Eks Dirut PT Pelindo II RJ Lino Dituntut 6 Tahun Penjara
Kepada majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, jaksa pada KPK menuntut agar bekas Dirut PT Pelindo II RJ Lino dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino dituntut 6 tahun penjara dalam perkara dugaan korupsi pengadaan dan pemeliharaan crane untuk sejumlah pelabuhan. Tim jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi meyakini Lino telah menyalahgunakan kewenangan dalam pengadaan dan pemeliharaan tiga unit Quayside Container Crane dan memperkaya perusahaan Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Techonology Group Co Ltd China sekitar 1,99 juta dollar AS.
Tuntutan itu tersebut dibacakan oleh tim jaksa KPK di dalam sidang tuntutan dengan terdakwa RJ Lino, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (11/11/2021). Hadir sebagai jaksa, Ariawan Agustiartono, Nur Haris Arhadi, Yoga Pratomo, Wawan Yunarwanto, NN Gina Saraswati, Riniyati Karnasih, dan Meyer Volmar Simanjuntak.
Dalam kesimpulan tuntutan, tim jaksa KPK meminta kepada majelis hakim agar menjatuhkan pidana terhadap Lino berupa pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
”Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian keuangan yang besar bagi PT Pelindo II,” ujar Ariawan, membacakan salah satu hal yang memberatkan tuntutan Lino.
Jaksa juga meminta majelis hakim agar membebankan pembayaran uang pengganti kepada perusahaan Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Techonology Group Co Ltd China (HDHM) sekitar 1,99 juta dollar AS.
Tim jaksa KPK menyimpulkan, Lino telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dalam proses pengadaan tiga unit Quayside Container Crane (QCC).
Menyalahgunakan kewenangan
Dalam pembacaan tuntutan tersebut, tim jaksa KPK menyimpulkan, Lino telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dalam proses pengadaan tiga unit Quayside Container Crane (QCC).
Penyalahgunaan kewenangan itu di antaranya Lino telah memberikan perlakuan istimewa kepada perusahaan HDHM selaku calon penyedia barang di PT Pelindo II agar perusahaan tersebut dapat menyiapkan penawaran pada proses pengadaan QCC di tiga pelabuhan, yakni Pelabuhan Pontianak (Kalimantan Barat), Palembang (Sumatera Selatan), dan Panjang (Lampung).
Lino juga telah menyalahgunakan kewenangan dengan mengintervensi proses pengadaan QCC di tiga pelabuhan itu dengan melakukan penunjukan langsung kepada perusahaan HDHM meski tidak sesuai dengan prosedur pengadaan barang dan jasa.
Lebih lanjut, jaksa menyampaikan, Lino tidak beritikad baik dan menyalahgunakan kewenangan dengan memerintahkan penandatanganan kontrak antara PT Pelindo II dan HDHM. Padahal, proses pengadaan masih berjalan dan belum berakhir.
Lino menyalahgunakan kewenangan dengan tetap membayar kepada perusahaan HDHM senilai total 15,16 juta dollar AS meski prosedur pengadaan barang dan jasa yang dilakukan salah. Lebih dari itu, perusahaan tersebut juga belum melakukan seluruh kewajibannya, yaitu belum melakukan overload test atau safe working load 61 ton.
Padahal, berdasarkan hasil perhitungan kerugian keuangan negara dalam pengadaan QCC tahun 2010 beserta jasa pemeliharaannya pada PT Pelabuhan Indonesia II yang dilakukan oleh Unit Forensik Akunting KPK, diperoleh fakta hukum bahwa jumlah biaya atas pelaksanaan khusus untuk pengadaan tiga unit QCC tahun 2010 pada PT Pelabuhan Indonesia II yaitu 12,55 juta dollar AS. Itu artinya terjadi kemahalan harga karena pembelian tiga unit QCC Twinlift dari HDHM sebesar 1,97 juta dollar AS.
Di samping itu, sesuai fakta di persidangan, terkait jasa pemeliharaan tiga unit QCC Twinflift, terbukti HDHM telah melakukan subkontrak kepada PT Jayatech Putra Perkasa. Dalam subkontrak tersebut, HDHM tidak pernah memperoleh atau mengajukan izin kepada pihak PT Pelindo II untuk melakukan pekerjaan subkontrak.
Berdasarkan hasil pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara atas pengadaan QCC tahun 2010 pada PT Pelabuhan Indonesia II dan instansi terkait lainnnya di Jakarta, Lampung, Palembang, dan Pontianak, yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tertanggal 14 Oktober 2020, telah terjadi kerugian keuangan negara dalam jasa pemeliharaan tiga unit QCC sebesar 22.828,94 dollar AS.
Adapun berdasarkan dua uraian tersebut, keseluruhan kerugian keuangan negara dari pengadaan dan pemeliharaan tiga unit QCC itu mencapai 1,99 juta dollar AS.
Terhadap tuntutan jaksa, Lino akan mengajukan nota pembelaan, begitu pula penasihat hukumnya. Sidang ditunda hingga Kamis (18/11/2021) pekan depan untuk mendengarkan nota pembelaan Lino.
Di samping itu, sesuai fakta di persidangan, terkait jasa pemeliharaan tiga unit QCC Twinflift, terbukti HDHM telah melakukan subkontrak kepada PT Jayatech Putra Perkasa.
Penyisipan barang bukti
Sebelum sidang berakhir, tim jaksa mempersoalkan kuasa hukum terdakwa yang telah menyisipkan barang bukti di luar persidangan. Itu terjadi pada saat proses pemeriksaan berkas perkara atau inzage.
Ariawan menyampaikan, pada saat inzage, Rabu (10/11/2021), tim jaksa melihat pihak penasihat hukum menyisipkan surat pengantar dari pihak Pelindo II untuk saksi yang meringankan (a de charge) atas nama David Pandapotan Sirait. Padahal, sebelumnya surat pengantar itu tidak ada.
”Jadi, kami melihat ada penyisipan bukti oleh penasihat hukum di luar persidangan,” kata Ariawan.
Tak hanya itu, penyisipan barang bukti juga terjadi untuk saksi meringankan atas nama Bunyamin Sukur. Pada saat persidangan, tidak ada barang bukti atas nama saksi tersebut. Namun, tiba-tiba, pada saat inzage, terdapat barang bukti atas nama saksi tersebut.
Terhadap hal itu, penasihat hukum menyerahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menilai. Sesaat kemudian, majelis hakim dibisiki oleh panitera pengganti. Kemudian, Ketua Majelis Hakim Rosmina menyampaikan, ”Dari Buyamin Sukur ini tidak mengajukan bukti. Nanti kami akan periksa lagi semuanya, ya.”
Dalam kesempatan itu, Rosmina juga tiba-tiba mengingatkan kepada seluruh pihak, baik jaksa KPK, penasihat hukum, maupun terdakwa, agar tidak mencoba mendekati majelis hakim ataupun panitera pengganti. Menurut dia, upaya itu selalu dicoba oleh pihak-pihak di perkara lain. Namun, ia tidak ingin itu terjadi di dalam perkara ini.
”Kami juga manusia, kalau terus digoyang, kami bisa marah atau kami jatuh. Marahnya kami, kami bisa mengabaikan atau kami jatuh. Kami mohon dari semua pihak, tolong kami dijaga. Sampai saat ini kami masih kuat untuk mengatakan tidak. Jadi, kami mohon bantuannya, baik hakim, maupun panitera pengganti, tolong jangan diganggu. Kami akan berupaya semaksimal mungkin, sesuai dengan pengetahuan kami, sesuai dengan hati kami, untuk memutuskan perkara ini,” ucap Rosmina.