Perlu Strategi Mengikis Korupsi Kepala Daerah dan Dinasti Politik
Penguatan integritas dan demokratisasi internal parpol dipandang perlu untuk mengikis korupsi pada kepala daerah yang terhubung dinasti politik. Calon kepala daerah juga perlu hindari konflik kepentingan dengan petahana.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/Susana Rita Kumalasanti
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penangkapan Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Dodi Reza Alex Noerdin telah menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat korupsi. Dibutuhkan formula untuk mengatasinya. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi mengembangkan strategi penguatan integritas secara bertahap.
Di sisi lain, untuk mengikis politik dinasti yang kerap berhubungan dengan korupsi kepala daerah, diperlukan modernisasi serta demokratisasi internal partai politik. Selain itu, perlu dihidupkan kembali aturan jeda calon kepala daerah yang berpotensi konflik kepentingan dengan petahana.
Dodi Reza ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap pengadaan proyek infrastruktur oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Sabtu (16/10/2021). Dari penangkapan di Musi Banyuasin dan Jakarta, KPK menangkap delapan orang serta menyita uang Rp 270 juta dan Rp 1,5 miliar. Empat orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.
Ayah Dodi, eks Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, oleh Kejaksaan Agung belum lama ini juga ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi Sumsel tahun 2010-2019 yang merugikan keuangan negara Rp 433 miliar.
Akhir Agustus lalu, KPK menangkap Bupati Probolinggo Puput Tantrianasari dan suaminya, Wakil Ketua Komisi IV DPR Hasan Aminuddin, terkait dengan dugaan korupsi jual beli jabatan penjabat kepala desa.
Kepala daerah lain yang terlibat korupsi dan dari produk dinasti politik adalah Gubernur Banten 2007-2017 Atut Chosiyah, Wali Kota Cimahi 2012-2017 Atty Suharti, Bupati Klaten 2016-2021 Sri Hartini, Bupati Banyuasin 2013-2018 Yan Anton Ferdian, Bupati Kutai Kartanegara 1999-2010 Syaukani Hasan Rais, dan Bupati Bangkalan 2003-2012 Fuad Amin.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Minggu (17/10/2021), mengatakan, sejumlah daerah mendapat penilaian bagus melalui monitoring centre for prevention KPK, wilayah bebas korupsi, hingga audit Badan Pemeriksa Keuangan. Namun, hal itu hanya sekadar formalitas. Kenyataannya, kepala daerahnya tertangkap korupsi dan berniat melakukan korupsi.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Minggu (17/10/2021), mengatakan, sejumlah daerah, termasuk Kabupaten Musi Banyuasin, mendapat penilaian bagus melalui monitoring centre for prevention (MCP) KPK, wilayah bebas korupsi (WBK), hingga audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, hal itu hanya sekadar formalitas. Kenyataannya, kepala daerahnya tertangkap korupsi dan berniat melakukan korupsi.
Untuk mencegah korupsi, lanjutnya, saat ini KPK mengupayakan strategi penguatan integritas secara bertahap. Diharapkan pejabat sadar bahwa wewenang, kuasa, dan keuangan negara dikelola untuk kepentingan rakyat. ”Ini harus simultan dari proses pilkada yang berintegritas dan sistem tata kelola maupun sistem tata kesejahteraan bagi pejabat,” ucapnya.
Di sisi lain, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, penataan internal partai perlu dipikirkan sejak saat ini untuk menghindari partai menjadi oligarki, dikuasai oleh dinasti atau keluarga tertentu. Menurut dia, demokratisasi dan modernisasi partai harus dilakukan secara komprehensif.
”Misalnya, jika diputuskan partai politik dibiayai APBN supaya tidak mencari uang sendiri, hal itu harus dibarengi kontrol, di antaranya menjadikan partai sebagai obyek pemeriksaan BPK,” ucapnya.
Dihidupkan kembali
Masyarakat sipil juga mendorong agar Pasal 7 Huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2015 itu dihidupkan kembali untuk mengendalikan dinasti politik. Pasal tersebut, antara lain, mengatur warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon kepala daerah adalah yang memenuhi syarat tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Konflik kepentingan yang dimaksud adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan atau garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, atau ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, atau menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies Arya Fernandes mengatakan, anggota DPR bisa membuat revisi UU Pilkada untuk memasukkan pasal soal aturan jeda calon kepala daerah yang berpotensi memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
”Pengaturan jeda ini penting agar calon kepala daerah dari dinasti politik tidak diuntungkan dari sisi pengaruh politik, angggaran, maupun potensi mobilisasi aparatur sipil negara (ASN). Cara-cara untuk melanggengkan kekuasaan itu harus dibatasi melalui aturan perundang-undangan,” ucapnya.
Di luar legislasi, Arya juga mengusulkan soal pengaturan anggaran daerah melalui peraturan menteri. Mekanisme penganggaran APBD bisa diatur agar selama enam bulan atau satu tahun sebelum pilkada tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Dana APBD, misalnya, tidak boleh dialokasikan untuk tujuan hibah atau bantuan sosial, kecuali untuk alasan mendesak. Ini demi menghindari politisasi anggaran untuk kepentingan petahana.
Menjadi langkah tepat bagi pemerintah dan DPR untuk mengatur jeda kepemimpinan selama 5-10 tahun bagi calon kepala daerah dinasti politik. Saatnya pemerintah dan DPR mengatur secara ketat untuk mencegah korupsi politik.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menambahkan, setelah aturan itu dibatalkan MK, praktik korupsi dari dinasti politik sangat subur.
”Sulit untuk mengandalkan pengawasan dari pemerintah pusat dalam hal pencegahan korupsi kepala daerah produk dinasti politik. Masyarakat setempat juga tergantung dengan pengaruh politik yang sudah sedemikian kuat dari dinasti politik,” kata Herman.
Situasi politik yang demikian, menurut dia, menjadi langkah tepat bagi pemerintah dan DPR untuk mengatur jeda kepemimpinan selama 5-10 tahun bagi calon kepala daerah dinasti politik. Saatnya pemerintah dan DPR mengatur secara ketat untuk mencegah korupsi politik. Hal itu bisa dilakukan dengan merevisi UU Pilkada. Dengan catatan, ada kemauan politik dari DPR dan pemerintah untuk membenahi situasi.
”Yang paling mudah adalah merevisi UU Pilkada untuk memungkinkan agar wacana larangan dinasti politik bisa dikembalikan pasca-putusan MK. Ini bukan untuk membatasi hak konstitusional seseorang, tetapi bagaimana mencegah korupsi politik di kepala daerah yang merupakan produk dari dinasti politik,” kata Herman.