MK: UU Penetapan Perppu Covid-19 Hanya Berlaku 2 Tahun
Hakim konstitusi memahami pemerintah lakukan langkah antisiptif atasi dampak pandemi Covid-19. Karena langkah itu berkaitan penggunaan keuangan negara, perlu dibatasi waktu berlakunya UU tentang Perppu Covid-19.
Oleh
SUSANA RITA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi membatasi masa berlaku Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No 1/2020 tentang penanganan pandemi Covid-19, paling lama dua tahun. Apabila pandemi belum berakhir, undang-undang tersebut dapat diberlakukan dengan catatan pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Covid-19 harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) yang diwakili Direktur Eksekutifnya Fransisca Fitri Kurnia Sari dan sejumlah peneliti.
Namun, putusan yang dibacakan pada Kamis (28/10/2021) tersebut tidak bulat. Tiga hakim konstitusi, yaitu Arif Hidayat, Anwar Usman, dan Daniel Yusmic P Foekh, mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Ketiganya sepakat bahwa seluruh permohonan uji formil dan uji materiil yang diajukan pemohon seharusnya ditolak.
Para pemohon menguji 11 ketentuan di dalam Lampiran UU No 2/2020. Salah satu di antaranya adalah Pasal 29 yang berbunyi, ”Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”.
Para pemohon uji materi mendalilkan, Pasal 29 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prinsip jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Sebab, pasal tersebut tidak memberikan jangka waktu keberlakuan undang-undang tersebut kendati diterbitkan untuk menyelesaikan persoalan di masa darurat kesehatan masyarakat.
Tidak adanya masa berlaku untuk regulasi itu, menurut pemohon, berpotensi menimbulkan adanya kesewenang-wenangan dari pemerintah. Kesewenang-wenangan itu khususnya dalam pengelolaan keuangan negara untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan yang difokuskan untuk pandemi Covid-19.
Dalam pertimbangan yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, MK menyatakan, lembaga peradilan konstitusi ini memahami bahwa pandemi Covid-19 yang terjadi secara global berdampak signifikan terhadap kondisi perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia. Sebagai langkah antisipatif, pemerintah pun mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi dampak tersebut, utamanya dampak untuk perekonomian nasional.
Namun, karena langkah antisipatif tersebut berkaitan dengan penggunaan keuangan negara, MK menilai kontrol yang kuat diperlukan. Salah satu bentuk kontrol tersebut adalah dengan membatasi waktu berlakunya undang-undang tentang penetapan Perppu Covid-19. Meski diakui perppu memiliki karakteristik khusus, substansi undang-undang (yang berasal dari perppu) bukan berarti dapat mengabaikan prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum. Apalagi kedua prinsip ini ditegaskan di dalam Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.
Atas pertimbangan tersebut, materi Lampiran UU No 2/2020 harus memenuhi prinsip kepastian, termasuk di dalamnya kepastian dalam masa pemberlakuannya.
Selain itu, hal tersebut menjadi sangat penting mengingat Lampiran UU No 2/2020 tersebut juga menganulir berbagai ketentuan di sejumlah undang-undang. Hal itu, di antaranya, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Bank Indonesia, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Lembaga Penjamin Simpanan, UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU Kesehatan, UU Desa, UU Pemerintah Daerah, UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, dan UU APBN Tahun 2020,
Menurut Suhartoyo, apabila tidak dilakukan pembatasan pemberlakuan, sejumlah norma di dalam berbagai undang-undang tersebut akan kehilangan keberlakuannya secara permanen. Bahkan, ketika pandemi Covid-19 telah berakhir, norma-norma yang sudah dianulir oleh Lampiran UU No 2/2020 tersebut tetap tidak berlaku.
Hal itu menimbulkan ketidakpastian akan batas waktu kondisi kegentingan yang memaksa. Apalagi, pemberlakuan UU Penetapan Prppu Covid-19 berkaitan erat dengan penggunaan keuangan negara yang sangat memengaruhi perekonomian negara, menurut Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945, seharusnya mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.
MK menegaskan bahwa hal utama yang harus ditekankan dalam keadaan darurat adalah batas waktu yang jelas tentang kapan situasi pandemi akan berakhir. Untuk itu, MK merasa perlu untuk memberi pembatasan pemberlakuan UU No 2/2020 agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan di dalamnya.
”Oleh karena itu, UU ini hanya berlaku selama status pandemi Covid-19 belum diumumkan berakhir oleh Presiden dan paling lama hingga akhir tahun ke-2 sejak UU No 2/2020 diundangkan. Namun, dalam hal pandemi diperkirakan akan berlangsung lebih lama, sebelum memasuki tahun ke-3, berkaitan dengan pengalokasian anggaran untuk penanganan Covid-19 harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Pembatasan demikian perlu dilakukan karena UU a quo telah memberikan pembatasan perihal skema defisit anggaran sampai tahun 2022. Oleh karena itu, pembatasan dua tahun paling lambat, Presiden mengumumkan secara resmi berakhirnya pandemi adalah sesuai dengan jangka waktu perkiraan defisit anggaran tersebut diatas,” kata Suhartoyo.
Baca juga : Pasal Imunitas Perppu Covid-19 Diuji Materi
Dengan putusan di atas, MK pun mengubah bunyi Pasal 29 Lampiran UU No 2/2020. Bunyi pasal tersebut menjadi, ”Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.”