Urgensi Wacana Perpanjangan Usia Pensiun TNI Harus Jelas
”Ini kan dilantik saja belum menjadi Panglima TNI. Jadi nanti dululah biar dilantik dulu, lalu kita lihat bagaimana perkembangannya. Jangan buru-buru mau perpanjang usia pensiun,” kata anggota Komisi I DPR, Dave Laksono.
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana yang berkembang di sebagian anggota DPR untuk memperpanjang usia pensiun Jenderal Andika Perkasa harus didasari urgensi yang jelas. Sebab, perpanjangan usia pensiun itu akan berdampak pada postur organisasi dan menimbulkan dampak bagi soliditas TNI ke depan.
Sebelumnya, wacana perpanjangan usia pensiun itu dikemukakan Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari. Menurut Kharis, dengan kompetensi yang dimiliki, Andika yang baru saja disetujui DPR menjadi Panglima TNI dapat diperpanjang usia pensiunnya. Jika menurut ketentuan yang ada saat ini, Andika akan pensiun pada akhir 2022, yakni tepat saat usianya 58 tahun.
Praktis, Andika hanya menjabat selama 13 bulan sebagai Panglima TNI. Rentang waktu kepemimpinan yang pendek itu dinilai dapat diubah jika usia pensiun perwira tinggi TNI diubah, misalnya dari 58 tahun menjadi 60 tahun dengan merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Menanggapi wacana ini, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Akbar Laksono, Rabu (10/11/2021), mengatakan, sebaiknya wacana mengenai perpanjangan usia pensiun itu tidak buru-buru direspons berlebihan. Pasalnya, Andika bahkan belum dilantik menjadi Panglima TNI.
”Ini, kan, dilantik saja belum menjadi Panglima TNI. Jadi, nanti dululah biar dilantik dulu, lalu kita lihat bagaimana perkembangannya. Jangan buru-buru mau memperpanjang usia pensiun,” katanya.
Mengenai potensi hal ini dilakukan melalui revisi UU TNI, menurut Dave, secara prosedural bisa saja dilakukan. Namun, semua harus melalui proses politik dan persetujuan dalam pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Dukungan dari fraksi-fraksi di DPR juga diperlukan dalam prosesnya.
”Saya kira kita lihat dulu saja, kan ini dilantik saja belum,” katanya.
Pendiri Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan, jika perubahan UU TNI dilakukan dengan urgensi yang jelas, hal itu tentu saja dimungkinkan. Sebab, memang banyak persoalan di dalam pertahanan negara yang mesti juga diatur di dalam UU TNI.
”Misalnya soal pertahanan siber dan bagaimana TNI dapat berperan dalam konsep itu. Selama ini belum ada yang mengatur secara detail bagaimana pertahanan siber dilakukan. Jika revisi UU TNI dilakukan untuk mengakomodasi hal-hal krusial seperti ini, tentu penting sekali dilakukan,” katanya.
Namun, ketika revisi UU TNI dilakukan hanya untuk memperpanjang usia pensiun Panglima TNI, urgensi revisi itu patut dipertanyakan. Sebab, waktu 13 bulan yang dimiliki Jenderal Andika sebenarnya sudah mencukupi untuk merealisasikan segala program Panglima TNI yang baru.
”Walau hanya 13 bulan, program yang dicanangkan Andika itu saya yakin dapat direalisasikan. Sebab, banyak program yang sebenarnya meneruskan program Panglima TNI terdahulu. Artinya, program itu tidak mulai dari nol sehingga realistis dilakukan dalam 13 bulan,” ucapnya.
Kalaupun secara politik revisi UU TNI itu dimungkinkan saja, tetapi secara organisasional tidak dibutuhkan TNI. Kesan yang timbul dari perpanjangan usia pensiun itu justru negatif, katanya, karena seolah-olah Jenderal Andika tidak tergantikan.
”Seolah-olah tidak ada orang lain, atau TNI tidak memiliki pemimpin lain yang dapat menggantikan Andika, sehingga masa pensiunnya harus diperpanjang. Padahal, di TNI banyak sekali jenderal yang mumpuni menjadi Panglima TNI. Hanya saja, kan, kursi panglima ini hanya satu sehingga tidak semuanya bisa menjadi panglima,” katanya.
Jika memang perpanjangan usia pensiun itu sangat mendesak, sebenarnya pembuat kebijakan harus melihat di level bintara dan tamtama yang usia pensiunnya 53 tahun. Untuk memenuhi kebutuhan organisasional, seharusnya usia pensiun merekalah yang diperpanjang, yakni menjadi 55 tahun. Sebab, saat ini ada kebutuhan banyak personel TNI.
”Jadi, jangan menjadikan revisi UU TNI ini hanya untuk mengakomodasi kepentingan memperpanjang waktu jabatan Panglima TNI. Itu kesannya kurang baik dan tidak jelas urgensinya bagi organisasi TNI,” kata Fahmi.