Sanksi Publik Menanti jika Kinerja DPR Tak Membaik
Dari hasil jajak pendapat Litbang ”Kompas”, 5-8 Oktober lalu, terlihat, sebanyak 60,1 persen responden menilai besarnya pendapatan yang didapatkan para anggota parlemen tidak sebanding dengan kinerja mereka.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Publik kembali menilai buruk kinerja DPR. Kinerja mereka dinilai tak sebanding dengan besarnya pendapatan per bulan. Jika tidak ada perhatian serius dari DPR dan partai politik, kepercayaan publik terhadap DPR akan terus menurun. Parpol yang kini mendudukkan wakilnya di DPR juga bisa menghadapi sanksi publik.
Dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 5-8 Oktober lalu, terlihat, sebanyak 60,1 persen responden menilai besarnya pendapatan yang didapatkan para anggota parlemen tidak sebanding dengan kinerja mereka. Adapun yang mengatakan sebanding hanya 27,4 persen. Sisanya, sebanyak 12,5 persen menjawab tidak tahu. Pandangan publik ini diperoleh dari pengumpulan pendapat melalui telepon terhadap 509 responden berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi.
Berdasarkan analisis Indonesia Budget Center (IBC), jika mengacu pada Surat Menkeu No S-520/MK.02/2015 dan ketetapan DPR mengenai kenaikan tunjangan anggota DPR tahun 2019, jumlah penghasilan bersih anggota DPR setiap bulan sebesar Rp 57.861.680. Ini belum termasuk sejumlah fasilitas yang diterima anggota. Di antaranya, uang yang diperoleh anggota jika kunjungan kerja di dalam negeri ataupun perjalanan dinas ke luar negeri dan kegiatan sosialisasi undang-undang. Jadi, menurut Direktur Eksekutif IBC Roy Salam, Minggu (24/10/2021), setiap anggota DPR bisa menerima sampai ratusan juta rupiah per bulan.
Penilaian publik terkait kinerja parlemen tersebut ”senapas” dengan citra DPR, yang selalu berada di papan bawah di antara lembaga-lembaga lainnya berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga selama ini.
Hasil survei Litbang Kompas melalui wawancara tatap muka terhadap 1.200 responden pada 26 September–9 Oktober 2021, misalnya, citra DPR bersama partai politik berada di peringkat terbawah di antara 10 lembaga yang disurvei. Khusus DPR, jumlah responden yang menilai baik citra DPR sebesar 55 persen dan yang menilai buruk 37,3 persen.
Adapun di peringkat teratas adalah TNI dengan 93 persen responden menilai citranya baik. Kemudian disusul Polri dan pemerintah daerah, masing-masing dinilai baik oleh 77 persen responden. Di peringkat bawahnya, berturut-turut, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Dewan Perwakilan Daerah.
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana menduga buruknya persepsi publik atas kinerja ataupun citra DPR karena aspirasi publik yang belum mampu diserap dengan baik. Selain itu, minimnya capaian legislasi dan kasus korupsi yang terus menjerat anggota DPR.
Tak adanya perubahan signifikan oleh DPR membuat publik terus-menerus memersepsikan DPR buruk. Jika kondisi ini berlanjut, kepercayaan publik bisa terus menurun. Bahkan, bukan tidak mungkin publik tak akan lagi memilih anggota DPR ataupun parpol yang mendudukkan para anggota DPR tersebut saat pemilu mendatang. ”Jadi, partai politik atau politisi berhati-hatilah. Penilaian publik harus dijadikan cambuk untuk melakukan perbaikan,” ujarnya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, bahkan menilai, pascareformasi, kinerja DPR periode 2019-2024 sebagai yang terburuk.
Dari sisi legislasi, misalnya. Dua tahun terakhir, DPR baru berhasil mengesahkan lima rancangan undang-undang (RUU) prioritas dari puluhan RUU prioritas. Kinerja ini lebih buruk dari anggota DPR periode sebelumnya. Di dua tahun pertama DPR periode 2014-2019, mereka bisa menyelesaikan 13 RUU, sedangkan dua tahun pertama DPR periode 2009-2014 bisa menyelesaikan 16 RUU.
Lebih ironis lagi, RUU yang dibutuhkan oleh publik, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, dan RUU Perampasan Aset, justru tak kunjung disahkan.
Untuk memperbaiki kinerja DPR, ia mengusulkan insentif bagi anggota DPR didasarkan pada parameter capaian kinerja DPR. Pemberian insentif berbasis kinerja tersebut sudah lama diterapkan di pemerintah. Hal serupa seharusnya diterapkan di DPR.
Selain itu, Roy Salam mengingatkan soal janji reformasi parlemen. Janji reformasi yang di antaranya memperkuat penyerapan aspirasi publik, tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas sudah lama disuarakan, tetapi tak terlihat implementasinya hingga kini. Kinerja DPR selalu sama dari periode ke periode sehingga pandangan publik pada DPR tak berubah.
”Sebenarnya ada anggota-anggota DPR yang berkinerja baik, yang kerja-kerjanya nyata buat publik. Namun, karena sebagian besar buruk kinerjanya, kerja mereka yang baik jadi tak terlihat,” ujarnya.
Hal lain yang juga penting, menurut Roy, parpol memberi atensi serius pada penilaian publik atas kinerja dan citra DPR. Parpol tak bisa lepas tangan karena para anggota DPR bisa duduk di parlemen diusung oleh parpol. Karena itu, penting bagi parpol membangun sistem penilaian yang terukur terhadap kadernya di parlemen. Dengan demikian, parpol bisa menjatuhkan sanksi bagi anggota yang tak berkinerja baik.
Akan dijadikan introspeksi
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad berjanji penilaian publik tersebut akan dijadikan bahan introspeksi. ”Sebenarnya kami juga sudah introspeksi dan kami bertekad setelah pandemi Covid-19 melandai, kami akan mendongkrak kinerja DPR,” katanya.
Selama masa pandemi Covid-19, ia mengklaim DPR telah berusaha untuk berkinerja baik, salah satunya dalam menyerap aspirasi rakyat. Anggota DPR, misalnya, tetap turun ke konstituen sekalipun ada ancaman tertular Covid-19. Bahkan, tak sedikit anggota yang tertular dan ada pula yang sampai meninggal dunia.
Dalam setiap kunjungan ke konstituen, anggota DPR pun selalu berusaha untuk membantu masyarakat. Khususnya dalam menghadapi pandemi, anggota DPR kerap memberikan bantuan bahan pokok hingga masker dan tes Covid-19 bagi masyarakat.
Implikasi dari kerja-kerja tersebut, pengeluaran anggota diklaimnya justru membengkak. ”Jadi, banyak biaya yang justru dikeluarkan anggota. Bahwa yang diterima itu bukan pendapatan, tetapi biaya yang dikembalikan lagi untuk kegiatan konstituen,” tutur Dasco. (SYA/BOW/DEA/APA)