MK Hapus Hak Imunitas Penyelenggara Negara dalam Penanganan Covid-19
MK mengoreksi dua pasal UU No 2/2020 tentang Perppu Penanganan Pandemi Covid-19 karena terdapat frasa “bukan merupakan kerugian negara”. Frasa itu berpotensi memberikan impunitas bagi pejabat.
Oleh
susana rita
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi mengoreksi Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 27 Ayat (3) Lampiran Undang-Undang Penetapan Perppu Covid-19. Pasal-pasal itu memberikan hak imunitas bagi penyelenggara negara yang berpotensi menimbulkan impunitas dalam penegakan hukum, dan membebaskan segala tindakan dan keputusan yang diambil berdasarkan Perppu Covid-19 sebagai obyek gugatan di pengadilan tata usaha negara atau PTUN.
Dalam hal ini, ketentuan hukum yang diluruskan adalah terkait dengan definisi bahwa segala biaya yang dikeluarkan untuk penangangan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian dari krisis bukanlah merupakan kerugian negara.
Hal tersebut terungkap dalam putusan MK atas pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian dan/atau Stabilitas Keuangan menjadi Undang-Undang, Kamis (28/10/2021).
Lebih rinci, pasal yang diubah adalah Pasal 27 Ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur tentang biaya-biaya yang dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK bukan merupakan kerugian negara. Selain itu, Pasal 27 Ayat (3) Lampiran UU yang sama yang mengatur tentang segala tindakan (termasuk keputusan) yang diambil berdasarkan perppu bukan obyek gugatan PTUN.
MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipatif, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat (Yappika), dan sejumlah warga lainnya. Pemohon juga mengajukan uji formil terhadap UU No 2/2020, tetapi ditolak oleh MK. MK tidak menemukan adanya alasan hukum untuk membatalkan UU tersebut secara keseluruhan.
Hakim konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan mengungkapkan, adanya frasa ”bukan merupakan kerugian negara” di dalam Pasal 27 Ayat (1) Lampiran UU No 2/2020 bisa dipahami secara a contrario. Artinya, meskipun penggunaan biaya dari keuangan negara itu dilakukan tidak dengan itikad baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundangan, tuntutan pidana tetap tidak dapat dilakukan karena terkunci oleh frasa ”bukan merupakan kerugian negara”.
Pengertian demikian tidak sesuai dengan ketentuan pada ayat berikutnya (Pasal 27 Ayat 2) yang membuka kemungkinan dituntutnya secara pidana dan perdata bagi pejabat bagi pejabat pelaksana perppu yang melakukan tugasnya tanpa itikad baik dan tak sesuai aturan.
Pasal 27 Lampiran UU No 2/2020 berpotensi memberikan hak imunitas bagi pihak-pihak tertentu sehingga pada akhirnya berpotensi menyebabkan impunitas dalam penegakan hukum.
Selain itu, menurut Saldi, Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 berpotensi memberikan hak imunitas bagi pihak-pihak tertentu sehingga pada akhirnya ber”potensi menyebabkan impunitas dalam penegakan hukum.
”Menurut Mahkamah, penempatan frasa ’bukan merupakan kerugian negara’ dalam Pasal 27 Ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dapat dipastikan bertentangan dengan prinsip due process of law untuk mendapatkan perlindungan yang sama (equal protection). Pembedaan demikian tentunya telah mengingkari hak semua orang oleh karena suatu undang-undang yang meniadakan hak bagi beberapa orang untuk dikecualikan, tetapi memberikan hak demikian kepada orang lain tanpa pengecualian, keadaan demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap equal protection,” ujar Saldi Isra.
Oleh karena itu, menurut MK, demi kepastian hukum norma Pasal 27 Ayat (1) Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa ”bukan merupakan kerugian negara” tidak dimaknai ”bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
MK juga tidak sependapat jika segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan perppu bukan merupakan obyek gugatan PTUN. Sebab, segala tindakan seharusnya tetap dapat dikontrol dan dapat dijadikan obyek gugatan ke PTUN. Terlebih lagi, dengan berlakunya UU Administrasi Pemerintahan, obyek gugatan ke PTUN bukan hanya keputusan tetapi juga tindakan administrasi pemerintahan.
MK juga tidak sependapat jika segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan perppu bukan merupakan obyek gugatan PTUN. Sebab, segala tindakan seharusnya tetap dapat dikontrol dan dapat dijadikan obyek gugatan ke PTUN.
Selain itu, jika fungsi kontrol tidak diberikan, potensi timbul kesewenang-wenangan (abuse of power) dan ketidakpastian hukum. Sebab, sesungguhnya yang berwenang menilai keputusan dan/atau tindakan bertentangan atau tidak dengan hukum adalah hakim pengadilan.
Aliansi Advokasi untuk Keuangan Negara yang Konstitusional (Aliansi Akar Konstitusi) mengapresiasi putusan tersebut. Violla Reininda dari Aliansi mengungkapkan, tidak ada lagi imunitas bagi penyelenggara negara dalam menggunakan anggaran negara untuk penanganan Covid-19 ketika terbukti melanggar peraturan perundang-undangan dan ada kerugian negara.
”Ketentuan ini memperkuat kedudukan apparat penegak hukum untuk menindak segala bentuk pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan anggaran penanganan Covid-19,” ujarnya.
Meskipun demikian, Viola yang merupakan kuasa hukum para pemohon mengaku kecewa dengan putusan MK. Dari 11 norma di Lampiran UU 2/2020 yang diuji, MK hanya mengabulkan sebagian. MK tidak memeriksa secara mendalam pasal-pasal penting di antaranya tentang kebijakan keuangan negara dan perpajakan di masa Covid-19 dengan alasan keterbatasan pemerintah dalam mengambil pilihan kebijakan.
”MK memperlihatkan disfungsi sebagai penjaga konstitusi yang semestinya menggali dan memastikan bahwa aturan pengelolaan keuangan negara sejalan dengan UUD 1945, di masa darurat sekalipun,” kata Violla.