Efek Bumerang Bisa Lebih Dalam Gerus Elektabilitas Partai Politik
Berdasarkan survei terbaru Litbang ”Kompas”, tujuh dari sembilan parpol yang kini mendudukkan wakilnya di DPR mengalami penurunan elektabilitas. Jika tak ada perubahan dari parpol, elektabilitas bisa makin tergerus.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Elektabilitas mayoritas partai politik yang kini mendudukkan wakilnya di DPR mengalami penurunan berdasarkan hasil survei terbaru Litbang Kompas. Penurunan ditengarai karena partai sudah sibuk berpikir soal perebutan kekuasaan di Pemilu 2024 ketika di depan mata, publik masih bergulat dengan pandemi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya. Jika partai politik tidak berubah, elektabilitas bisa kian tergerus.
Berdasarkan survei Litbang Kompas pada Oktober 2021, dari sembilan partai politik di DPR, elektabilitas tujuh parpol mengalami penurunan jika dibandingkan dengan survei serupa pada April 2021.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sekalipun masih berada di posisi teratas, elektabilitasnya menurun dari semula 22,6 persen menjadi 19,9 persen. Di urutan kedua, Gerindra yang semula 10,5 persen menjadi 8,8 persen, serta Partai Golkar dari 8,6 persen menjadi 7,3 persen. Selanjutnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengalami penurunan paling dalam dari semula 7 persen menjadi 3,9 persen, Nasdem dari 3,4 persen menjadi 2,0 persen, Demokrat dari 7 persen menjadi 5,4 persen, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari 2,9 persen menjadi 1,3 persen.
Adapun dua parpol yang elektabilitasnya naik adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari semula 5,4 persen menjadi 6,7 persen dan Partai Amanat Nasional (PAN) dari 1,5 persen menjadi 1,7 persen.
Meski demikian, masih banyak responden yang tidak menjawab atau merahasiakan pilihannya. Jumlahnya mencapai 40,8 persen. Angka ini pun meningkat jika dibandingkan dengan survei pada April 2021 yang kala itu besarnya hanya 27,6 persen.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (20/10/2021), mengatakan, penurunan itu hendaknya dijadikan pembelajaran bagi parpol. Di tengah kondisi ekstra luar biasa karena pandemi Covid-19, masyarakat menjadi sangat rasional karena kebutuhannya konkret. Karena itu, parpol dituntut untuk menangkap situasi tersebut.
Kebutuhan konkret yang perlu ditangkap parpol misalnya kader parpol yang duduk di legislatif atau eksekutif harus mampu mengeluarkan kebijakan yang membantu masyarakat dalam menghadapi pandemi. Sementara kader parpol di luar eksekutif dan legislatif perlu lebih intens turun ke masyarakat, membantu langsung masyarakat dalam menghadapi kondisi sulit akibat pandemi.
”Kalau parpol masih berbicara mengenai pasang billboard, baliho, kemudian memperlihatkan perebutan kue kekuasaan, apalagi sudah bicara Pemilu 2024 jauh-jauh hari, ya mereka akan bisa mendapatkan efek bumerang,” ujar Yunarto.
Membantu langsung masyarakat, baik melalui kebijakan maupun dengan turun langsung, dinilainya sebagai kampanye yang legal. Masyarakat juga dinilai akan lebih memaklumi hal-hal seperti itu. ”Dibandingkan buang-buang uang dengan memasang atribut kampanye yang notabene masyarakat tidak akan mendapatkan keuntungan sama sekali,” tambahnya.
Pertimbangan parpol
Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Arif Wibowo mengatakan, hasil survei tersebut memperlihatkan dinamika sosial politik di lapangan. ”Ini harus dilihat juga dari besarnya undecided voters, yang lebih dari 40 persen. Ini, kan, menandakan sedang ada kegamangan, kegalauan, dari publik yang disurvei dengan kondisi sosial politik di Tanah Air,” katanya.
Turunnya elektabilitas PDI-P itu, lanjut Arif, bisa jadi dipengaruhi oleh faktor-faktor kondisi sosial politik. Misalnya, karena persoalan pandemi Covid-19 belum terpecahkan, kondisi ekonomi melemah, dan lapangan kerja terbatas, ini akan membuat publik gamang dengan situasi tersebut. ”Belum tentu persepsi mereka itu secara khusus terhadap parpol, tetapi seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini,” jelasnya.
Namun, hasil survei Kompas itu akan dijadikan salah satu bahan pertimbangan untuk meningkatkan kinerja partai. Arif menyebutkan, hari-hari ini PDI-P fokus pada dua hal untuk menjawab tantangan dan menghadapi Pemilu 2024. Dua hal itu ialah konsolidasi organisasi dan gerakan menyasar isu-isu kerakyatan dengan lebih konkret.
”Karena fokus pada dua hal itu, kami dilarang ikut dalam ingar-bingar mengenai pencalonan presiden. Itu, kan, isu elite, sementara rakyat sedang susah di situasi pandemi, dan kami lebih fokus ke sana sekarang,” ujarnya.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani juga menilai, penurunan elektabilitas mayoritas parpol merupakan peringatan untuk segera mendeteksi persoalan yang tengah menerpa secara internal. Persoalan tersebut harus segera diatasi agar tidak berlarut-larut.
”Hasil survei ini menjadi masukan penting untuk mendalami lebih jauh masalah yang sedang menerpa, derajat damage effect (efek kerusakan) yang ditimbulkannya, dan bagaimana mengatasinya. Ini yang mesti ditindaklanjuti,” katanya.
Begitu pula disampaikan Ketua DPP PPP Syaifullah Tamliha. Penurunan elektabilitas PPP itu akan dijadikan bahan refleksi bagi partai untuk menggenjot elektabilitas mereka pada Pemilu 2024. PPP juga sedang bekerja keras untuk melakukan konsolidasi internal.
”Musyawarah wilayah dan musyawarah cabang telah dilakukan, dan kami perkirakan akan berakhir pada Desember 2021. Kami berharap, ketika nanti peringatan Hari Lahir Ke-48 PPP (5 Januari 2022), sudah dapat dideklarasikan kesiapan PPP menghadapi Pemilu 2024. Saat ini, mesin politiknya dulu dibenahi,” katanya.
Melalui musyawarah wilayah dan musyawarah cabang, Tamliha berharap penggalangan massa akan dapat dilakukan untuk menuju 2024. Bahkan, para calon anggota legislatif PPP, mulai dari pusat hingga daerah, pun dapat mulai disusun. Mereka inilah yang juga akan bekerja mendulang suara bagi PPP dalam Pemilu 2024.
Tamliha mengatakan, PPP juga mulai mendekati cara-cara kampanye dan sosialisasi baru sehingga nantinya bisa menggaet pemilih baru. Cara-cara konvensional seperti pengerahan massa dalam kampanye tidak lagi efektif sehingga sosialisasi melalui media sosial dan digital akan lebih dikedepankan.