keadilan bagi pihak yang bersengketa dengan mafia tersebut.
Hal tersebut menjadi penting mengingat kasus sengketa tanah saat ini kian banyak dan terjadi hampir di seluruh Indonesia. Praktik tersebut juga melibatkan banyak kalangan, seperti birokrasi, penegak hukum, dan pejabat publik.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, saat ini praktik-praktik mafia tanah sudah melibatkan berbagai pihak, mulai dari hulu hingga hilir, termasuk di dalamnya oknum pengadilan, baik hakim ataupun panitera. Komisi Yudisial (KY) selaku pengawas eksternal hakim memiliki peran yang strategis ketika mafia tanah tersebut ”beroperasi” di pengadilan. Bersama dengan Mahkamah Agung (MA), KY dapat mengawasi proses pemeriksaan perkara di pengadilan agar lembaga tersebut bekerja secara optimal.
”KY dan MA dapat membangun kerja sama dan kemitraan strategis dalam memetakan kasus pertanahan yang berjalan di pengadilan, juga untuk mengurai modus-modus dan praktik mafia tanah, serta mengawasi hakim yang menangani perkara-perkara di bidang tanah,” kata Mahfud saat memberikan pidato kunci dalam seminar tentang pertanahan yang diselenggarakan Komisi Yudisial, Kamis (7/10/2021).
Hadir dalam acara tersebut, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, Hakim Agung Pri Pambudi Teguh, ahli hukum agraria Universitas Gadjah Mada Maria SW Sumardjono, dan Sukma Violetta, salah satu komisioner KY.
Menurut Sofyan Djalil, kasus pertanahan yang melibatkan mafia terjadi hampir di seluruh Indonesia. Persoalan ini mirip dengan fenomena gunung es. ”Yang kelihatan sedikit, tetapi di bawahnya luar biasa,” katanya.
Ia mengakui, mafia tanah tersebut terkadang bekerja sama dengan oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN). Terkait dengan hal itu, pihaknya kini menggencarkan program pembersihan internal dengan menindak tegas oknum-oknum yang bermain-main dalam persoalan tanah. Pemecatan mengintai oknum BPN yang terbukti melakukan pelanggaran.
Dalam paparannya, Sofyan mengungkapkan sejumlah permasalahan terkait putusan pengadilan dalam kasus pertanahan. Di antaranya, putusan yang tumpang tindih atau berlawanan, padahal masing-masing sudah berkekuatan hukum tetap, obyek sengketa dikuasai oleh pihak yang tidak ikut menjadi pihak beperkara, amar putusan yang tidak jelas, batas obyek tidak jelas, obyek yang sama menjadi obyek dalam perkara baru, perbedaan pengertian tanah negara, lokasi tanah obyek gugatan berbeda dengan tanah yang diterbitkan sertifikat yang dimohonkan pembatalan, alas hak palsu yang dapat memenangkan perkara hingga inkrah, amar putusan yang tidak dapat dieksekusi, dan lainnya.
Selain itu, mencari legalitas atas kepemilikan tanah di pengadilan melalui rekayasa perkara juga menjadi salah satu modus kejahatan di bidang pertanahan.
Sofyan Djalil mengungkapkan, mafia tanah tersebut dapat menggunakan girik palsu untuk menggugat tanah yang sudah bersertifikat. Karena mafia tanah itu memiliki jaringan di pengadilan, akhirnya mereka dapat memenangi perkara.
”Kasusnya (yang melibatkan mafia tanah) terjadi di seluruh Indonesia. Semakin harga tanah mahal, operasi mafia itu menjadi lebih intensif. Di Medan, dua tahun lalu, ditangkap salah satu tokoh mafianya. Dibawa ke pengadilan. Di pengadilan, dia menyuap hakim. KPK menangkap semua hakimnya. Tokoh ini untouchable sekian lama,” tutur Sofyan.
Pri Pambudi Teguh pun menyatakan, gambaran mengenai sengkarut persoalan mafia tanah yang disampaikan Mahfud dan Sofyan Djalil memang benar adanya. Sebagai hakim, dalam menghadapi kondisi tersebut, ia mengambil sikap afirmatif dalam arti memberikan peluang seluas-luasnya untuk memperoleh kesetaraan hak dalam rangka mencapai keadilan.
”Di meja saya ada 30 berkas (perkara), begitu dibuka, saya merasakan ada mafia tanah di situ. Itu masalah feeling saja. Apa benar atau tidak, terkadang minta bantuan teman-teman asisten untuk duduk sama-sama membaca. Begitu dibaca, itu baunya mafia,” ujarnya.
Dalam memutus perkara sengketa tanah, menurut dia, MA tidak memberi regulasi tertentu kecuali Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terkait Ganti Kerugian atas Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan. Peraturan itulah yang selama ini menjadi pedoman.
Pengaduan masyarakat
Terkait masalah pertanahan, menurut Sukma, KY menerima pengaduan sebanyak 119 laporan pada periode 2019 hingga 2021, baik terkait proses pemeriksaan perkara maupun pelaksanaan putusan atau eksekusi. Laporan terbanyak berasal dari wilayah DKI Jakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.
Berdasarkan laporan yang masuk ke KY, Sukma mencatat ada beberapa tipologi perkara pertanahan yang dilaporkan ke KY. Masalah penguasaan tanah tanpa hak menjadi kasus yang paling banyak diadukan (50 persen). Setelah itu, keberatan atas proses dan putusan pengadilan mencapai 25 persen, disusul sengketa waris 19 persen, dan sertifikat ganda 6 persen.
Menurut Sukma, KY memiliki dua peran dalam pengawasan hakim dalam menangani perkara tanah. Di antaranya, pencegahan yang dilakukan dengan pemantauan jalannya persidangan dan penanganan pengaduan masyarakat. Pemantauan dilakukan untuk membantu pencari keadilan mendapatkan akses persidangan yang adil dan tidak memihak.
Sementara itu, Maria SW Sumardjono mengungkapkan, ada pekerjaan rumah yang perlu dilakukan, termasuk di antaranya adalah menambah wawasan dan pengetahuan hakim di bidang pertahanan. Menurut dia, hakim masih perlu mendalami hukum pertanahan. Sebab, hakim umumnya generalis dan memang tidak diproyeksikan untuk mendalami bidang tertentu (menjadi spesialis) karena hakim wajib memeriksa semua perkara yang diajukan ke pengadilan.
Situasi ini terkadang membuat hakim ”pasrah” mengikuti pihak beperkara yang lebih cakap dalam berargumentasi. Terlepas putusannya obyektif dan adil ataukah tidak, hakim model seperti ini akan berpikiran bahwa para pihak dapat mengajukan upaya hukum banding ataupun kasasi.
Maria juga mengungkapkan tentang adanya hakim yang kurang tepat dalam memahami antara bukti kepemilikan di luar sertifikat dan bukti penguasaan tanah. Ini misalnya dalam kasus grondkaart yang oleh sebagian hakim dipahami sebagai bukti kepemilikan, padahal statusnya sebatas bukti penguasaan. Silang sengkarut tersebut dapat berdampak pada upaya penertiban aset.