Sekali Lagi soal Demokrat dan PDI-P, Berpolitik Itu Soal Hati
Ini bukan kali pertama kader PDI-P dan Demokrat ”ribut” di ruang daring. Jika kali ini pemantiknya adalah pernyataan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, pada kesempatan lain pemantiknya adalah kader Partai Demokrat.
Orang tidak harus menunggu jatuh cinta untuk merasakan hatinya berdebar. Hati yang halus bisa mengindera berbagai hal, baik itu terlihat maupun tidak. Segala nuansa dapat ditelaah dengan hati, tidak terkecuali kehidupan politik para elite di negeri ini. Di tengah-tengah suasana provokatif dan sensitif menjelang tahun politik, sekali lagi hatilah yang menentukan.
Fenomena menarik di jagat Twitter dalam empat hari terakhir setidaknya menggambarkan bauran antara ketegangan dan luka masa lalu yang tampaknya akan terus menciptakan dialektika relasional di antara dua partai di negeri ini; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Demokrat.
Bermula dari pernyataan pers Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, Kamis (21/10/2021), yang dikeluarkan seusai membuka Webinar Penganggaran Desa Wisata Perancangan Kebijakan Penganggaran Desa Wisata di Kantor DPP PDI-P, kader-kader Partai Demokrat dibuat tegang dan kira-kira sedikit meradang.
Hasto, dalam kesempatan itu, mengatakan, PDI-P melihat adanya apresiasi dunia dan berbagai pihak terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam menangani pandemi Covid-19. PDI-P sebagai partai pendukung pemerintah pun ikut bangga dengan model kepemimpinan Jokowi yang mau turun ke bawah, melihat akar persoalan pokok dari Covid-19, dan mencari solusi menyeluruh atas persoalan tersebut. Solusi yang ditempuh, antara lain, dengan refocusing anggaran dan menerapkan kebijakan yang menyeimbangkan antara pembatasan sosial dan pertumbuhan ekonomi serta pengadaan vaksin.
”Pak Jokowi punya kelebihan dibanding pemimpin yang lain. Beliau adalah sosok yang turun ke bawah, yang terus memberikan direction, mengadakan ratas (rapat kabinet terbatas) dan kemudian diambil keputusan di rapat kabinet terbatas. Berbeda dengan pemerintahan 10 tahun sebelumnya, terlalu banyak rapat tidak mengambil keputusan,” tambahnya.
Baca juga: PDI-P Sebut Tak Bisa Koalisi dengan PKS dan Demokrat, Faksi Politik Mulai Terbentuk
Menurut Hasto, Jokowi setiap mengadakan rapat selalu mengambil keputusan yang bisa dijabarkan dalam perspektif koordinasi antara pusat dan daerah. Hasto mencontohkan, saat Presiden Jokowi bersama para pembantunya, antara lain Menteri Luar Negeri, Menteri BUMN, dan Menteri Kesehatan, sebagai satu kesatuan tim negosiator sehingga akhirnya Indonesia bisa mendapatkan vaksin. Tidak hanya itu, dalam kerja sama itu juga didorong kemampuan nasional untuk memproduksi vaksin.
Dari sekelumit kutipan pernyataan Hasto itu, kader-kader Demokrat tersengat. Dari berbagai cuitan di Twitter mereka terlihat kegeraman atas pernyataan Hasto yang membandingkan Presiden Jokowi dengan presiden dalam pemerintahan 10 tahun sebelumnya. Presiden 10 tahun lalu itu diasosiasikan dengan Susilo Bambang Yudhoyono, yang tidak lain adalah Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, yang sekaligus ikon penting di tubuh partai berlambang bintang mercy itu.
Salah satu cuitan kader Partai Demokrat, Yan Harahap, misalnya, menanggapi begini; ”Hasto ini ibarat ’kodok’ dalam tempurung, sehingga ia tidak tahu pada pemerintah sebelumnya pertumbuhan ekonomi ’meroket’, APBN meningkat, utang dan defisit kita terjaga,” seperti dipublikasikan di akun Twitter-nya. Yan adalah Deputi Strategi dan Kebijakan Balitbang DPP Demokrat.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani tidak kalah pedas menanggapi pernyataan Hasto. Dia pun mencuit demikian, ”Hei Hasto, bangun. Ko tidur terlalu miring, bangun... nanti ko pe otak juga ikut miring,” sembari menautkan berita dari suatu media online yang memuat tanggapannya.
Soal cuitannya yang ”keras” ini, Kamhar mengatakan, itu ekspresi belaka dari ketidaksetujuan kader terhadap pernyataan Hasto yang menyebut pemimpin 10 tahun sebelumnya tidak bisa mengambil keputusan. ”Itu perspektif yang keliru, cara pandang dia keliru. Itu menunjukkan pola pikir yang insecure (tidak merasa aman) karena dia merasa bayang-bayang pemerintahan 10 tahun lalu itu tidak bisa minimal disamai atau dilebihi pemimpin sekarang yang didukung PDI-P,” katanya, ketika dikofirmasi, Sabtu (23/10/2021), dari Jakarta.
Kamhar menilai pemerintahan saat ini bukan berjalan dengan sendirinya, melainkan juga meneruskan warisan dari pemerintahan sebelumnya. Artinya, tidak bisa membanding-bandingkan dengan pemerintahan sebelumnya seolah pemerintahan terdahulu lebih buruk. Kesan yang ditimbulkan ialah ingin menutupi capaian-capaian dari pemerintahan sebelumnya.
”Selama memimpin juga banyak sekali capaian Pak SBY, baik dari sisi infrastruktur maupun sosial dan ekonomi. Kita lihat bandara-bandara yang ada, mulai dari Bandara Kualanamu, Juanda, Hasanuddin, jalan tol Bali ke bandara, hingga jalan Kelok Sembilan di Sumatera barat, itu kan dilakukan di era Pak SBY. Tetapi, kenapa, kok, kesannya ditutupi seolah tidak ada pembangunan,” ujarnya.
Di era Yudhoyono juga, Indonesia masuk menjadi negara anggota G-20 dan utang Indonesia ketika itu jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB), menurut Kamhar, rasionya lebih kecil. ”Ini, kan, berbeda dengan era sekarang di mana utang besar sekali, tetapi kesejahteraan masyarakat, kok, tidak naik. Ada apa ini sebenarnya,” ucapnya.
Soal komentar-komentar tajam kader Demokrat di medsos, menurut Kamhar, adalah ekspresi saja dari ketidaksetujuan mereka terhadap perspektif yang muncul di pemberitaan terkait dengan pernyataan Hasto. Ia membantah hal itu digerakkan secara khusus. ”Hampir semua pengurus DPP Partai Demokrat punya akses yang baik terhadap medsos sehingga siapa pun bisa berekspresi,” katanya.
Saling bergantian
Namun, sebenarnya ini bukan kali pertama kader PDI-P dan Demokrat ”ribut” di ruang daring. Jika kali ini pemantiknya adalah pernyataan Hasto, pada kesempatan lain pemantiknya adalah kader Demokrat.
Salah satu contohnya ialah pernyataan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas, awal Juli 2021. Ketika itu, pernyataan Ibas diunggah oleh Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Imelda Sari di akun Twitter-nya. ”Jangan sampai negara kita disebut ’Failed Nation’ akibat ketidakmampuan negara selamatkan rakyatnya,” kata Ibas dalam cuitan itu, yang sedang menyoroti peningkatan kasus penularan Covid-19 saat itu.
Giliran kader PDI-P yang berang. Saat itu, pernyataan Ketua DPC PDI-P Tangerang Selatan, Banten, Wanto Sugito yang dirilis kepada pers. Pernyataannya juga tidak kalah pedas; ”Lebih baik Ibas perhatikan saja Demokrat agar tidak jadi partai gagal failed party. Soalnya gejala menjadi partai gagal sudah di depan mata. Cari saja cara lolos PT (parliamentary threshold) di 2024. Atau yang failed itu pemikiran Ibas. Mungkin akibat pengaruh yang membuat pikirannya tidak lagi jernih,” tukasnya.
Baca juga: Demokrat Merasa Dikriminalisasi, PDI-P: Jangan Banyak Mengeluh
Hubungan yang penuh dinamika antara PDI-P dan Demokrat ini, menurut pengajar Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto, merupakan salah satu never ending stories dalam dunia politik di Tanah Air. Ceritanya tidak akan pernah berakhir karena ada hambatan psikologis di antara kedua partai.
Hambatan itu mulanya bersifat personal karena hubungan yang tegang antara Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Yudhoyono. Sebagaimana diketahui, Yudhoyono pernah diangkat menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di dalam Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Megawati, ketika ia menjadi presiden tahun 2001. Namun, pada Pemilihan Presiden 2004, Yudhoyono turut bersaing dengan Megawati yang ketika itu menjadi petahana. Yudhoyono kemudian memenangi pemilihan.
Hambatan psikologis antarindividu itu ternyata tidak mudah diredakan. Bahkan, ketegangan itu masuk ke ranah lembaga, termasuk kepartaian. Ini karena bagaimanapun baik Megawati maupun Yudhoyono ialah representasi dari partai masing-masing. PDI-P dan Demokrat dinilai tidak pernah akur karena keduanya sulit menyatu.
”Tampaknya memang tidak akan pernah menyatu, misalnya dalam konteks pergerakan mereka yang saling merangkul atau saling memberikan atmosfer yang lebih positif,” katanya.
Apa yang muncul sebagai refleksi dari hambatan psikologis itu ialah ketegangan dialektika relasional yang terus-menerus di antara kedua partai. Hasto dalam suatu diskusi daring pernah mengatakan, partainya tidak akan berkoalisi dengan dua partai, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Ia mengatakan, perbedaan platform dan ideologi membuat PDI-P tidak akan berkoalisi dengan kedua partai itu. Hasto secara tegas menyatakan garis batas antara partainya dan Demokrat.
Karena hambatan psikologis yang kuat itu pulalah, menurut Gun Gun, relasi stimulus-respons akan berulang antara PDI-P dan Demokrat di masa depan.
”Tinggal menunggu momentum saja. Kalau kali ini pernyataan Hasto yang menjadi stimulus atau pemicu. Boleh jadi di lain waktu giliran pernyataan elite Demokrat yang jadi pemicu dan kader PDI-P merespons. Selalu tercipta stimulus-respons seperti itu,” katanya.
Namun, fenomena ini biasanya akan timbul dan tenggelam sebagai perang psikologis semata, yang belum tentu juga ada nilainya secara elektoral ataupun dalam pembentukan opini publik. Hal itu bisa menjadi besar di antara kedua partai manakala isunya krusial. Bilamana isu selintas lalu, atau sindiran-sindiran ringan, menurut Gun Gun, tidak akan berdampak apa pun pada opini publik dan elektoral kedua partai.
Lalu, apa hubungan semua ini dengan hati? Agaknya ketegangan politik antara PDI-P dan Demokrat membuktikan, politik tidak semata-mata soal kursi kekuasaan. Bagaimanapun di sana ada sesuatu yang dipertaruhkan, baik itu harga diri, kebanggaan, prinsip, nilai-nilai, atau apa pun itu namanya, yang semua akarnya ialah dari hati. Jika hati itu telah luka, sungguhkah ada obatnya?