Demokrat Merasa Dikriminalisasi, PDI-P: Jangan Banyak Mengeluh
JAKARTA, KOMPAS — Partai Demokrat merasa kadernya dikriminalisasi salah satu partai politik tertentu bersama pihak kepolisian jelang perhelatan pemilihan kepala daerah Juni mendatang. Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menilai setiap partai politik seharusnya memperkuat hubungannya dengan rakyat ketika menemui suatu permasalahan.
Rabu (3/1) malam, Partai Demokrat menggelar rapat mendadak yang dipimpin langsung Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Pertemuan yang disebut oleh Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan sebagai emergency meeting itu membahas tentang kader Demokrat yang dinilainya dikriminalisasi aparat kepolisian.
”Terjadi perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang terhadap kader Demokrat dalam pilkada. Perlakuan tidak adil itu bukan yang pertama kali, tetapi kesekian kali. Semula, kami mengalah dengan harapan tidak terjadi lagi perlakuan seperti itu. Nyatanya terjadi lagi dan terjadi lagi,” kata Hinca seusai rapat tersebut.
Ia menceritakan, Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang yang merupakan kader Partai Demokrat mendapat perlakuan tidak adil dalam proses Pilkada 2018. Jaang diusung Partai Demokrat sebagai calon gubernur di Pilkada Kalimantan Timur mendatang. Jaang akan dipasangkan dengan Rizal Effendi, Wali Kota Balikpapan.
Menurut Hinca, Jaang sebanyak delapan kali dipanggil parpol tertentu untuk bersedia menggandeng Kapolda Kaltim Irjen Safaruddin sebagai wakilnya. Akan tetapi, Jaang menolak. Jaang juga disebut pada 25 Desember 2017 dihubungi langsung oleh Safaruddin agar berkenan berpasangan dengannya, tetapi Jaang tetap menolak.
Dalam proses tersebut ada ancaman, jika Jaang tetap tidak mau berpasangan dengan Safaruddin, akan ada kasus hukum yang menjeratnya. Safaruddin diketahui merupakan salah satu orang yang mendaftar ke PDI-P untuk dapat dicalonkan sebagai gubernur di Pilkada Kaltim.
”Pada 26 Desember sudah ada laporan terkait Pak Syaharie Jaang ke Bareskrim Polri. Pada tanggal 29 Desember sudah ada panggilan pemeriksaan. Karena berhalangan, Pak Syaharie tidak bisa hadir, kemudian ada lagi surat panggilan untuk diperiksa pada 2 Januari 2018. Hari ini, saya bersama penasihat hukumnya ikut mendampingi Pak Syaharie Jaang diperiksa di Bareskrim,” kata Hinca.
Pihak kepolisian memeriksa Jaang terkait kasus penetapan tarif parkir area Pelabuhan Peti Kemas Palaran dengan terdakwa Hery Susanto Bun, Ketua Pemuda Demokrat Indonesia.
Hinca mengatakan, pihaknya menghormati proses hukum yang berjalan. Akan tetapi, Partai Demokrat keberatan tentang proses pemerikasaan tersebut. Hal itu karena lima hari lagi batas waktu pendaftaran peserta pilkada. Komisi Pemilihan Umum menetapkan jadwal pendaftaran peserta pilkada pada 8-10 Januari 2018. Itu dinilainya sebagai perlakuan yang tidak adil. Terlebih, adanya tindakan kepolisian yang tidak netral dalam politik, hal itu melanggar UU.
”Kami yakin Pak Presiden Joko Widodo tidak mengetahui kesewenangan aparat negara ini. Maka dari itu diharapkan, Presiden Jokowi melakukan sesuatu, khususnya di pilkada yang tidak fair ini, agar pilkada berjalan baik dan menyenangkan kita semua,” ujar Hinca.
Hinca juga mengungkit, perlakuan aparat kepolisian yang dinilainya tidak adil saat Pilkada DKI Jakarta 2017. Saat itu, cawagub pendamping Agus Harimurti Yudhoyono diperiksa kepolisian pada masa pilkada. Sylviana Murni saat itu diperiksa terkait dugaan kasus korupsi pembangunan Masjid Al Fauz di kompleks kantor Wali Kota Jakarta Pusat dan dugaan korupsi pengelolaan dana hibah DKI Jakarta untuk Kwarda Pramuka Jakarta.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan, pemeriksaan terhadap Syaharie Jaang bukan upaya kriminalisasi. ”Nanti akan kami dalami lagi. Kalau ada buktinya kan bukan kriminalisasi. Nanti kita lihat, kalau terbukti kami proses lanjut, kalau tidak ya enggak,” ujar Setyo di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat (4/1).
Kapolda Kaltim Irjen Safaruddin pun menolak pernyataan bahwa kasus yang menjerat Syaharie terkait dengan penolakan dirinya untuk menjadi cawagub Jaang. Kasus yang menjerat Jaang merupakan hasil operasi tim Saber Pungli beberapa waktu yang lalu.
”Ini kasus lama, masalah saber pungli. Kan baru selesai sidang, ada fakta-fakta persidangan. Nah, fakta persidangan itu dijadikan bahan untuk dilakukan penyelidikan. Jadi ini bukan kasus yang tiba-tiba. Kasus ini di Kaltim juga ramai saat dipersidangan,” kata Safaruddin.
Menanggapi pernyataan Partai Demokrat, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto membandingkan kondisi PDI-P di masa lalu. Ia mengatakan, partainya tetap diam dan tidak pernah mengeluh walau pernah ditekan alat kekuasaan. Hasto mencontohkan peristiwa 27 Juli 1996, saat itu terjadi kerusuhan di Kantor PDI-P yang ditengarai adanya campur tangan alat negara.
PDI-P juga dinilai Hasto mendapat perlakuan tidak adil dari alat negara saat Pilkada Bali lima tahun yang lalu. Terjadi kecurangan yang sistematis dan masif saat itu. Pada pilkada Bali 2013, Partai Demokrat mengalahkan calon yang diusung PDI-P. Calon yang didukung PDI-P dikalahkan hanya dengan selisih suara sebanyak 996 suara. Padahal, masyarakat Bali dikenal sebagai salah satu basis terkuat pendukung PDI-P.
”Ketika kami diintervensi dan diserang, kami tetap teguh dan memilih bersikap menyatu dengan rakyat. Kami pun tidak membuat solusi melodramatic dan menampilkan wajah seolah kami menjadi korban. Kami tidak memilih membuat drama yang tidak perlu,” ujar Hasto seusai acara pengumuman pasangan cagub dan cawagub di empat provinsi yang menggelar Pilkada 2018 (Papua, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara) yang dilaksanakan di Kantor DPP PDI-P, Jakarta, Kamis (4/1).
Hasto menyampaikan, di Pilgub Kaltim pihaknya tidak pernah memaksakan kehendak terhadap suatu calon. Adanya paksaan dalam proses pencalonan dinilainya merupakan hal yang tidak baik.
Sesaat sebelum memulai acara, Hasto sempat menyampaikan, partainya berbeda dengan salah satu parpol yang ada di Indonesia. Walaupun tidak menyebut nama partainya, Hasto mengatakan, salah satu partai di Indonesia ada yang sering mengeluh ketika menghadapi suatu masalah.
“Realitasnya saat ini Demokrat kehilangan atensi publik. Sebagai contoh, Partai Golkar dan Demokrat sama-sama partai bertipe catch-all (menjaring semua pemilih tidak berdasarkan sekmen ideologi tertentu). Akan tetapi, meskipun Golkar ketua umumnya terkena kasus korupsi, dalam survei, elektabilitasnya masih menjadi partai di posisi atas. Berbeda dengan Demokrat yang masih mencari titik jual partainya hingga saat ini,” tutur Rafif. (DD14/SAN)