Bupati Musi Banyuasin Jadi Tersangka, Temuan Rp 1,5 Miliar Didalami
Uang sebesar Rp 1,5 miliar ditemukan di mobil ajudan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin saat OTT KPK, selain diduga uang suap yang ditemukan dan disita KPK sebesar Rp 270 juta.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap infrastruktur. Selain menyita barang bukti berupa uang senilai Rp 270 juta, KPK juga akan mendalami asal-muasal uang sebesar Rp 1,5 miliar yang disita KPK dari ajudan Dodi yang berada di Jakarta.
Dalam jumpa pers, Sabtu (16/10/2021), Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan, kegiatan tangkap tangan KPK yang dilaksanakan pada Jumat (15/10/2021) telah mengamankan 6 orang di wilayah Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, dan 2 orang di Jakarta. Dari bukti permulaan, KPK meningkatkan perkara tersebut ke tahap penyidikan dan menetapkan empat orang tersangka.
Mereka adalah Dodi Reza Alex Noerdin selaku Bupati Musi Banyuasin; Herman Mayori selaku Kepala Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin; Eddi Umari selaku Kepala Bidang Sumber Daya Air/Pejabat Pembuat Komitmen Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin; dan Suhandy selaku swasta atau Direktur PT Selaras Simpati Nusantara.
Dari kegiatan tangkap tangan di Musi Banyuasin, KPK menemukan uang sebesar Rp 270 juta dari Herman. Uang itu direncanakan akan diberikan kepada Dodi. Di Jakarta, KPK mengamankan Dodi di lobi sebuah hotel. Dari mobil ajudannya, yakni Mursyid, KPK mengamankan uang sebesar Rp 1,5 miliar.
”Terkait uang Rp 1,5 miliar itu diamankan dari ajudan bupati. Artinya, posisi uang ada di Jakarta. Maka menjadi sesuatu yang menarik bagi penyidik berdasarkan temuan tersebut,” kata Direktur Penyidikan KPK Setyo Budiyanto.
Menurut Setyo, pihaknya akan mendalami asal-muasal uang tersebut dan maksud atau tujuan uang tersebut dibawa. Setyo berharap dari pendalaman tersebut akan diperoleh bukti-bukti baru.
Pengadaan barang dan jasa
Alexander mengatakan, perkara tersebut terkait dengan proyek yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Musi Banyuasin tahun anggaran 2021. Dalam pelaksanaannya, lelang direkayasa sehingga pemenang lelang adalah rekanan yang sedari awal telah ditentukan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
Selain itu, Dodi diduga telah menentukan besaran persentase imbalan dari setiap nilai proyek di Kabupaten Musi Banyuasin, yakni 10 persen untuk Dodi, 3 persen sampai 5 persen untuk Herman, dan 2 persen sampai 3 persen untuk Eddi serta pihak terkait lainnya.
Adapun perusahaan milik Suhandy menjadi pemenang untuk empat paket proyek, yakni proyek rehabilitasi irigasi Desa Ngulak dengan nilai kontrak Rp 2,39 miliar, peningkatan jaringan irigasi DIR Epil dengan nilai kontrak Rp 4,3 miliar, peningkatan jaringan irigasi DIR Muara Teladan dengan nilai kontrak Rp 3,3 miliar, dan proyek normalisasi Danau Ulak Ria Kecamatan Sekayu dengan nilai kontrak Rp 9,9 miliar. Total imbalan yang akan diterima Dodi dari Suhandy dari keempat proyek tersebut sekitar Rp 2,6 miliar.
”Kenapa ada pengaturan seperti itu dan ada suap. Biasanya, dari perencanaan sudah direncanakan nanti siapa pemenangnya, lalu HPS (harga perkiraan sendiri)-nya biasanya ditinggikan sehingga sudah memperhitungkan fee tertentu yang nanti akan diberikan kepada pejabat di daerah selain untuk keuntungan perusahaan,” tutur Alexander.
Alexander menambahkan, persentase total suap (fee) kepada pejabat dari setiap nilai kontrak sekitar 15 persen. Kemudian, masih dikurangi dengan keuntungan perusahaan atau rekanan sekitar 15 persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sekitar 10 persen. Dengan demikian, nilai proyek hanya tersisa sekitar 60 persen.
Terkait dengan hal itu, menurut Alexander, semestinya terdapat standar untuk HPS dalam proyek infrastruktur. Dengan demikian, nilai HPS akan sama antara satu daerah dan daerah yang lain, kecuali di daerah Indonesia timur, seperti Papua. Untuk itu, diharapkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dapat melakukan pembinaan.
Dinasti politik
Terkait dengan Dodi yang merupakan bagian dari dinasti politik yang terjerat kasus korupsi, Alexander mengatakan, dinasti politik dapat menjadi pintu masuk terjadinya tindak pidana korupsi. Sebab, pengganti pimpinan daerah yang masih kerabat atau keluarga petahana akan cenderung menutupi kekurangan pendahulunya serta meneruskan kebiasaan yang telah dilakukan pemimpin sebelumnya.
Meski demikian, keikutsertaan kerabat atau keluarga dalam pilkada tidak dapat dibatasi. Sebab, putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hak dipilih merupakan hak setiap warga negara.
Selain persoalan dinasti politik, Alexander menggarisbawahi, tingginya kebutuhan pendanaan untuk menjadi kepala daerah atau anggota legislatif turut menjadi pemicu terjadinya korupsi. Mengutip survei Kementerian Dalam Negeri, untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah di tingkat kabupaten/kota diperlukan setidaknya Rp 30 miliar. Belum lagi adanya permintaan dari partai politik sebagai kendaraan politik atau uang mahar.
Jika kebutuhan dana tersebut diperoleh dari pihak ketiga, dapat dipastikan akan terjadi bagi-bagi proyek sebagaimana terjadi di banyak daerah. Meskipun dilakukan lelang, itu semua hanya formalitas.
Untuk itu, KPK bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah melakukan kajian bersama dan menyarankan adanya alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada parpol.
Tujuannya, parpol dikelola secara profesional dan kaderisasi dijalankan dengan benar dan pengawas pemerintah dapat mengevaluasi penggunaan dana di parpol.
”Yang paling penting adalah para pemilih harus berintegritas dan cerdas. Kalau pemilih masih terbujuk dengan pemberian uang, akhirnya demokrasi kita hanya menjadi semacam hukum dagang, membeli suara. Nanti hitung-hitungannya, ketika terpilih akan dihitung untung ruginya, dan ini tidak sehat dalam demokrasi kita,” kata Alexander.