Menanti Kepekaan Wakil Rakyat
Pembahasan sejumlah rancangan undang-undang yang menimbulkan polemik dan kontroversi di tengah pandemi Covid-19 dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap citra DPR. Sebanyak 70 persen responden pun menolak.
Lebih dari 70 persen responden jajak pendapat Kompas menilai RUU Cipta Kerja, RUU Pemasyarakatan, dan RUU KUHP tidak mendesak dibahas di tengah pandemi Covid-19. Masyarakat menanti kepekaan wakilnya di parlemen.
Pembahasan sejumlah rancangan undang-undang yang menimbulkan polemik dan kontroversi di tengah pandemi Covid-19 dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap citra Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga legislatif ini dinilai kurang peka terhadap kesulitan dan tekanan yang dihadapi publik sebagai dampak penyakit Covid-19 yang disebabkan oleh virus korona baru.
Kesimpulan tersebut, antara lain, terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu yang menyebutkan, pembahasan sejumlah RUU yang memancing pro-kontra bukan hal yang mendesak dilakukan di saat bangsa ini tengah berjibaku melawan pandemi Covid-19.
Pembahasan RUU Cipta Kerja, RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), dan RUU Kemasyarakatan dinilai mayoritas besar responden jajak pendapat Kompas harus ditunda.
Baca Juga: Ambisi Kejar Tayang RUU Cipta Kerja Terhambat Virus Korona?
Seperti diketahui, pembahasan sejumlah RUU tersebut tetap dilanjutkan DPR di tengah pandemi Covid-19. Padahal, penolakan terhadap sebagian konten RUU tersebut sudah ramai muncul sejak akhir 2019 (RKUHP dan RUU Pemasyarakatan). Tidak mengherankan, keputusan DPR melanjutkan pembahasan RUU itu menimbulkan polemik. Kritik dan keberatan muncul karena momentum pembahasan itu dinilai tidak tepat.
"Penolakan terhadap sebagian konten RUU tersebut sudah ramai muncul sejak akhir 2019 (RKUHP dan RUU Pemasyarakatan). Tidak mengherankan, keputusan DPR melanjutkan pembahasan RUU itu menimbulkan polemik. Kritik dan keberatan muncul karena momentum pembahasan itu dinilai tidak tepat"
Di tengah pandemi ini, partisipasi publik yang idealnya harus dibuka seluas-luasnya dalam proses pembahasan RUU di DPR dinilai kurang efektif. Hal ini akan mencederai mandat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang diubah menjadi UU 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU itu disebutkan, pembentukan undang-undang harus melibatkan partisipasi publik.
Sebanyak 85 persen responden sepakat, publik harus dilibatkan dalam pembahasan RUU. Namun, di tengah pandemi Covid-19, responden menilai partisipasi publik tidak akan optimal. Pembatasan sosial berskala besar yang harus diterapkan terkait penanganan pandemi jelas membatasi pergerakan publik.
Sejumlah pihak, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komite I Dewan Perwakilan Daerah, serikat buruh, bahkan Dewan Pers, mendorong DPR dan pemerintah menunda pembahasan lebih lanjut RUU problematik. Bahkan, Komnas HAM menilai, pembahasan RUU Cipta Kerja saat pandemi berpotensi tidak memenuhi asas perlindungan dan penegakan HAM.
Meskipun demikian, DPR cenderung tetap melanjutkan pembahasan sejumlah RUU tersebut di tengah pandemi Covid-19.
Reaksi publik
DPR memang tidak pernah sepi dari sorotan publik. Pembahasan sejumlah RUU yang saat ini tetap akan dilanjutkan, meski mendapat penolakan publik, sebenarnya bukan hal yang baru. Pada September 2019, sorotan publik kepada DPR tertuju ketika lembaga ini merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saat itu, selain UU KPK, sebagian publik juga menolak sebagian konten RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba. Penolakan terhadap revisi UU KPK dan RKUHP sampai memunculkan aksi turun ke jalan besar-besaran di sejumlah daerah, yang kemudian membuat jatuh korban.
Kini, salah satu RUU yang disorot publik adalah RUU Cipta Kerja. RUU ini banyak ditolak karena sejak pembentukannya tidak ada informasi yang jelas sehingga menimbulkan keresahan masyarakat. Buruh memprotes proses formal penyusunan RUU Cipta Kerja yang tertutup. Dari sisi konten, beberapa hal yang menjadi polemik dari RUU Cipta Kerja adalah penghilangan upah minimum dan penerapan sistem upah per jam yang tidak diatur dengan detail, pengurangan pesangon, perubahan sistem kerja, liberalisasi hubungan kerja, serta fleksibilitas penggunaan karyawan alih daya (outsourcing).
Selain itu, muncul pula polemik terkait jaminan sosial yang terancam hilang, kemudahan rekrutmen tenaga kerja asing, serta upaya menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Hasil jajak pendapat menangkap, pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah Covid-19 juga meresahkan publik. Sebagian besar responden menilai, RUU Cipta Kerja tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja. Sebanyak 73 persen responden menyatakan, pengesahan RUU Cipta Kerja tidak akan serta-merta mengembalikan sumber penghasilan mereka yang hilang akibat pembatasan sosial untuk menghadapi wabah Covid-19. Bahkan, hal itu berpotensi semakin mempersulit.
Sebagian besar responden (70,5 persen) juga meragukan RUU Cipta Kerja akan mampu mengundang investasi asing masuk ke Indonesia di tengah Covid-19. Apalagi dengan kondisi perekonomian dunia yang diprediksi bakal melambat dengan pertumbuhan ekonomi negatif akibat Covid-19. Investor tentu masih berpikir panjang untuk berinvestasi ke Indonesia yang sampai hari ini masih dibebani oleh pandemi Covid-19.
Fokus Covid-19
Sebanyak 82,9 persen responden mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja sebaiknya ditunda. Hanya 12,7 persen responden menjawab RUU itu mendesak dibahas. Sementara 4,4 persen responden menjawab tidak tahu. Selain itu, 81 persen responden menyatakan, pembahasan RKUHP perlu ditunda dan 70,5 persen menjawab hal yang sama terkait pembahasan RUU Pemasyarakatan.
Sebagian besar responden menilai, DPR lebih dinantikan perannya dalam mengawasi penggunaan anggaran serta memantau kinerja pemerintah dalam menangani pandemi ini. Pengawasan komprehensif harus dijalankan DPR dengan orientasi pada pemenuhan hak dasar masyarakat.
Kebijakan penanganan Covid-19 lewat pembatasan sosial berskala besar di sisi lain merenggut penghasilan masyarakat, terutama mereka yang bekerja di sektor informal. Dalam konteks ini, peran DPR lebih dibutuhkan untuk mendorong pemerintah agar memberikan jaminan kesejahteraan kepada mereka yang terdampak secara ekonomi akibat kebijakan yang harus ditempuh guna menghadapi pandemi Covid-19.
"Dalam konteks ini, peran DPR lebih dibutuhkan untuk mendorong pemerintah agar memberikan jaminan kesejahteraan kepada mereka yang terdampak secara ekonomi akibat kebijakan yang harus ditempuh guna menghadapi pandemi Covid-19"
Publik khawatir, jika DPR ngotot membahas dan mengesahkan RUU yang melahirkan pro-kontra di tengah pandemi ini, citranya akan semakin terpuruk. Kekhawatiran ini disampaikan 69,9 persen responden. Apalagi, secara umum sebagian besar responden dalam jajak pendapat belum puas terhadap kinerja DPR selama ini.
Baca Juga: Bersinergi Melawan Pandemi Covid-19
Pada akhirnya, kepedulian DPR semakin dinantikan publik di tengah pandemi Covid-19. Hampir semua responden berharap ada gerakan moral dari anggota DPR untuk bisa berperan lebih, seperti mendonasikan sebagian gajinya untuk penanganan Covid-19. Harapan publik ini sebenarnya sudah dilakukan sejumlah anggota legislatif, bahkan juga sudah dilakukan oleh anggota DPRD di sejumlah daerah.
Pandemi Covid-19 akan menjadi ujian kepekaan bagi anggota legislatif untuk menentukan prioritas agenda politik mana yang mendesak harus dilakukan demi menyelamatkan rakyat yang diwakilinya dan citra lembaga. Masyarakat kini tengah menanti empati dan kepekaan sosial politik para wakilnya di parlemen.